Salju mencair,
Jalanan kembali bersih,
Udara kembali hangat,
Musim semi.
Musim terbaik untuk jatuh cinta. Tidak terlalu dingin tapi juga tidak terlalu panas. Semuanya terasa sempurna. Daun kembali tumbuh, bunga Maehwa -bunga kesukaanku- kembali bermekaran. Aku melempar pandang keluar jendela apartemen. Dedaunan sudah kembali menghijau. Orang-orang mulai menanggalkan pakaian hangat nan berat. Tidak sehangat musim panas namun tidak membuatmu membeku karena salju. Aku menyesap kembali cangkir bening berisi teh hingga habis. Aku masuk kedalam walk in closet mengambil mantel juga sepatu boot kuning mustard dengan heels rendah yang memiliki warna senada dengan mantel. Aku menatap syal kuning berwarna serupa di lemari kaca. Aku tersenyum lalu keluar tanpa syal itu.
Soo Ji Ah, manajer sekaligus asisten pribadiku sudah sampai di lobi apartemen saat aku turun. Mobil van putih membawaku menyusuri jalanan Seoul, entah kemana hari ini aku akan pergi. Biasanya akan akan memejamkan mata kemudian tertidur namun tidak kali ini. Musim semi selalu menjadi musim favoritku. Aku tidak pernah ingin melewatkan awal musim semi.
“Dimana kita akan syuting hari ini?” Tanyaku sambil menatap keluar mobil.
“Itaewon,” jawab Ji Ah.
“Syuting makan?” Tanyaku sambil menoleh pada Ji Ah yang ternyata sedang sibuk membaca naskahku hari ini.
“Syuting makan, dan putus,” jawab Ji Ah kemudian memberikan naskahku. Aku membaca naskah drama lagi. Tentu saja aku sudah ingat apa yang harus aku ucapkan nanti hanya saja aku tidak tahu bahwa kedua adegan itu akan ada di tempat yang sama. Cukup miris mengetahui tempat bahagia, dan sedih berada di tempat yang sama.
Park Min Wook sudah berada di lokasi saat aku tiba, aku memberi salam kemudian masuk ke ruang tunggu. Para kru sedang menyiapkan set syuting saat aku dirias. Aku memejamkan mata, dan tak lama kemudian tertidur. Syuting sudah menjadi kehidupanku sejak delapan tahun yang lalu. Cerita cinta dengan berbagai latar belakang seta konflik sudah aku mainkan dengan sukses. Aku sendiri tidak tahu tepatnya sudah berapa karakter yang aku bawa ke dalam layar kaca. Setiap karakter memiliki keunikan mereka sendiri namun ada satu hal yang sama. Dari sekian banyak cerita yang dibuat penulis untuk aku perankan, tidak satupun cerita yang aku harap benar-benar terjadi pada kisah cintaku. Padahal dahulu alasan utamaku terjun ke industri ini adalah mencari cerita yang mirip dengan kenanganku.
Aku jadi kembali mengingat perjalananku terjun ke industri ini. Aku mempertimbangkan darimana aku harus menceritakan kisah ini tapi sepertinya sembilan tahun yang lalu adalah pilihan yang tepat untuk memulainya.
London, 2011.
Tidak seperti hari sebelumnya, kali ini aku menggunakan sweater abu-abu dengan legging hitam. Dada kiriku tertembak kemarin. Aku cukup beruntung karena peluru itu tidak mengenai jantungku. Meskipun aku sempat tidak sadar diri selama sebulan, aku kini sudah bisa beraktifitas seperti biasa. Setelah meminum obat penahan rasa sakit, aku berjalan melalui lorong panjang menuju kamar R. Tangan kananku mengetuk pintu kamar R, beberapa saat barulah R mempersilahkan aku masuk. Aku menekan kenop pintu, saat pintu terbuka, R duduk di atas kasurnya.
“Kau tidak melanjutkan kontrak?” Tanyaku tanpa basa-basi. Sejujurnya aku juga cukup terpukul saat mendengar R tidak melanjutkan kontrak kerjanya. Entah mengapa aku sangat nyaman bekerja bersamanya, tidak seperti rekan pengawal sebelumnya.
“Aku tidak mungkin melindungi orang lain jika aku sendiri tidak bisa melindungi diriku,” jawab R dengan nada rendah. Tanpa diberitahu pun aku juga tahu bahwa itu bukan satu-satunya alasan.
