...Aku percaya bahwa takdir Tuhan lebih indah dibanding yang selalu dibayangkan....
...@Bluegirl22...
╭─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙𒀭𖠄ྀྀ࿐
Seorang wanita tampak berdiri di depan cermin sambil tersenyum riang, “Mbok, apa baju mahal ini cocok sama Ajeng?”
“Cah ayu pinter, kamu kok tau ini baju mahal?”
“Bahannya Mbok, adem terus bikin nyaman gitu.”
Suara kekehan kecil terdengar dari mulut si Mbok, ia membantu Ajeng menyisir surai hitam lembut milik cucu satu-satunya yang ia punya.
“Ayunya cucu ku, nanti pasti temen-temen yang suka ngejek kamu dulu bakal terkesima sama kamu malam ini Jeng,” puji si Mbok sambil tersenyum menatap Ajeng dari pantulan cermin.
Tak lama mereka berdua keluar menemui tamunya yang sedari tadi menunggu sambil sesekali menggerutu lantaran banyak nyamuk yang menggigiti dirinya.
“Maaf ya Rum, kamu jadi di gigit nyamuk gara-gara kelamaan nunggu.”
Gadis itu menengok mendapati kedua orang wanita tampak berdiri di ambang pintu bilik kayu, Arum terdiam menatap Ajeng yang tampak anggun dengan gaun yang ia bawa.
“Mbok, ini Ajeng? Aduh, Arum bisa kalah cetar kalau begini caranya,” lontar Arum masih tak percaya.
“M-masa Ajeng secantik itu Mbok?” tanya Ajeng ragu.
Si Mbok terkekeh, memukul pelan lengan milik Arum lalu tersenyum ke arah Ajeng, “Cucu Mbok tuh pada cantik semua, mau Ajeng ataupun Arum. Nggak ada makhluk ciptaan Tuhan yang ditakdirkan jelek, mereka sempurna dalam pandangan yang berbeda.”
“Yaudah, kalau begitu saya sama Ajeng pamit ya Mbok, biar pulang nya nggak kemaleman.”
“Hati-hati ya, Mbok nitip Ajeng ya Rum!” pesan si Mbok.
“Tenang Mbok, kalau ada yang mau godain Ajeng, nanti bakal Arum omelin!”
“Mbok selalu percaya sama kamu.” tawa Si Mbok mengatarkan kepergian mereka berdua dari rumah sederhana itu.
Kini baik Ajeng maupun Arum berjalan menyusuri jalan setapak, beberapa kali mereka harus menyesuaikan diri dengan kontur tanah yang tidak rata, “Tau gini gw pake sendal jepit dulu baru nyampe sana pake high heels!” keluh Arum yang mengiringi langkah sunyi mereka.
“Kita jalan sampai Resto Bu Retno?”
“Ya nggak lah, tenang aja gw punya supir pribadi.”
“Pak Yono?”
“Bukan yang ini lebih ganteng, pokoknya sebelas dua belas lah sama orang korea.”
“Ekhem!”
Ajeng yang merasa asing dengan suara itu menghentikan langkah dan mempertajam pendengarannya, dahi miliknya saling bertaut mencoba mengenali siapa pemilik suara tersebut.
“Kok lu malah berhenti sih? Ayo nanti acara nya keburu mulai Jeng!”
Sebuah tangan mengenggam lembut telapak tangan milik Ajeng, perempuan itu merasa takut dan enggan untuk mengikutinya. Ini bukan tangan Arum apalagi tangan perempuan, ini tangan seorang pria, itu fikirnya.
“Saya nggak berniat jahat Jeng, percaya sama saya.”
“T-ttapi—”
“REUNIANNYA NANTI AJA PAS DISANA! BURU NANTI TELAT!” lontar Arum membuat Ajeng mau tak mau membalas genggaman pria disebelahnya.
“Saya senang Jeng, saya senang sudah bisa melihatmu lagi dan menepati janji saya.”
Gadis itu hanya terdiam, duduk di kursi samping pengemudi setelah pria itu memasangkan Sealtbet untuk dirinya.
Suasana sunyi jalanan desa diterangi lampu jalan yang menjulang tinggi, dan suara jangkrik yang menggema. Tak hanya itu bulan tampak bertengger apik di langit malam, menunjukkan pesona sebagai yang paling terang.
