Pelabuhan Cinta Zalina
[InsyaAllah kita akan segera bertemu. Esok, begitu sampai di kampung, aku akan langsung melamarmu, Na. Tolong, bersabarlah hingga waktu itu datang. Jangan lupa doakan agar apa yang kita harapkan diridhai Allah.] pesan terakhir Uda Riki, sebelum akhirnya tanda hijau di profil media sosialnya berubah jadi abu-abu, pertanda ia sudah ofline.
Aku tersenyum. Membaca ulang pesan-pesan yang masuk lewat media sosial berwarna biru. Satu-satunya alat komunikasi yang kami pakai untuk berkomunikasi. Hanya satu arah. Hanya Uda Riki yang mengirimkan pesan, sementara aku jadi pembaca aktif. Kami melakukannya untuk menghindari segala godaan setan.
Empat tahun lalu, kami mulai aktif berkomunikasi satu arah. Awalnya dimulai saat Uda Riki dapat bea siswa kuliah di universitas negeri yang ada di Yogyakarta. Mengetahui itu, aku sangat bangga sebab ia yang terlahir yatim akhirnya bisa melanjutkan cita-citanya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi meski dalam keterbatasan. Namun juga sedih, kala menyadari bahwa akan ada jarak yang begitu jauh antara kami. Apalagi saat itu aku belum menyatakan perasaan padanya. Iapun sama.
Aku ingat betul, semalam sebelum ia berangkat, air mata ini terus bercucuran tanpa bisa kusebutkan alasannya. Rasanya sedih saja, meski menyimpan cinta dalam diam, tapi setidaknya saat ia di sini, aku bisa melihatnya setiap hari sebab rumah kami bersebelahan. Jendela kamarku berada tepat di depan jendela kamarnya.
Esok harinya, aku ikut mengantarkan ke bandara. Bersama bibi Hana, ibunya Uda Riki. Perjalanan dari Solok ke Padang terasa begitu cepat. Begitu memasuki bandara, aku kembali menangis. Perpisahan yang sebentar lagi terjadi seperti sebuah siksaan. Apalagi aku mendengar kata-katanya pada bibi Hana bahwa ia tak akan kembali sebelum menyandang gelar sarjana.
Sebelum ia pergi, ingin sekali ku katakan isi di hati, tapi rasanya malu. Apalagi bibi Hana selalu membersamai kami. Lagipula aku masih kelas tiga SMU, juga tak tahu bagaimana perasaan Uda Riki. Akhirnya tak ada pilihan lain selain melepas kepergiannya tanpa kata-kata.
Sehari setelah Uda Riki pergi, aku demam tinggi. Abi dan Umi kebingungan. Aku tak bicara sepatah katapun, hanya menangis dan terus mengurung diri di kamar. Dokter yang dipanggil Abi dan Umi sampai kebingungan, sebab tak ada tanda-tanda penyakit yang membahayakan, tetapi aku terus menangis seolah ada sakit yang kutahan.
Hingga akhirnya Ayu, sahabatku datang. Ia satu-satunya orang yang tahu rahasiaku itu. Ayu mengusulkan agar aku mencoba menghubungi Uda Riki. Bicara jujur padanya. Kalaupun ditolak, setidaknya aku tak akan bertemu dengannya hingga empat tahun kedepan.
Usul Ayu kuterima. Karena tak punya nomor Uda Riki, akhirnya aku membuat akun di media sosial. Kebetulan aku tahu Uda Riki juga punya akun di sana dan ia cukup aktif.
Butuh waktu sepekan untuk bisa menyapanya. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyukai semua foto dan status yang ia bagikan. Entah berapa banyak icon jempol kutinggalkan di sana. Aku tak peduli. Aku hanya ingin ia tahu bahwa aku ada di sini.
Usahaku berhasil. Uda Riki menyapa. Hanya sebuah salam. Tiap hari setelah kubalas, baru ia membalas lagi. Rasanya ini seperti siksaan untukku. Tapi aku mendapatkan penawarnya. Tak disangka, Uda Riki mengirimkan sebuah syair sebagai kiasan isi hatinya.
Ingin sekali kubalas syair tersebut dengan kata-kata yang lebih indah. Namun sayang, aku bukanlah pecinta yang pandai merangkai kata. Dengan apa adanya aku bertanya, apakah ia mengharapkan aku sebagai kekasihnya?
