⃝ ୭̣៸྄͜༉̥࿐ Langit

...Lebih baik sejak awal tak tahu apa-apa, dibandingkan harus masuk kedalam situasi sulit untuk memilih bertahan ataupun meninggalkan....

...@Bluegirl22...

╭─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙𒀭𖠄ྀྀ࿐

Seorang pria tampak berdiri menunggu seseorang dari luar bilik pintu, beberapa kali ia mengetuk dan mengucap salam tapi tak ada satupun orang yang bersiap menyambutnya, sedikit gentar tapi sayangnya tekadnya harus terselesaikan.

Tak lama seorang pria dengan jaket denim nya datang sambil mengendarai motor Honda PCX Hybrid dengan gagah turun dari motor dan tersenyum miring, “Kasian banget jauh-jauh dari Jakarta ternyata nggak dibukain pintu. Miris ya?”

Dika terdiam mencoba menahan diri untuk tidak membalas ejekan dari musuh bebuyutannya sedari di sekolah dasar.

“Muka lu boleh lebih cakep dari gw, tapi buat kendaraan, sorry lu beda jauh, bro!”

Pandji memandang remeh Vespa yang dipakai oleh Dika, Vespa berwarna biru muda itu tampak terparkir rapi di sebelah motor milik Dika.

“Seengaknya gw beli dengan hasil keringet sendiri, bukan modal minta, nggak dibeliin terus ngambek, situ anak Tk?!”

“JAGA YA MULUT LU!!!!” Pandji yang tidak bisa menahan emosinya langsung meraih kerah kemeja milik Dika membuat pria yang mempunyai ilmu mengenai pertanian itu hanya bisa tersenyum miring.

“Eh, ini ada apa kok kalian berantem?!” lerai Si Mbok berjalan tergesa keluar dari rumah dan memisahkan anak muda yang sepagi ini sudah membuat keributan di depan rumahnya.

“Ajengnya ada Mbok?”

“Ada!” ketus Si Mbok menjawab pertanyaan Dika.

“Ajeng, sini nduk, Pandji udah jemput kamu!”

Ajeng berjalan keluar dengan perlahan sambil menenteng bakul yang berisi barang jualan nya, melihat itu Pandji yang mencari perhatian dari Si Mbok segera turun tangan membantu Ajeng.

“Aduh, Pandji kamu baik banget.”

“Kasian Ajeng Mbok,berat ini,” jawab Pandji atas pujian Si Mbok.

Ajeng hanya diam tak berniat menimpali ucapan Pandji yang ia sendiri tahu akan maksudnya. Mencium aroma parfum yang berbeda dan ia kenali, Ajeng tersenyum, “Dika, sejak kapan kamu ada disini?”

“Dari tadi Jeng, saya panggil tapi nggak ada yang keluar.”

“Oh, yang tadi manggil tuh Dika, kata si Mbok tukang kredit panci,” ucap Ajeng.

Dika melirik si Mbok yang tampak membuang muka nya ke samping kiri, sedangkan Pandji tertawa puas mendengar Dika di duga tukang kredit panci.

“Pandji?”

“Ya Mbok?”

“Tolong jaga Ajeng ya, dari PRIA BRENGSEK! Akhir-akhir ini banyak banget di desa pada berkeliaran.”

“Tenang aja Mbok, kan semua pada takut sama Pandji.”

Si Mbok tersenyum mengabaikan Dika yang sepertinya tau mengenai kata Pria brengsek yang  mengarah padanya. “Cah Ayu, kamu berangkat di anter sama Pandji ya?”

“Nggak usah Mbok, lagipula Ajeng udah biasa berangkat sendiri.”

“Ajeng, Mbok takut nanti kamu disakitin ya?  Ok?”

“Kata si Mbok bener tuh Jeng,” imbuh Pandji. Mau tau mau Ajeng hanya bisa mengangguk pasrah, ia tak dapat berbuat apa-apa. Sebelum pergi seperti biasa Ajeng mencium punggung tangan wanita yang telah membesarkan nya tersebut.

