Ketika warga memilih untuk tidur, seorang perempuan berambut panjang keluar rumah untuk menghirup udara malam. Dia sangat menyukai malam ini. Entah mengapa malam ini terasa begitu panas. Dia ingin sedikit berkeliling dan melihat bagaimana suasana desa Sumbersoko di malam hari. Berdiam diri di rumah lama-lama membuatnya bosan.
Dia berjalan-jalan sambil menyanyikan tembang kesukaannya. Rasanya malam ini begitu syahdu, tembangnya
diiringi oleh suara hewan-hewan malam. Kepingan-kepingan masa lalu kembali tercipta dan bersatu membuat cerita kelam. Perempuan itu menertawakan kebodohannya sendiri seraya sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sepertinya kisah dari tembang ini menarik untuk disambung. Aku yang akan menjadi tokoh dari ceritaku, dan aku yang akan disalahkan karena kebodohanku.” Sukesih berbicara pada dirinya sendiri sambil tersenyum sinis. Dapat dikatakan Sukesih sudah tidak waras lagi. Dia adalah perempuan cantik dengan pikiran yang sudah gila.
***
Entah sudah berapa hari Sukesih tinggal di desa Sumbersoko. Yang pasti tak bisa dihitung dengan hitungan
jari. Sukesih mulai betah di sini. Nyaman dengan lingkungan barunya. Hanya saja beberapa orang yang penasaran membuat Sukesih memilih untuk berdiam diri di rumah. Dia tak ingin meladeni banyaknya pertanyaan yang selalu tertuju padanya. Sukesih jarang keluar rumah, dia hanya keluar itu pergi ke pasar—membeli beberapa bahan makanan atau menukar barang berharganya dengan uang. Setelah ini mungkin dia akan berhenti untuk menjual barang-barangnya dan berusaha untuk mendapatkan uang dengan usaha.
Pagi ini keadaan desa Sumbersoko sedikit aneh. Biasanya sudah banyak orang yang berlalu-lalang di jalanan desa. Kini satu orang tak ditemukan. Sukesih heran, ke mana perginya warga di desa ini? Atau jangan-jangan desa ini adalah desa setan? Dia menepis kecurigaannya yang tidak masuk akal ketika seorang wanita paruh baya berjalan tergesa-gesa.
“Bu, Ibu. Ibu ingin pergi ke mana? Sepertinya terburu-buru.” tanya Sukesih sambil menghentikan langkah
wanita itu.
“Kau tak tahu? Putrinya Kang Hadi hilang dan saya harus ke sana. Permisi ya.” Sukesih menganggukkan kepala sambil menerawang. Kang Hadi? Siapa dia? Sukesih melewatkan banyak berita di desa ini. Karena penasaran dia bergegas untuk mencari rumah Pak Hadi dan mengetahui masalahnya.
Benar saja, di rumah Pak Hadi sudah banyak orang yang berkumpul. Pantas saja, jalanan desa terlihat sepi. Mereka semua berpindah ke sini untuk mendengar cerita dari Pak Hadi tentang anaknya yang hilang. Sukesih ikut masuk ke dalam kerumunan agar tidak melewatkan masalah ini
"Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa hilang. Padahal semalam aku tidur dengannya," ujar wanita yang diketahui sebagai ibu korban.
"Apa kau tidak mendengar ada orang yang masuk ke rumahmu?" tanya salah seorang pria.
"Tidak ada Kang. Pintu rumah dan segala lubang di rumah ini sudah tertutup rapat. Tapi, saat saya terbangun anak saya sudah tidak ada dan pintu rumah jebol." Sang suami ikut menjawab sambil melihat pintu rumahnya berlubang seperti ditabrak kambing. Maklumlah rumah bambu, terkena pukulan saja bisa jebol.
"Kepala Desa harus tahu soal permasalahan ini. Dia bukan hanya seseorang yang bertugas mengobati orang sakit tetapi dia juga ketua desa ini," ujar salah satu pria dengan kumis lebat di bawah hidungnya.