Pria itu tersenyum menatap wajah Ajeng dari samping. Cantik. Dan tidak ada yang berubah dari wajah manis nan meneduhkan itu, meski sudah bertahun-tahun lamanya ia tak berjumpa.
Kulit putih mulus, hidung yang tidak terlalu mancung meski tak dapat dibilang pesek, bibir ranum mungil nan tebal, alis yang terbentuk alami, mata coklat yang selalu menjadi candu dan dua lesung manis yang melengkapi senyum indah.
Ajeng cantik dengan dirinya yang apa adanya, Ajeng istimewa dengan kekurangannya, Ajeng sempurna dengan segala apa yang dimilikinya, Ajeng rupawan dengan tingkah lugu dan polosnya, Ajeng tetaplah Ajeng. Gadis kuat yang selalu bermimpi melihat indah nya dunia, gadis kuat yang selalu merindukan sosok kedua orang tuanya meski tak pernah ia cintai.
“Dih, liat jalan bukan liatin Ajeng terus!” sindir Arum yang asik berkutat dengan ponselnya.
“Penumpang diem aja deh!”
“Nyindir? 'Kan gw bos nya, lagian ini mobilnya Papah, mau gw laporin?!” tantang Arum.
Pria itu merotasikan kedua bola matanya, “Biasalah!”
“Widih, korban tiktok juga nih orang,” jawab Arum disambut tawa olehnya, Ajeng hanya bisa tersenyum tipis sebelum bertanya.
“Tiktok itu apa?”
Baik Arum maupun pria itu terdiam menatap wajah milik Ajeng yang nampak penasaran, kini tawa Arum menyembur detik itu juga.
“Untung lu temen gw Jeng!”
...✎ . ....
V neck wrap dress - navy selutut tampak anggun menyesuaikan dengan geraian rambut dan sepatu putih dari Nike. Disebelah nya ada seorang pria tampan mengait mesra pergelangan tangan milik Ajeng, balutan jas nya tampak rupawan dengan gaya rambut quiff haircut.
“Itu Ajeng?”
“Ajeng sama siapa?”
“Ih, masa cowoknya Ajeng ganteng banget!”
“Pacarnya si Arum kali tuh!”
“Arum 'kan mau nikah sama calon bupati!” lontar salah seorang mencoba membenarkan.
“Terus siapa dong?”
“Sumpah sih cakep banget.”
“Mereka cocok ya? Sayangnya si Ajeng buta.”
“Kalau ada Pandji disini, pasti dia kebakaran jenggot.”
“Dia yang berantem sama Pandji tempo hari bukan sih? Yang belain si Ajeng.”
“Apasi cakepnya Ajeng?”
“Udah dong, kasian si Ajeng.”
“Nggak bakal denger ini lagian.”
“AJENG EMANG NGGAK BISA MELIHAT BUKAN BERARTI TULI! ITU MULUT MAU GW KASIH SAMBEL SATU-SATU? JANGAN DEH CABE MAHAL, GW KASIH KOYO AJA BIAR KEPANASAN SEKALIAN?!” Semua yang disana terdiam menatap Arum yang sudah berada di puncak emosinya, Ajeng berusaha menenangkan temannya yang cukup emosional. Ternyata benar kata si Mbok.
“Udah Rum, Ajeng udah biasa kok,” lerai Ajeng.
“Tetap aja, tapi lu jangan geer gw kayak gini karena punya janji sama si Mbok.”
Ajeng hanya mengangguk lalu mengikuti pria disampingnya yang masih mengait lengannya dengan lembut.
“Duduk Jeng,” lontar pria disebelahnya menarik bangku untuk nanti Ajeng duduki.
“Makasih.”
“Sama-sama.”
Suara riuh mengiringi acara, seorang MC tampak berdiri di tengah panggung sambil memegang mikrofon membuka acara, “Selamat malam semua, hari ini sepertinya pada bahagia ya? Siapa nih yang udah bahagia reunian sama temen? Pacar? Atau sama mantan?”
Tawa menggema, Ajeng juga ikut tertawa sedangkan pria disebelahnya tersenyum menatap Ajeng yang tengah tertawa, seperti film yang di slow motion.
“Saya Dika,” lontarnya menggengam lembut tangan milik Ajeng.