Pertanyaan yang akhirnya membuatku kembali uring-uringan sebab Uda Riki baru membalasnya setelah empat hari. Dengan gamblang ia menjelaskan bahwa sudah memiliki perasaan cinta padaku sejak ia menjadi murid sekolah menengah.
[Tapi aku sadar diri, Na. Lelaki miskin sepertiku mana pantas mendekati putri orang terpandang di kampung kita.] balasnya.
[Astagfirullah, Uda bicara apa? Uda tahu kan seperti apa Abi dan Umi? Mereka tak pernah membeda-bedakan orang dari kekayaan. Bagi mereka, kaya dan miskin hanya sebatas titipan yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Tolong jangan merasa rendah diri.
Lagipula Abi dan Umi sudah kenal Uda sejak kecil. Tak sedikitpun ada penilaian buruk terlontar dari lisannya. Justru Abi dan Umi selalu memuji Uda.] kataku.
[Benarkah, Na? Iya, aku tahu orang tuamu sangat menghargai orang lain. Bahkan merekapun tak segan menolong siapapun. Kedermawanan mereka sudah diketahui oleh seluruh penduduk kampung kita. Aku dan Ibu pun tak luput dari bantuan mereka, entah jadi apa kami tanpa bantuan Abi dan Umimu. Senang sekali rasanya Na, jika mereka menerimaku sebagai menantu. Ku harap, aku bisa berbakti dan membahagiakan putri semaya wayang mereka sebagai balasan atas kebaikan Paman Hasan dan Bibi Lina.]
[MasyaAllah ... Alhamdulillah. Abi dan Umi sungguh beruntung punya calon menantu seperti Uda.]
[Tapi Na, sebelum aku kembali. Kita rahasiakan dulu hubungan ibu. Aku ingin menjadi orang dulu sebelum datang mempersunting mu. Aku ingin memantaskan diri, Na.]
[Baik Uda.]
[Satu lagi. Untuk menjagamu, juga menjaga diriku sendiri dari godaan setan. Alangkah baiknya kita menjaga komunikasi. Jangan menghubungiku jika tak penting betul. Kamu bisa minta tolong Udamu atau bicara pada Ibuku. Baik-baik di sana ya, Na. Akupun akan menjaga diriku sebaik mungkin.]
Azan Subuh sudah berkumandang dari surau yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Aku menguap. Menahan kantuk yang mulai menyerang. Sebab terjaga semalaman, membaca ulang pesan-pesan yang dikirimkan Uda Riki selama empat tahu kebelakang.
Sebelum mata ini benar-benar terpejam. Aku berusaha melaksanakan salat Subuh tanpa dua rakaat dalat fajar. Usai salam, aku langsung tertidur lelap di atas sajadah. Masih memakai mukenah lengkap.
***
Cinta itu sebentar lagi akan berlabuh. Uda Riki akan segera kembali. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya. Lalu kembali sebab akan mengikuti ujian sebagai pegawai negeri di kampung kami. Seperti janjinya, setelah lulus nanti barulah ia akan melamarku.
Uda Riki, akan menjadi pelabuhan hatiku. Padanya, hanya ia seorang. Setelah itu, aku tak perlu lagi menghadapi lamaran demi lamaran dari lelaki yang tak ku inginkan. Tak perlu lagi membuat alasan apapun. Sebab aku akan menjadi kekasihnya Uda Riki.
Aku dan Uda Riki akan menikah. Kami akan menjadi marapulai dan anak Daro (sebutan untuk penganti laki-laki dan perempuan di Ranah Minang). Semua orang akan menatap kami dengan terpesona sebab kami akan menjadi pasangan yang paling serasi.
Senyum terus terukir di bibirku. Sementara kedua pipiku merona sebab bersanding untuk pertama kalinya dengan lelaki yang amat kucintai. Ya Allah ... sungguh indah sekali jika bisa merasakan cinta yang halal. Apa yang dilakukan, semuanya bernilai pahala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Astirai
nyimak dulu ya thor...
msmpir jg di bukalah hatimu untukku
2021-04-22
0
🌹Dina Yomaliana🌹
wah salam dari minang juga nih kak😘
2021-04-20
0
🌹Dina Yomaliana🌹
Uda Riki?😍😍😍 minang punya ya kak🤭 hihihihi mulai memantau dari awal nih karna ada Uda Riki❤️❤️❤️❤️
2021-04-20
0