Dika hanya bisa terdiam menatap Ajeng yang tengah dipapah oleh Pandji menuju motor nya, “Bisa nggak Jeng?”

Ajeng menggeleng pelan, “Ke-ketinggian.”

“Dasar pendek!” lirih Pandji yang dapat di dengar oleh Dika dan Ajeng.

“Apa maksud lu ngatain Ajeng pendek?!”

“Sans Bro, kuping lu kali salah denger!”

“Udah jangan berantem! Ajeng bisa telat kalau kalian berantem!” lerai Ajeng jengah. Dika mengalah memilih pamit pergi terlebih dahulu dan menyalami tangan keriput milik Si Mbok, tapi sayang seribu sayang sikap acuh wanita tua itu selalu Dika dapatkan.

Sementara itu Pandji tersenyum miring menatap bahwa rasa benci Si Mbok belum juga luntur untuk keturunan Bratajaya tersebut.

“Udah siap Jeng?”

“Udah.”

“Beneran nih?”

“I-iya,” jawab Ajeng ragu.

“Gas lah ke pelaminan!”

“Mas Pandji?”

“Gw bercanda jangan baper! Lagian lu juga belum tentu mau.” jelas Pandji tahu diri.

Si Mbok melambai melihat cucunya berjalan menjauh dengan motor mahal milik Pandji, ia tak bisa berbuat banyak, ia tidak bisa terus-terusan bersikap seperti ini.

Bagaimana pun ia hanyalah wanita tua yang memiliki satu cucu yang amat disayang. Cucu yang ia besarkan penuh cinta dan kasih sayang, cucu yang selalu ia dengar tangis dan jerit rindu nya kepada kedua orang tuanya yang bahkan sekarang tak tahu rimbanya.

Ajeng sudah cukup terluka, Ajeng sudah cukup menangis, Si Mbok hanya bisa berdoa dan berharap di sela jerit tangis nya bahwa senyum akan selalu merekah di wajah indah cucu nya. Karena ia percaya semua akan indah pada waktu nya.

...✎ . ....

“Dah mau pulang Jeng?”

“Iya Pak de, Alhamdulillah jualan hari ini laris.”

“Nggak di jemput sama Pandji? Tadi pagi Pakde liat kamu dianter sama dia.”

“Nggak Pakde mungkin Mas Pandji nya sibuk, lagian Ajeng kan udah biasa pulang sendiri.”

“Oh gitu, Hati-hati ya Jeng.”

“Pakde?”

“Dalem?”

Ajeng merasa ragu untuk bertanya, tapi rasa keingin tahuan nya mulai memuncak sedari tadi.

“Ada apa Cah Ayu?”

“Pakde tau Kebun penelitian nya Dika?”

“Cah Bagus Dika? Tau lah, deket rumahnya pak Yono, itu loh nggak jauh dari pondok kecil pinggir sungai tempat kamu sama Dika dulu main waktu kecil.”

“Maksudnya? Dekat rumah Dika dulu Pakde?”

“Iya.”

“Matur suwun ngeh Pakde, Ajeng pamit pulang dulu.”

“Kamu mau pulang atau mampir ke kebun penelitian Dika?” tanya Pakde membuat gerakan Ajeng tertahan.

“Eh?”

“Jeng, Kamu tau kan Si Mbok gimana sama keluarga Bratajaya?” Ajeng mengangguk, ia merasa bahwa ada suatu hal besar yang terjadi antara si Mbok dan keluarga Bratajaya.

“Mbokmu itu udah tua Jeng, dia cuma mau kamu bahagia nggak terus-terusan sakit.”

“Sakit apa sih Pakde, Ajeng baik-baik aja kok. Lagian Ajeng juga masih bingung sebenarnya ada masalah apa yang terjadi antara Si Mbok sama keluarga Dika?” tanya Ajeng memberanikan diri.

“Bukan hak Pakde buat jelasin masalah itu, kamu tanya  Si Mbok ya.”

“Nanti Si Mbok juga bakal jawab persis kayak jawaban beberapa tahun yang lalu, sama kayak Pakde. Ajeng binggung.”