“Dika? Mahardika Guntur Bratajaya?” tanya Ajeng terkejut.
“Saya senang kamu masih mengingat saya Jeng.”
“Ternyata kamu nggak lupa sama janji kamu ya Dik, udah lama semenjak kamu pamit pergi ninggalin saya.”
“Saya ninggalin cuma sebentar Jeng, saya tepatin janji saya bukan? Bertemu kamu lagi dan berjanji akan selalu ada untuk kamu lagi.”
“13 tahun bukan waktu yang sebentar Dika, cukup lama,” jelas Ajeng penuh penekanan.
“Maaf, maaf kalau saya nggak bisa jagain kamu lagi Jeng.”
Ajeng menggeleng, tersenyum lembut sebelum berujar, “Kamu nggak perlu khawatir Dika, Tuhan selalu bersama Ajeng, lagipula ada Si Mbok sama Arum yang selalu nemenin Ajeng.”
“Syukurlah.”
“Ok, siapa nih yang mau nyumbangin suara nya buat mengisi malam yang indah ini?” tanya MC.
“AJENG!”
“KINARYO!”
“IH NAMA GW TUH KEENAR. K-E-E-N-A-R. BUKAN KINARYO!” bela seorang wanita tak terima.
“Sama aja elah, KINARYO!” tawa menggema ketika mendengar Pandji yang baru saja tiba membuat kegaduhan seisi resto.
“Oke, karena Mbak Kinaryo ngambek kita serahkan ke kembang desa kita AJENG!!!!”
“NAMA GW KEENAR!” tegas Keenar sebelum berlalu pergi.
Suara teriakan dan tepuk tangan terdengar, Dika membantu perempuan disampingnya untuk berjalan ke atas panggung, bukannya langsung pergi Dika justru mencondongkan tubuhnya ke arah Ajeng dan berbisik pelan, sedangkan gadis itu berusaha menahan sebuah rasa aneh yang menghantui perasaannya. Nafas Dika menyapa lembut permukaan kulit wajahnya, “Boleh saya mengiringi suara indah mu dengan petikan gitar saya?”
“B-bboleh.”
Dika tersenyum lalu mengambil sebuah gitar kayu yang berada di dekat piano dan mulai memetik sinar gitarnya, Ajeng terdiam, ini salah satu lagu favoritnya. Salah satu lagu yang selalu ia nyanyikan untuk diri sendiri.
...Entah di mana dirimu berada...
...Hampa terasa hidupku tanpa dirimu...
...Apakah di sana selalu rindukan aku?...
...Seperti diriku yang selalu merindukanmu...
...Selalu merindukanmu...
...Entah di mana...
Sebuah lagu berjudul hampa sukses membuat suara tepuk tangan dan riuh para peserta reuni menggema, Dika tersenyum menatap wajah Ajeng yang juga tampak tersenyum seusai bernyanyi seperti biasa.
Kini Dika tampak membantu Ajeng untuk turun dari panggung dan kembali ke kursi mereka duduk, “Itu lagu buat saya 'kan Jeng? Lagu yang selalu kamu nyanyikan di pondok dekat sungai tempat kita bermain semasa kecil?”
Gadis itu terkesiap dan dengan ragu menganggukkan kepalanya, pernyataan Dika ada benarnya, Dika adalah salah satu sosok yang ia rindukan. Salah satu.
...✎ . ....
“Biar saya bantu Jeng.”
“Nggak usah Dika, Ajeng udah biasa kok.”
“Ajeng, saya kembali untuk kamu, jadi biar saya bantu ya?” bujuk Dika.
“Apa hubungannya?”
“Dika itu super hero nya Ajeng, masih inget kan?”
Tawa kecil terlontar dari bibir manis milik Ajeng, ternyata pria itu masih mengingat nya, “Dika itu pengawal Ajeng!” imbuh Ajeng membuat Dika ikut tertawa.
“Ajeng dan Dika?”
“BEST FRIEND FOREVER!!” Lontar mereka bersamaan disambut tawa yang tak henti nya terlontar dari mulut masing-masing.
Selama perjalanan Dika terus bertanya mengenai kehidupan Ajeng selepas kepergiannya bersama keluarga Baratajaya merantau ke luar kota, ternyata banyak yang Dika lewatkan, termasuk Pandji dan antek-anteknya yang semakin getol membully Ajeng.