"Benar. Kita semua akan pergi ke rumah Kepala Desa dan menyelesaikan masalahnya di sana." Setelah pria muda ini menyelesaikan perkataannya. Semua orang—termasuk Sukesih dan orangtua korban, ikut pergi ke rumah Kepala Desa sambil berdoa agar masalah pelik ini lekas selesai.
“Kula nuwun (permisi).” Beberapa orang berteriak di depan rumah Kepala Desa agar pemilik rumah keluar.
“Lho, wonten napa nggeh (ada apa ya)?” Tak beberapa lama, Kepala Desa itu keluar dan terkejut karena banyak warga yang mengerumuni rumahnya.
“Pangapunten Kang (maaf Kang), kami semua harus mengganggu panjenengan (anda),” ujar salah satu pria.
“Waah sayangnya rumah saya tidak cukup untuk membuat kalian semua masuk,” Kepala Desa itu menggaruk
kepalanya sambil melihat rumahnya.
Hanya orangtua korban yang bisa duduk di beranda rumah Kepala Desa. Sisanya harus rela berdiri dan tak
jarang saling mendorong untuk mendapatkan jawaban dari masalah itu.
“Anak Pak Hadi hilang?” Kepala Desa terkejut setelah mendengar cerita dari Pak Hadi. Dia tidak percaya
mendapatkan berita ini.
“Benar Pak, kami tidak mengada-ada cerita. Ini merupakan kabar buruk bagi kita semua,” jawab Pak Hadi berusaha meyakinkan sang Kepala Desa.
“Saya percaya kepada kalian. Hanya saja saya heran, mengapa ada kejadian seperti ini? Desa ini aman-aman sejak zaman kakek saya dulu. Tidak ada cerita mengerikan walaupun itu sekadar cerita pengantar tidur. Apakah tidak ada bukti lain selain pintu rumah yang berlubang?” tanya Kepala Desa dijawab gelengan oleh Pak Hadi dan istrinya. Hilangnya sang anak tak meninggalkan bukti apa pun. Tak mungkin dia pergi pagi-pagi
sekali hanya untuk bermain. Pastinya anak kecil memilih untuk bangun siang.
“Apakah tidak ada kejadian pada kemarin malam yang membuat kalian curiga?” Kepala Desa bertanya lagi. Hal
sekecil apa pun harus dikorek agar tidak melebar menjadi masalah besar.
“Ti ... eh sebentar. Saya mengingat sesuatu Pak,” ujar Pak Hadi sambil mengingat-ingat.
“Tadi malam ketika saya baru terlelap, saya dibangunkan oleh udara yang panas. Seakan udara malam ini
memberi aba-aba untuk cerita pagi ini. Saya berdiri dan meraba dinding bambu rumah saya. Mencari sebuah kayu kecil pengganjal jendela di atas ranjang istri dan anak saya. Saya membuka jendela dengan pelan agar istri dan anak saya tidak terganggu.”
“Suasana di luar rumah terasa sangat sunyi. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang meramaikan.
Saya hanya berdiam diri di depan jendela, saya menunggu hingga keringat-keringat saya kering dan kembali tidur. Sebenarnya saya sangat mengantuk tetapi saya tak bisa tidur jika dibasahi keringat. Udara malam yang
dingin semakin membuat saya ingin lekas-lekas memejamkan mata kembali. Setelah merasa cukup segar, saya kembali menutup jendela dan berbaring di tempat semula.”
“Saya yang ingin tidur kembali dikejutkan oleh sesuatu. Saya heran mendengar suara di luar sana. Bukan
hewan malam, itu suara manusia. Sama seperti saya, hanya saja dia perempuan. Terdengar dari suaranya, halus dan lembut. Tak mungkin seorang lelaki memiliki suara seperti itu--kecuali beberapa orang yang memiliki kelebihan khusus. Perempuan itu sedang menyanyikan sebuah lagu. Bulu kuduk saya mulai meremang mendengar suara perempuan itu.