“Yaudah, daripada bingung mau Pakde anter nggak?”

“Kemana Pakde?”

“Katanya mau ke kebun penelitian Dika, nggak jadi?”

“Jadi! Jadi! Jadi!”

“Udah ijin ke Si Mbok belum? Nanti dicariin?”

“B-belum.”

Pria dengan jaket kulit kesayangan nya itu tertawa, “Kamu tenang aja, biar Pakde yang minta ijin ke Si Mbok. ok!”

“Makasih Pakde!”

“Sama-sama Cah Ayu.”

Ajeng dengan mudah naik ke motor milik Pakde, berbanding terbalik ketika ia dengan susah payah naik ke motor milik Pandji yang katanya mahal dan bagus tersebut.

Pandji selalu identik dengan hal yang terbaru dan berkualitas, sedari kecil pria itu sudah memiliki hasrat sebagai pemilik barang-barang mahal di sekitar desa, sifat nya yang sombong terdukung dengan posisi penting pak Atmajaya. Seluruh warga desa mungkin sangat menyegani dan menghormati Pak Atmajaya, tapi citra buruk langsung diberikan ketika membahas soal Pandji.

Pria pengangguran yang kerjanya hanya marah-marah di agen toko kelontong milik Bu Atmajaya, sering menghamburkan uang untuk hal yang tidak bermanfaat dan merendahkan derajat orang lain hanya karena masalah kecil. Tabiat buruknya seolah sulit untuk dihilangkan, dan bahkan pasangan Atmajaya sudah lelah menghadapi sikap Pandji.

Gadis itu menggeleng, meskipun Pandji sering bersikap jahat terhadapnya tapi beberapa kali pria itu membantunya, sama seperti Arum. Mereka sama-sama memiliki gengsi yang tinggi.

“Sudah sampai Jeng.”

“Makasih Ya Pakde.”

“Sama-sama, kalau gitu Pakde pamit pulang mau makan siang dulu.”

“Iya Pakde hati-hati.”

Dengan perlahan dan tongkat panjang di tangan yang membantu dirinya berjalan Ajeng mulai menapaki satu persatu jalanan yang masih belum tersentuh aspal, batu kerikil tampak sedikit menganggu keseimbangan nya saat berjalan.

Suara gemericik air terdengar tak jauh dari tempat nya berdiri, ia yakin bahwa tinggal beberapa langkah ia tiba di sebuah pondok kecil disana. Ajeng menghitung setiap langkah yang ia tapaki, seingatnya saat terakhir kali ia kesini ada sebuah pagar dari kayu yang juga bisa membantunya menuju pondok. Tapi sayangnya sudah berusaha ia mengapai hasilnya tetap sama nihil.

Ajeng terus melanjutkan langkah membelah jalan hingga tak terasa gemericik air semakin terdengar begitu jelas, lagi dan lagi ia binggung harus melangkah kemana, hingga ia kehilangan pijakan dan berakhir terjatuh ke dalam sungai.

“To-Tolong!”

Dengan susah payah Ajeng mencoba bertahan di derasnya air sungai, kepala menyembul di permukaan air, tangannya berusaha mengapai sesuatu yang sekiranya bisa ia jadikan peganggan. Seberapa keras ia mencoba hasilnya tetap sama, ia pasrah.

“TOLONG! TOL—TOLONG!”

Semakin lama Ajeng semakin lemas, derasnya air sungai dan banyaknya air sungai yang tak sengaja terminum membuat wanita itu tak berdaya.

“TOLONG!!!!!!!!”

Sementara itu dibawah sinar teriknya mentari seorang pria tampak asik berkutat di tengah ladang perkebunan buah, disana juga ia memetik beberapa buah yang sekiranya siap untuk dipanen.

Sayup terdengar sebuah suara meminta tolong cukup membuatnya penasaran dan mencari sumber suara dengan sedikit berlari tergesa-gesa.

