Berbeda di gardu, berbeda pula di lapangan. Seorang penjual kue putri mandi mengayuh sepedanya melewati
tanah berumput. Dia baru saja pulang setelah menjajakan jualannya. Sebuah lubang kecil dari gerobaknya terus mengeluarkan suara, berlomba dengan suara yang berada di lapangan. Di tengah gelapnya malam penjual kue tak dapat melihat jelas apa yang sedang terjadi di sana. Gerombolan orang berkumpul di satu
tempat, seperti sedang melihat pertunjukan. Tapi tidak ada suara apa pun di sana, hanya suara tendangan. Penjual kue itu mendekat untuk mencari tahu. Dia berjalan sambil mengusap keringat-keringat yang menetes dari dahinya.
"Hei! Sudah malam anak-anak, cepat pulang!" ujar lelaki paruh baya itu. Dia melihat beberapa anak menendang benda berwarna bundar. Sudah larut malam seperti ini, tapi mereka masih saja bermain bola. Karena perkataannya diabaikan begitu saja, akhirnya dia memutuskan untuk mendekat. Sayangnya, keberuntungan tak berpihak padanya malam ini.
Penjual kue baru sadar, bahwa mendekati gerembolan itu adalah keputusan yang salah. Gerombolan itu
memang anak-anak, tapi tak memiliki kepala. Benda bundar yang mereka gunakan untuk bermain adalah kepala dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Setaaaan!" penjual kue ini berteriak sambil berlari meninggalkan gerobaknya.
Dengan terengah-engah, akhirnya dia sampai di tempat tinggalnya. Dia tak tahu ada kabar apa yang sedang menunggunya di dalam sana.
Malam ini berbeda, ada yang janggal dengan rumahnya. Dia terkejut ketika melihat lubang besar pada
rumahnya, tanda yang tak diinginkan semua orang. Di dalam rumah sudah ada istrinya yang menunggu dengan mata sembap.
"Ada apa ini, Dek?" tanya penjual kue pada istrinya. Dia tidak ingin mendapatkan jawaban seperti dugaannya.
"Dia menghilang," jawab sang istri sambil menangis tersedu-sedu.
"Kenapa bisa menghilang? Bukankah kamu berada di dekatnya?"
"Aku sudah menjaganya. Tapi, entah mengapa dia bisa menghilang." Sang istri memeluknya.
"Besok pagi, kita pergi ke rumah Kepala Desa." Penjual kue itu menyuruh istrinya tidur, sedangkan dirinya duduk di dekat jendela sambil melihat bulan yang bersinar indah. Berbanding terbalik dengan keadaan rumahnya yang sedang gundah.
***
Bendera kuning menancap pada pagar rumah. Banyak orang yang datang untuk ikut berduka cita, menenangkan sang pemilik rumah, atau sekadar membunuh rasa penasarannya.
"Ini semua salah Joko. Seandainya dia tidak meninggalkan kakekku sendirian, kakekku tidak akan meninggal seperti ini," ucap sang pemilik rumah sambil menatap Joko, lelaki yang semalam ikut berjaga di gardu sebelum
akhirnya lari terbirit-birit. Mata sang pemilik rumah berwarna merah dan berkaca-kaca. Sudah banyak air mata yang menetes setelah warga membawa kakeknya pulang tanpa nyawa.
Joko sejak tadi hanya menunduk, sebab kecewa, malu, dan sedih menjadi satu.
"Seharusnya dia paham, apa yang terjadi jika orang yang sudah tua bertemu dengan hal seperti itu. Jika saja Joko masih ada niatan untuk menyelamatkan kakekku, aku tak akan sesedih ini. Bahkan kakekku mungkin masih meminum kopi di teras rumah." Gadis itu masih menyalahkan Joko yang semakin merundukkan kepala.
"Hei semuanya!" teriak seorang lelaki dengan baju berwarna cokelat buluk dan celana pendek yang senada.
"Ada apa, Pak?" tanya Joko yang terkejut karena mendengar teriakan lelaki itu.
"Pak Jaya kehilangan anaknya semalam." Jawaban lelaki itu membuat semua orang terkejut. Setelah kejadian banyak hantu yang meneror warga, apakah mereka harus mendapat musibah lagi?
Mendengar hal itu warga kembali was-was karena ada dua bahaya yang mengancamnya di luar sana. Semua
orang segera meninggalkan rumah kakek yang meninggal tadi malam. Berpindah haluan ke rumah Kepala Desa untuk meminta pertanggung jawaban.
Di rumah Kepala Desa sudah ada kedua orangtua korban bulan ini. Mereka bertopang dagu dan memegang kepala sambil memikirkan masalah ini.
