#5

"Senjaa, please berhenti dulu", teriak Nathan sambil terus mengejar Senja.

"Enggaaa, kamu pergi sana jangan ikutin aku!" teriak Senja sambil menangis dan tetap terus berlari tanpa tau arahnya ke mana.

"Berhenti dulu, Senja. Nanti kamu makin jauh, kamu gak tau jalanan di sini kan. Nanti kamu nyasar", Nathan membalas teriakan Senja tanpa behenti untuk tetap mengejarnya.

Tiba-tiba Senja berhenti mendadak, dan membuat Nathan hampir saja menabraknya.

"Nah gitu dong", kata Nathan yang sangat kelelahan.

"Aku emang gak tau jalanan di sini, kenapa emangnya? Kalo kamu tau ya? Hafal banget? Sampe ada anak yang panggil kamu ayah? Ayo sekarang jelasin, jelasiinn!" Senja berteriak penuh emosi.

"Kita duduk dulu ya, Ja. Ayo sini", ajak Nathan pada Senja.

Walaupun sangat marah, tapi Senja masih terlihat sangat menghargai dan menurut dengan Nathan.

"Apa? Mau jelasin apa?" tanya Senja tanpa menatap Nathan.

“Senja, tolong dengerin aku dulu—”, bujuk Nathan.

“Dengerin kamu?!” Senja tertawa, pahit. “Aku nunggu kamu, Nathan. Aku nunggu sampai aku benci diri sendiri karena nggak bisa berhenti berharap kamu balik. Dan kamu... kamu ternyata hidup, jatuh cinta, punya anak, sementara aku... aku bahkan nggak tahu kamu masih masih ada apa gak, tapi aku tetep nunggu kamu", jelas Senja dengan air mata yang membanjiri pipinya.

Nathan memejamkan mata, menahan napas. “Waktu itu hujan deras. Malam itu aku bilang aku jalan pulang ke arah Jakarta. Ada truk besar dari arah berlawanan—remnya blong. Aku banting stir, mobilku masuk jurang.”

Senja terdiam, matanya melebar sedikit.

“Aku... sempet sadar sebentar pas mobil terguling. Aku berhasil keluar, tapi abis itu gelap. Aku koma, Senja. Lima belas bulan. Aku dirawat sama keluarga yang nemuin aku di dasar jurang itu.”

Suara Nathan mulai bergetar. “Pas sadar... aku nggak inget apa-apa. Nama, tempat, bahkan siapa aku. Dan aku nggak bisa jalan. Setahun pertama... aku cuma bisa duduk, ngerasa kayak mayat hidup.”

Senja masih belum bicara. Tangannya gemetar, rahangnya mengatup erat.

“Keluarga itu baik banget. Mereka nggak kenal aku, tapi rawat aku kayak keluarga sendiri. Anak mereka, Suri... dia yang paling banyak nemenin aku. Bantu aku jalan lagi, bantu aku pelan-pelan cari ingatan, walau sebagian besar nggak balik juga. Tahun kelima, aku... aku pikir aku orang baru. Dan aku mulai jatuh cinta.”

Nathan menunduk, suaranya makin pelan. “Aku nggak pernah mau ninggalin kamu, Senja. Aku bahkan nggak tau kamu siapa... sampai kelahiran anak kedua ku, yang perempuan, kayak kesetrum. Perlahan semua balik. Aku ingat moment kamu baru datang ke panti, seorang bayi perempuan yang menangis. Rasanya sama seperti itu.”

“Dan sekarang kamu di sini? Setelah punya keluarga baru? Setelah ninggalin aku kayak—kayak cerita yang udah tamat? Kamu gak mau cari aku setelah kamu inget aku?” Senja akhirnya bersuara, lirih tapi penuh luka.

Nathan menatap matanya. “Aku nggak pernah anggap cerita kita tamat. Tapi kenyataannya... waktu berjalan tanpa kita bisa tahan. Aku nggak minta kamu maafin aku sekarang. Aku cuma pengen kamu tau... aku nggak pernah sengaja ninggalin kamu.”

"Dan Senja.. apa aku harus setega itu, aku inget semua lagi setelah aku menikah dan punya dua orang anak? Lalu aku harus temuin kamu dengan membawa istri dan anak-anakku. Apa aku gak menghancurkan hati kamu dan juga hati Suri?"