Suaranya yang semula berada di depan rumah beralih ke belakang rumah. Suara itu seolah mengelilingi
rumah saya. Saya hanya diam tak berkutik di bawah ranjang. Berusaha untuk tidak takut. Namun, lama kelamaan suara itu hilang dengan sendirinya, seperti ditelan angin. Saya mulai menarik kesimpulan, mungkin perempuan itu adalah tetangga yang suka menyanyi atau perempuan itu hanya ingin berjalan-jalan malam saja. Saya mencoba berpikir demikian walau tak masuk akal. Lalu saya kembali terlelap dan tidak memikirkan hal itu.” Pak Hadi menghentikan ceritanya.
“Jadi, Pak Hadi ingin mengatakan secara tidak langsung bahwa pelakunya adalah perempuan yang bernyanyi itu?” Seorang lelaki yang berada di depan kerumunan bertanya setelah mendengar cerita Pak Hadi.
“Bukan, bukan seperti maksud saya. Dari cerita saya tadi, mungkin kita bisa mencari petunjuk,” jawab
Pak Hadi mengelak. Padahal, hatinya dengan mantap menjawab iya.
“Benar, kita tidak bisa langsung menuduh bahwa perempuan itu pelakunya. Bisa saja dia hanya perempuan
biasa yang tak memiliki niat apa-apa. Tetapi kita bisa mencari petunjuk lewat wanita itu. Mungkin perempuan itu tahu jika ada gerak-gerik seseorang yang mencurigakan atau sebagainya,” ujar Kepala Desa membuat semua orang mengangguk. Mereka paham betul bahwa Kepala Desa pasti bisa menyelesaikan masalah ini.
“Lalu kita harus melakukan apa, Pak?” tanya beberapa warga.
“Kita tidak boleh menggantungkan jawaban pada perempuan itu saja. Kita harus tetap waspada karena
bisa saja peluang hilangnya anak bisa terjadi. Walaupun kita tak menginginkan hal ini. Tetap waspada dan kita harus melakukan ronda setiap malam,” jawab Kepala Desa.
“Apakah malam Jumat Legi akan menjadi malam yang mengerikan, Pak?” Tiba-tiba pertanyaan lelaki berumur
dua puluh tahunan menyita perhatian semua orang. Apa maksud dari perkataannya itu? Keadaan menjadi gaduh setelah mendengar hal itu.
“Begini, tadi malam adalah malam Jumat Legi. Saya curiga jika orang itu akan datang setiap malam itu saja.
Saya sering mendengar soal cerita-cerita seperti itu. Hanya ada satu hari yang dikhususkan untuk melakukan perbuatan jahat.” Entah dari mana lelaki ini bisa mendapatkan teori seperti itu. Lagi-lagi warga menyerbu Kepala Desa untuk memastikan apa yang dikatakan lelaki itu benar atau tidak.
“Tenang, tenang. Kita semua harap tenang. Entah itu malam Jumat Legi atau bukan, kita harus tetap
waspada. Karena kita masih belum tahu betul, siapa, kapan, dan di mana peristiwa ini akan terulang kembali. Jadi saya harap warga tetap tenang.” Kepala Desa mencoba menenangkan warga yang mulai tidak kondusif. Daripada rumah Kepala Desa yang menjadi korbannya, lebih baik mereka dibubarkan sekarang juga.
Ketika yang lain bersedih, Sukesih tersenyum sendiri. Dia sangat bahagia mendengar kabar tadi pagi. Sukesih benar-benar tidak waras, seharusnya dia takut jika dia tertangkap sebagai penculik anak. Tetapi dia malah bahagia karena akan ada kisah baru yang dihasilkan oleh tembangnya. Kisah tentang kesengsaraan dan kesedihan lagi. Bukan hanya satu orang, tetapi banyak orang yang akan menjadi korban.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Sarita
berarti pembunuhnya sukesih gitu ??..
2021-08-14
1
anggita
👏👏 trus, salam dari novel silat 13 Pembunuh.
2021-02-14
1