“Maaf Jeng, saya nggak ada disaat kamu butuh.”
“Itu kan masa lalu Dik, lagipula perpisahan itu nggak bisa ditunda, bukan? Mungkin itu memang sudah suratan takdir.”
“Kamu benar Jeng, tapi saya tetap merasa bersalah.”
“Kalau boleh jujur saya yang lebih merasa bersalah.”
“Kenapa?” tanya Dika tak mengerti.
“Karena dengan lancang nya saya merindukan kamu Dika.”
“Selagi merindukan saya tidak bayar kamu bebas Jeng, kecuali jika saya sudah milik orang lain baru itu dilarang.”
Ajeng mengangguk, “Kamu sudah punya pasangan Dika?”
“Saya punya tunangan Jeng, maaf saya nggak ngundang kamu waktu acara tunangan saya.”
Entah mengapa dalam hatinya ada rasa sakit yang menyeruak, ada rasa tak nyaman dan tak suka tapi bibir nya justru membalikkan fakta bahwa ia malah tersenyum.
“Nanti kalau kamu mau nikah, jangan lupa undang Ajeng, nanti Ajeng mau nyanyi.”
“Siap sudah pasti,tapi diskon 60% ya?”
“Hmm, jangan lupa nasi box nya,” baik Dika dan Ajeng tertawa.
“Saya bercanda Jeng.”
“Ajeng juga bercanda Dik.”
Merasa jalan ke arah gubuknya sudah dekat Ajeng menghentikan langkah dan membalikan badan ke samping kanan.
“Kamu mau mampir Dika? Ketemu si Mbok?”
Dika menggeleng, lantas tersadar bahwa Ajeng tidak bisa melihat dan menunggu jawaban darinya, “Lain kali saja Jeng, lagipula saya rasa si Mbok belum tentu berkenan menemui saya.”
“Kok kamu bicara seperti itu Dik?” tanya Ajeng mengerutkan dahinya.
“Saya pamit ya Jeng, jangan lupa kapan-kapan mampir ke perkebunan dan penelitian saya di desa ini, ok!”
“Iya, Hati-hati ya Dika. Terimakasih untuk hari ini.”
“Sama-sama Jeng.”
Dengan langkah perlahan, Ajeng sudah berdiri di depan pintu bilik lalu mengetuk dan perlahan membukanya, aroma khas masakan menyerbu masuk ke dalam rongga hidung dan berlanjut membuat perutnya keroncongan minta di isi.
“Kamu sudah pulang cah ayu?”
“Iya Mbok, Alhamdulillah jualan nya ramai seperti biasa, terus tadi juga ada yang bantu Ajeng jualan.”
“Siapa? Arum?”
“Bukan Mbok, tapi ini Dika.”
“Dika?”
“Temen masa kecil nya Ajeng, Dika yang pindah ke Jakarta sama keluarganya Mbok, inget kan?” jelas Ajeng antusias.
Si Mbok menghentikan kegiatannya, lalu terdiam tak menjawab ucapan Ajeng.
“Mbok?”
“Jangan pernah kamu dekat-dekat lagi sama Dika, Jeng!”
“K-kkenapa Mbok?”
“MBOK BILANG JANGAN YA JANGAN!” Ajeng mundur beberapa langkah mendengar suara tinggi milik Si Mbok yang baru kali ini ia dengar setelah terakhir kali ia dengar saat si Mbok memarahi Pandji dan antek-anteknya yang membully Ajeng kelewat batas.
“Sekarang kamu makan, Mbok mau ke ladangnya pak Tri dulu.”
Perempuan itu menganggukan kepalanya, pikirannya bergemelut, mengapa Si Mbok sebegitu marah karena pria bernama Dika? Apa ada yang salah sehingga Si Mbok melarangnya untuk berteman dengan Dika?
...✎ . ....
“DIKA!!!”
“Lho Mbok?”
Dengan senyum yang menggembang Dika berjalan menghampiri wanita paruh baya yang menatap nya tajam seperti saat terakhir dirinya bertemu dengan nya 13 tahun silam. Sebuah tamparan melesat menghantam pipinya dengan kencang.