"Iya seperti apa yang kamu lakuin malam ini, kamu bikin aku hancur", bisik Senja lirih.

Seketika hujan turun. Rintik pertama jatuh seperti tanda. Mungkin dari langit, mungkin dari Tuhan. Tapi Senja masih di sana, menggenggam hatinya yang terasa hancur lagi, untuk kedua kalinya.

Senja menunduk. Bahunya naik-turun pelan, dan Nathan tahu, Senja yang pernah dimiliki nya itu sedang berusaha keras menahan sesuatu yang ingin meledak. Mungkin amarah. Mungkin tangis. Mungkin dua-duanya.

"Aku nggak tahu harus marah ke kamu… atau ke semesta,” gumam Senja, setengah tertawa getir. “Kamu tau nggak, setiap malam aku ngebayangin kamu kecelakaan, diculik, apapun... Asal jangan ninggalin aku karena udah nggak sayang.”

Nathan ingin mengusap air mata Senja, tapi Senja menghindar. Jarak di antara mereka terasa seperti dua dunia yang gak lagi bisa dipersatukan.

"Senja…” Nathan menatapnya, nyaris memohon. “Setiap malam setelah aku sadar, aku ngeliat ke langit-langit kamar itu dan ngerasa kosong. Aku pikir aku cuma orang yang kebetulan diselamatin sama orang baik. Tapi ternyata... aku pernah jadi bagian dari seseorang. Kamu.”

Senja mendongak, menatapnya. Matanya sayu, tapi tatapannya tajam, penuh luka.

"Dan sekarang kamu mau apa, Nat? Minta aku apa? Nggak apa-apa, bilang aja. Aku udah cukup dewasa buat nerima kenyataan, kan?”

Nathan terdiam.

“Aku cuma pengen kamu tahu semuanya,” katanya akhirnya, pelan. “Aku nggak datang buat minta balikan, atau buat ninggalin keluargaku sekarang. Aku datang karena aku nggak tahan... hidup tanpa pernah minta maaf ke kamu. Tanpa pernah jelasin.”

Senja menarik napas panjang. “Kamu tahu, bagian paling menyakitkan dari semua ini bukan karena kamu jatuh cinta lagi sama orang lain. Bukan karena kamu punya anak. Tapi karena kamu bahagia... dan aku nggak tahu itu.”

Nathan mengatup bibirnya. Dada kirinya berdenyut. Kalimat itu seperti hukuman.

“Aku belajar jalan lagi sambil belajar jadi orang lain, Senja,” katanya. “Tapi ternyata aku nggak bisa. Karena di kepala aku selalu ada bayangan yang nggak jelas, yang ternyata kamu. Bahkan Suri pun tahu. Dia yang dorong aku buat nyari tahu siapa aku sebelumnya.”

Senja mengerjap. “Dia tahu?”

Nathan mengangguk. “Dia yang nemu kotak kecil berisi foto kita. Ternyata aku simpan di jaket... saat kecelakaan.”

“Foto kita?” suara Senja melemah.

Nathan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Plastik kecil bening. Di dalamnya ada foto usang—agak pudar, agak robek di ujungnya. Tapi jelas: Senja tertawa, duduk di bangku taman. Dan Nathan, di sampingnya, menatap Senja seolah dunia cuma berisi satu orang.

Air mata Senja jatuh.

“Aku nggak bisa nyuruh kamu ninggalin hidupmu sekarang,” katanya akhirnya, suara serak. “Tapi kamu juga nggak bisa nyuruh aku baik-baik aja sekarang.”

“Aku tahu.”

“Aku hancur, Nat. Tapi mungkin aku masih bisa belajar maafin.”

Nathan menatapnya, air hujan membasahi wajah mereka—mungkin menutupi air mata, mungkin tidak.

“Kalau kamu mau pergi lagi,” lanjut Senja, “pergi aja dengan tenang dan bahagia. Sekarang aku uda cukup jelas dengan semua alasannya", Senja tersenyum getir.

"Senja, izinin aku antar kamu ke penginapan ya", Nathan menatap dalam Senja yang ada di hadapannya.

Terpopuler

Comments

Yunita

Yunita

semoga senja mendapatkan jodoh yg terbaik

2025-10-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!