"Pak, bagaimana ini? Katanya sudah diselesaikan, kenapa masih berjatuhan korban?" tanya salah satu warga yang kebetulan ada di depan kerumunan.
"Tenang, saya harap kalian tenang. Saya tahu masalah kalian, tapi yang kita hadapi bukan makhluk hidup biasa. Seberapa ketat penjagaan di desa ini, masih saja bisa ditembus oleh dia," jawab Kepala Desa.
"Bisakah bapak dan ibu ceritakan bagaimana kejadiannya?" Pertanyaanya sang Kepala Desa membuat warga memutar bola mata, kesal. Semua warga sudah lelah dengan ucapan sang Kepala Desa.
"Tadi malam saya menunggu suami saya pulang dari berjualan. Saya sudah menjaga anak saya dengan baik. Hanya saya tinggalkan untuk mengambil air minum, lalu dia sudah tidak ada," cerita sang istri penjual kue.
"Bodoh! Kau berbohong tadi malam. Katamu sudah menjaganya, tapi kau tinggalkan mengambil air."
Sang suami mendorong kepala istrinya.
"Dia yang haus," sahut sang istri membela diri.
"Sabar ya, Pak. Apa Ibu tidak bisa waspada? Biasanya sebelum anak-anak menghilang, ada suara nyanyian di luar rumah," ujar Kepala Desa dijawab gelengan oleh wanita itu. Melihat hal itu warga mengerutkan dahi.
"Nyanyian itu berada di rumahku," sahut wanita bertubuh tinggi dan berkulit kuning langsat yang berada di pinggir kerumunan.
"Awalnya, aku berpikir bahwa anak tetanggaku yang akan hilang. Tapi ternyata anak Ibu ini," lanjut wanita itu. Dia mengira anak tetangganya yang akan hilang karena dia sendiri tidak punya anak.
"Sudah saya katakan, kita harus waspada setiap malam. Lihat ini! Nyanyian ada di rumah Mbak ini, tapi Ibu ini yang kehilangan anaknya. Jadi, kita harus tetap waspada sebelum kejadian ini benar-benar usai," terang Kepala Desa.
"Apa tidak ada cara lain selain waspada?" tanya wanita itu.
"Semua warga laki-laki berkumpul di sini jam tiga sore. Kita diskusikan lagi masalah ini." Jawaban sang Kepala Desa membuat semua orang sedikit lega.
***
"Bisakah kita memulai diskusi sebelum hari mulai gelap? Kalian tidak ingin pulang bertemu dengan mereka, kan?" Goda Kepala Desa sambil memainkan alisnya kepada beberapa warga yang asyik mengobrol dan makan gorengan yang disediakan.
"Hehehe… bisa. Pak. Silakan dimulai," jawab Joko yang menyadari kesalahannya. Keadaan menjadi tenang, semua orang tidak ada yang berbicara kecuali sang Kepala Desa yang memberikan penjelasan tentang masalah yang harus dibahas.
"Apakah bapak-bapak di sini tidak curiga, jika hantu itu ada hubungannya dengan hilangnya anak kecil di desa kita?" tanya lelaki yang tadi pagi sempat memberikan berita tentang hilangnya anak Pak Jaya.
"Tunggu, maksud bapak apa?" tanya Kepala Desa.
"Begini Pak, kita mengalami masalah berupa kehilangan anak kecil dan munculnya hantu dalam waktu
yang bersamaan. Mungkinkah anak yang hilang itu tadi dibunuh dan menjadi hantu?"
"Tidak! Saya tidak punya pemikiran seperti itu. Jika itu benar, berarti anak saya juga dibunuh. Tidak!" sela Pak Jaya.
"Jika kemungkinan itu tidak terjadi, dari mana munculnya hantu berukuran anak-anak itu?" Pertanyaan itu membuat semua orang khawatir.
"Tolong jangan sebarkan kecurigaan Bapak kepada warga. Saya tidak ingin warga menjadi resah karena ini. Jadi, begini saja, solusi sementara adalah ada yang menjaga penculik itu agar tidak masuk, dan menjaga agar hantu itu pergi dari desa ini." Kata-kata terakhir dari Kepala Desa membuat semua orang menelan ludah. Siapa yang mau kejar-kejaran dengan makhluk halus itu? Lagi pula, ingin ditangkap dengan apa jika bertemu mereka? Mereka makhluk yang bisa berpindah-pindah tempat. Solusi yang sangat tidak masuk akal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
anggita
mulai horor., ada anak hilang.,
2021-02-14
1