Matanya terbuka lebar mendapati seorang wanita tampak bersusah payah memegang akar tumbuhan untuk bertahan dari derasnya air sungai dengan cepat pria itu menyeburkan diri di dinginnya air sungai.

“JENG! PEGANG TANGAN SAYA JENG!”

“TOLONG!”

“PEGANG TANGAN SAYA!”

“S-SAYA TAKUT!”

“PERCAYA SAMA SAYA JENG!”

Dengan ragu Ajeng mencoba menggapai sebuah tangan yang nyatanya tak dapat ia lihat sama sekali, pria itu tak tinggal diam, dengan segera ia meraih tangan Ajeng dan membawanya ke tepian sungai membantu wanita yang tengah kedinginan itu menuju sebuah pondok kayu yang telah usang.

“M-makasih sudah bantu Ajeng.”

“Kamu ngapain kesini Jeng?” tanya Dika menatap wajah pucat Ajeng.

“Ajeng cuma mau ketemu sama kamu Dika, maaf kalau Ajeng malah ngerepotin Dika.”

Pria itu menghembuskan nafasnya kasar, lalu segera menggendong Ajeng ala Bridal Style menuju rumahnya yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Dika, Ajeng kenapa?”

“Mbak Sari, tolong bantu Ajeng ganti baju Mbak, saya takut nanti Ajeng masuk angin. Ganti nya di kamar Mamih saya aja kebetulan masih ada beberapa setel pakaian yang sengaja ditinggalkan.”

Wanita yang bernama Sari itu mengangguk dan segera menyusul Dika yang tengah mengendong Ajeng menuju kamar yang dimaksud. Bibirnya yang pucat beberapa kali terlihat gemetar, bersamaan jari tangannya yang mulai keriput terlalu lama di dalam air.

“Saya titip Ajeng ya Mbak.”

“Kamu tenang aja Dik, kamu keluar dulu, Mbak mau bantu gantiin baju Ajeng.”

Dika mengangguk lalu menutup pintu kayu tersebut, pria itu juga tampak masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian, ia benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa Ajeng jatuh ke dalam sungai?

...✎ . ....

“Diminum Jeng,” ucap Mbak Sari menyodorkan segelas teh hangat ke arah wanita cantik tersebut.

“Makasih Mbak,” ucap Ajeng dan Dika bersamaan.

“Sama-sama, Oh ya Dik, Mbak balik ke kebun dulu ya mau lanjutin metik apel.”

Dika hanya mengangguk setuju sambil terus memandang Ajeng yang tampak meminum segelas teh hangat buatan Mbak Sari dengan tangan yang gemetaran.

“Kamu kok bisa si Jeng jatuh ke sungai?”

Tak ada jawaban, sepertinya gadis itu malu atas kejadian yang menimpa nya beberapa menit lalu.

“Maaf jadi ngerepotin kamu Dik.”

“Jeng?”

“Ya?” Ajeng menengok ke arah Dika, sedangkan pria itu menghembuskan nafas nya kasar.

“Saya nanya loh Jeng, kenapa kamu bisa jatuh ke sungai?”

Tak langsung menjawab Ajeng malah meletakkan mug tersebut di paha nya sambil mengenggam erat, wanita itu menundukkan kepalanya sambil mengulum bibir.

“Ajeng?”

“Ajeng, Ajeng cum—”

“Kamu mau ketemu saya?” tebak Dika yang dibalas anggukan oleh wanita tersebut.

“Kamu udah bilang ke Si Mbok?” Ajeng menggeleng.

“Jeng? Si Mbok tuh satu-satunya keluarga yang kamu milikin sekarang, Si Mbok udah nggak muda lagi, akhir-akhir ini sering sakit, jangan bikin Si Mbok khawatir cuma karena kamu pengen ketemu sama saya.”

“T-tapi—”

“Saya tau Jeng, Si Mbok nggak bakal ijinin kita ketemu, tapi bukan begini cara nya.”

Ajeng mengangguk, Dika lantas membawa gadis itu ke dalam dekapan nya sambil mengusap surai lembut milik Ajeng. Rambut nya yang belum sepenuh nya kering itu memberikan sensasi dingin tersendiri pada kulit tangan milik Dika.