“MAU APA LAGI KAMU BALIK KE DESA INI?! MAU RAMPAS KEBAHAGIAAN AJENG?! MAU BIKIN AJENG SEMAKIN MENDERITA?! NGGAK CUKUP SELAMA INI YANG SUDAH KAMU DAN KELUARGA KAMU LAKUIN TERHADAP AJENG?! APA KAMU NGGAK PUNYA URAT MALU DIKA?! JANGAN PERNAH MENJADI PAHLAWAN BAGI AJENG KALAU JUSTRU KAMU SENDIRI YANG BUAT AJENG NGGAK BAHAGIA!”
Dika terdiam menunduk sambil menahan rasa perih yang menyerang pipinya membiarkan wanita tua itu menumpahkan keluh kesahnya.
“Mbok, udah toh Mbok, nanti kalau warga lain dengar masalah ini akan terulang seperti dulu. Ayo mampir dulu kerumah saya kita bicarakan baik-baik,” lerai pak Tri yang datang tergesa-gesa dengan cangkul di pundak lnya.
Meski sudah duduk di kursi kayu, emosi si Mbok belum juga rampung, “Mbok minum dulu, nanti darah tinggi Mbok kambuh lagi, kasian Ajeng Mbok.”
Wanita itu mengangguk lalu meminum segelas air putih yang disediakan Lastri -Istri pak Tri- di atas meja, “Apa pembelaan kamu Dika?” tanya Pak Tri menatap pemuda yang duduk sambil menundukkan kepalanya.
“Mohon maaf sebelumnya Mbok, Pak Tri, Bu Lastri. Saya hanya ingin menepati janji saya kepada Ajeng.”
“Jangan pernah merasa menjadi pahlawan untuk Ajeng, kamu tidak pantas Dika!” lontar si Mbok ketus.
“Apa salah Dika Mbok? Kejadian itu sudah berlalu 25 tahun, lagipula ini terjadi karena kesalahan orang tua Dika dan orang tua Ajeng, lalu dimana titik kesalahan Dika?” bela Dika.
“Itu benar Mbok, bukan nya masalah ini sudah dibahas 15 tahun yang lalu? Kenapa Mbok seolah mau—”
“Apa kamu bisa liat anak kamu menderita setiap hari Tri? Apa kamu tega lihat anak kamu menderita sedangkan yang membuat anak kamu menderita hidup bahagia tanpa rasa bersalah?!” ucap Si Mbok memotong ucapan Tri.
Tri terdiam.
“Tapi Mbok, Papih sama Mamih selalu ngerasa bersalah atas ap—”
“Mereka cuma merasa Dika! Mereka nggak tergerak hatinya untuk datang langsung dan meminta maaf? Mereka memilih pergi.”
“Lalu apa bedanya orang tua saya dengan Orang tua Ajeng? Kemana Ibu nya Ajeng yang justru juga ikut pergi!” Dika tak terima.
“Andai kamu tau, apa yang menjadi faktor utama kepergian Ibu Ajeng, kamu pasti bakal malu Dika udah lahir di dunia ini,” jawab Si Mbok.
“Dika tau, Dika salah, kelahiran Dika ke muka bumi ini memang salah. Tapi Mbok, izinkan Dika buat bahagian Ajeng, izinkan Dika buat nepatin janji Dika. Dan Dika minta maaf atas nama kedua orang tua Dika dan Dika sendiri.”
Si Mbok tertawa, “Harusnya orang tua kamu yang ngomong langsung, bukan kamu yang mewakilkan.”
Dika sudah kehilangan akalnya, pria itu mencium kaki Si Mbok dan menangis sejadinya disana ia binggung hanya ini satu-satunya cara untuknya.
“Dika mohon Mbok, Dika mohon, izinin Dika.”
╰─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙─͙ꕥꦿོ
││🔖𖥻ꦼꦽ➮ 10 April 2021
││🔖𖥻ꦼꦽ➮ 18 April 2021
││🔖𖥻ꦼꦽ➮ You're My Eyes
││🔖𖥻ꦼꦽ➮ Don't Copy My Story!
││🔖𖥻ꦼꦽ➮ @Bluegirl22
꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷
TBC
Mohon maaf bila banyak typo bertebaran, mohon dukungannya atas cerita ini dengan meninggalkan jejak. Suka dan komen!
°•Penulis amatir yang berharap karya nya terukir dalam karya buku.
꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments