"Na ... Zalina!" Seperti suara Umi. Panggilan itu semakin lama makin kencang, diikuti suara gedoran pintu. Sehingga membuatku terperanjat. Mimpi bersanding dengan Uda Riki pun buyar.
"Astagfirullah, Umi." dengan langkah terseok-seok, aku bangkit, masih mengenakan mukena yang sudah acak-acakan. Lalu membuka pintu kamar sebelum Umi menggedornya lebih kencang lagi.
Begitu pintu dibuka, tampaklah Umi berdiri di sana.
"Akhirnya pintunya dibuka juga, Na. Umi panggil-panggil dari tadi. Pasti kamu tidur lagi ya? Kan sudah Umi katakan, jangan biasakan tidur setelah salat Subuh, Na. Nggak baik. Nanti rezekinya bisa seret."
"Umi, kalau rezekinya Na seret, kan bisa minta ke Abi. Harta Abi dan Umi kan cukup banyak, nggaka akan kuranglah anak keturunan Abi dan Umi." jawabku, sambi terkekeh.
"Astagfirullah Zalina. Umi serius, kamu malah bercanda. Kamu itu anak perempuan, biasakanlah usai Subuh bantu-bantu Umi di dapur. Atau sesekali temani Umi bekanja ke pasar. Lagipula kamu kan kuliah di Padang, pulangnya sekali sebulan. Bukannya menghabiskan waktu ngobrol sama Umi, malah asyik mengurung diri di kamar. Umi kan rindu, Na. Kamu itu putri Umi satu-satunya. Tapi sekarang malah sibuk dengan dunia kamu sendiri. Bagaimana nanti kalau kamu sudah menikah, bisa-bisa tambah tidak punya waktu kamu. Sama seperti Udamu si Rizal. Setelah menikah, sudah tidak memperhatikan Umi."
"Ya Allah Umi. Nggak bakalan. Zalina akan selalu ada untuk Umi. Lagipula Umi kan punya Uni Puti juga yang selalu menemani Umi dua puluh empat jam. Tentang Uda Rizal, nanti Na katakan pada Uda agar menghabiskan waktu lebih banyak bersama Umi. Tapi, Umi juga jangan sewot-sewot sama kak Tasya, supaya Uda betah mampir ke sini."
"Halah, yang ada si Tasya yang sewot sama Umi, Na. Kamu tahu, kan?"
"Mi ... kak Tasya itu sekarang adalah anak Umi juga. Baik dan buruk kak Tasya, jadi bagian dari keluarga ini juga. Jadi mulailah berbaikan dengannya. Untuk kenyamanan Uda Rizal juga. Ya, Mi?"
"Na ...." Umi memelas. Tampak sekali tak suka jika aku membela perempuan yang sudah dinikahi saudara laki-lakiku satu-satunya itu enam tahun lalu.
Hubungan Umi dan kak Tasya memang tak baik-baik saja. Awal menikah, Umi sudah menunjukkan rasa tidak suka pada gadis yang menjadi biduan tersebut. Berbagai alasan diutarakan Umi, salah satunya tentang latar belakang keluarga juga penampilan kak Tasya yang memang agak terbuka.
Tapi karena sudah begitu jatuh cinta, Uda Rizal tidak mengindahkan nasihat Umi. Ia tetap menikah. Bahkan mengancam akan keluar dari keluarga ini jika tidak direstui Abi dan Umi. Dengan berat hati, akhirnya pernikahan itu tetap terlaksana, tapi ujungnya, selalu terjadi perselisihan antara Umi dan kak Tasya.
Selalu saja ada sindiran halus yang dilontarkan Umi. Sementara kak Tasya menekan Umi dengan permintaan anehnya pada Uda Rizal sehingga membuat Umi makin cemburu sebab merasa putra sulungnya diperalat oleh gadis tersebut.
"Umi tadi belanja apa saja?" aku mulai mengintip kantong belanjaan Umi yang masih terletak di atas meja. Ada satu plastik cukup besar berisi jajanan pasar seperti; pinukuik, ketan dan goreng, lepat Bugis, onde-onde, getuk lendri dan jajanan lainnya.
Umi memang suka berbelanja pagi-pagi. Usai Subuh. Sebab sayur mayur, ikan dan ayam biasanya masih fresh. Biasanya Umi ditemani Uni Puti, kakak sepupuku.
Uni Puti sudah tinggal di rumah kami sejak usianya sepuluh tahun. Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan mobil, meninggal di tempat. Sementara ia yang juga ikut menumpang mobil, mengalami luka bakar di pipi kanannya. Sudah dilakukan beberapa kali operasi untuk menyembuhkannya, tapi bekasnya masih ada, sehingga membuatnya minder.
Sebagai satu-satunya keluarga Uni Puti, selaku pamannya, Abi yang mengasuh dan bertanggung jawab atas Uni Puti. Abi menyayangi Uni Puti seperti ia menyayangiku, tak ada bedanya. Akupun begitu, memperlakukan Uni Puti seperti saudara kandung. Selain kasihan padanya, aku juga sangat salut, sebab selama ini Uni Puti begitu tegar menghadapi ujian hidupnya.
Akibat kecelakaan yang dialaminya, Uni Puti sampai harus berhenti sekolah dua tahun hingga akhirnya kami satu kelas. Semasa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, ia selalu menyendiri. Tak suka berteman dengan siapapun, meski aku tahu, alasannya karena Uni Puti minder sebab ia pernah jadi bahan bully akibat luka bakar di pipinya. Bahkan aku pernah mendengar ejekan beberapa anak laki-laki yang menjulukinya siburuk rupa, sementara mereka mengatakan aku sicantik sehingga membuatku meradang dan menantang anak-anak nakal itu berkelahi.
Sejak kejadian itu, tak ada lagi yang berani mengejek Uni Puti, tapi tetap saja ia menarik diri dari pergaulan. Bahkan, usai lulus SMA, ianmenolak melanjutkan ke perguruan tinggi, meski secara akademik, Uni Puti jauh lebih pintar dibandingkan aku.
"Na, sudah jam segini, Abi kamu kenapa belum pulang ya?" tanya Umi.
"Iya yah. Biasanya pukul setengah enam, sebelum Umi pulang dari pasar, Abi sudah kembali dari masjid. Kenapa sekarang lama?" Aku mengerutkan kening, lalu berlalu ke jendela depan rumah gadang kami (rumah adat Minangkabau). Beberapa saat aku memandang ke arah masjid yang berjarak beberapa rumah dari tempat kami, aku menyipitkan mata, melihat segerombolan orang berlari ke arah rumah kami.
"Bu ... Bu Hajjah!" panggil orang-orang tersebut.
"Ada apa pak?" tanyaku, menyambut keluar rumah, diikuti oleh Umi.
"Pak Haji pingsan!" katanya.
Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Aku dan Umi labgsung berlari menuju masjid yang dibangun oleh Abi.
Benar saja, di teras depan masjid, tampak Abi terduduk lemas dikelilingi beberapa orang jamaah masjid.
"Abi ... Abi kenapa?" tanya Umi, menyongsong Abi. "Kok bisa pingsan? Abi sakit ya? Kita ke rumah sakit sekarang ya. Kita periksakan ke dokter supaya tahu kondisi Abi!"
"Tenang Mi, Abi sudah tidak apa-apa." jawab Abi, dengan suara lemah.
"Baik bagaimana? Di sini nggak ada dokter, tidak ada yang memeriksa Abi. Jangan bilang baik-baik saja untuk menghilangkan kekhawatiran Umi. Yang ada Umi malah tambah khawatir." Umi masih menyerocos, bahkan sampai hampir menangis.
"Mi, ini ada dokter kok yang memeriksa Abi, bahkan memberikan pertolongan pertama pada Abi." Abi menunjuk lelaki muda di sebelahnya. Lelaki yang sejak awal hanya diam melihat ke arah kamu. Aku menyadari tatapannya tertuju pada kami.
"Belum jadi dokter, pak. Masih mahasiswa kedokteran." katanya.
Sosok itu tak asing rasanya. Ya, aku benar. Ia adalah salah satu murid yang seangkatan denganku. Lebih tepatnya, ia adalah salah satu murid berprestasi, kebanggaan di sekolah kami.
Namanya Sharim. Muhammad Sharim. Aku ingat betul, ia adalah juara umum di angkatanku. Seorang murid yang selalu jadi buah bibir murid-murid perempuan lainnya. Sebab selain cerdas, ia juga punya wajah rupawan dan salah satu anak orang kaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
duh Abi kenapa? pusing karna banyak makan daging kali kak thor😩😩😩 jadinya darah tinggi Abi jadi naik, ayo dong pak dokter yang tampan dan cerdas periksa Abi🥲🥲🥲
2021-04-20
0