Pria itu menangkupkan wajah manis milik Ajeng, mata nya yang bak krystal serta bibir merahnya yang begitu merekah membuat Dika terdiam mematung selama beberapa saat.

“Dika?”

“Eh iya Jeng?”

“Ini udah jam berapa ya?”

“Oh, Ini udah hampir jam dua belas siang Jeng.”

“Kalau begitu Ajeng pamit pulang dulu ya.”

Setelah meletakkan mug yang berada di genggamannya ke atas meja, Ajeng bangkit berdiri dan meraih sekantung plastik hitam pakaian basahnya.

“Biar saya antar Jeng,” tawar Dika mengait lengan milik Ajeng mengantar nya menggunakan vespa berwarna biru muda tersebut.

“Bisa Jeng?”

“Bisa.”

“Pegangan nya, biar nggak jatuh.”

Ajeng hanya mengangguk sambil menyamankan dirinya di belakang tubuh Dika. Aroma maskulin pria itu menguar berbanding terbalik saat dirinya bersama Pandji, aroma menyengat parfum yang dipakai secara berlebihan membuat wanita itu menahan rasa mual nya sepanjang perjalanan.

“Terakhir kali saya bonceng kamu naik sepeda, awal ketemu saya bawa kamu naik mobil, sekarang naik Vespa. Nanti saya ajak kamu naik pesawat.”

“Naik apapun itu rasanya sama aja Dik,” jawab Ajeng tersenyum kecut.

“Saya yakin suatu saat nanti kamu akan melihat indah nya dunia.”

“Terkadang Ajeng bersyukur dengan hidup Ajeng yang nggak bisa melihat ini.”

“Kenapa?” tanya Dika bingung sambil memperlambat laju kendaraan vespanya.

“Mbok selalu bilang sama Ajeng, kalau Ajeng harus bersyukur. Karena nikmat dunia ini lebih kejam dari yang dibayangkan, harta, tahta, dan segalanya bisa buat kamu jatuh terpuruk ke dasar jurang.”

Dika mengangguk, apa yang dikatakan Ajeng benar. Pada kenyataannya manusia terbuai akan nikmat nya dunia yang bahkan sifat nya fana.

“Jeng, jika suatu saat nanti kamu bisa lihat indah nya dunia, kamu mau kabulin permintaan saya?”

“Apa?”

“Jelajahi luas nya dunia ini.”

“Maksudnya?”

“Dua puluh lima tahun kamu habisin waktu kamu di desa kecil ini Jeng, jadi kalau nanti kamu bisa bebas liat indah nya bumi ini.”

“Buat apa?”

“Buat nyari seseorang yang cocok buat kamu Jeng, disini nggak ada yang cocok.”

“Masa sih? Padahal Ajeng nggak mau nyari yang jauh-jauh.”

“Terkadang untuk mencari hasil yang baik, seseorang harus berkelana, menikmati rasa terpuruk dan jatuh hingga bisa bangkit sambil membawa berita kemenangan.”

“Ajeng nggak bisa jauh-jauh dari Si Mbok, Dika.”

“Tapi kamu harus ketemu sama seseorang Jeng.”

“Siapa?”

“Ambar.”

“Ambar?”

╰─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙ꕥꦿོ

││🔖𖥻ꦼꦽ➮ 14-15 April 2021

││🔖𖥻ꦼꦽ➮ 18 April 2021

││🔖𖥻ꦼꦽ➮ You're My Eyes

││🔖𖥻ꦼꦽ➮ Don't Copy My Story!

││🔖𖥻ꦼꦽ➮ @Bluegirl22

꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷

TBC

Mohon maaf  bila banyak typo bertebaran, mohon dukungannya atas cerita ini dengan meninggalkan jejak. Suka dan komen!

°•Penulis amatir yang berharap karya nya terukir dalam karya buku.

꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷

Terpopuler

Comments

Bintang mehong

Bintang mehong

lanjut thor 👍 semangat ya

2021-04-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!