“Kau tidak membaca kontrak yang ditawarkan?” Aku berusaha untuk membuatnya berubah pikiran. Seingatku gajinya dijadikan tiga kali lipat ditambah fasilitas tambahan.
“Aku sudah membicarakan itu semua sebelumnya bahkan. Aku sama sekali tidak berubah pikiran, ini pilihan terbaik,” R kembali menjawab. Benar juga Auriga pasti sudah datang kesini untuk membujuknya.
“Apa itu benar-benar alasannya?” Tanyaku berusaha memancing kejujuran R.
“Apa?” R bertanya balik kepadaku. Baiklah, aku akan menyerah setelah ini.
“Apa tidak bisa melindungi diri adalah alasannya?” Tanyaku lagi dengan tatapan menyelidik. R terdiam sesaat. Dia pasti akan mengakuinya sekarang.
“Memang apalagi?” Jawab R dengan pertanyaan. Baiklah, aku menyerah. Keputusan pria ini sudah bulat.
“Baiklah, kuharap kau tidak menyesal,” ucapku lalu menepuk pundak R lantas keluar kamar. Aku berjalan kembali ke kamarku. Cukup mengejutkan saat aku bertemu Auriga di tangga menuju kamarku. Aku menunduk dalam takut. Pria bersurai coklat tua di depanku ini adalah anak pertama dari bosku.
“Bukankah kamu belum sepenuhnya sembuh? Mengapa kau disini?” Tanya Auriga tak suka. Auriga menatapku dengan tatapan yang benar-benar membuatku ingin hilang saja dari muka bumi ini.
“Saya baru saja dari kamar R, saya hanya ingin mengucapkan selamat tinggal, permisi,” ucapku berusaha pergi dari situasi menegangkan ini.
“Apa kau tidak tahu betapa aku mencemaskanmu,” lirih Auriga saat aku hendak berjalan melaluinya. Kakiku kembali diam, seluruh tubuhku mendadak kaku. Entah mengapa ada banyak kupu-kupu berterbangan di dalam perutku saat Auriga mengatakan itu.
“Maaf jika saya membuat Anda cemas,” ucapku kemudian pergi. Kali ini aku berjalan cepat menuju kamarku. Aku segera luruh ke lantai saat aku tiba di kamar. Aku naik ke atas kasur sedikit merangkak. Tebakan kalian benar, aku dan Auriga sempat menjalin kasih selama beberapa saat. Tak berapa lama Visil masuk ke kamar seenaknya.
“Kita akan segera dipecat!” Seru pria itu kemudian melemparkan diri ke kursi kerjaku. Aku mengerutkan dahi tak mengerti. Visil mengambil remot televisi. Layar kotak itu menampilkan Thomson, bos besarku, yang digiring polisi. Ternyata pada akhirnya semuanya akan menandatangani kontrak yang sama seperti yang dilakukan R. Aku menghela nafas kasar.
Setiap pengawal akan masuk satu per satu. Semuanya menunggu di depan perpustakaan. Entah mengapa aku sangat sedih. Apa ini juga yang dirasakan oleh R saat menandatangani kontrak itu? Aku bersandar pada tembok. Aku menatap pantulan wajahku di kaca jendela. Tidak ada Chris yang seperti biasanya. Bibirku tidak semerah biasanya, ada lingkaran hitam di bawah mataku. Dengan memandang wajahku saja, orang akan langsung tahu bahwa aku tidak baik-baik saja. Aku tidak berusaha menutupi wajahku dengan riasan karena aku memang tidak memilikinya. Seorang pengawal tidak perlu berpenampilan cantik untuk menjaga tuannya, begitu menururtku.
Cukup lama aku berdiri hingga Aquila tiba-tiba muncul. Gadis itu berjalan perlahan kemudian menarik pergelangan tanganku. Aquila memimpin langkah kami menuju balkon rumah.
“Setelah R pergi, kamu juga pergi, mengapa takdir sejahat ini,” ucap Aquila sambil memandang taman belakang. Tinggi Aquila hanya sebatas telingaku. Rambut ash blonde panjang dibiarkan lurus ke bawah, tidak seperti biasanya.
“Kau akan baik-baik saja,” ucapku sambil menepuk lengannya pelan.
“Chris, kau tahu sendiri aku sangat sulit beradaptasi dengan orang baru, mengapa kau tega!” Jerit Aquila yang mulai tidak tahan dengan keadaan saat ini. Aku merangkul Aquila yang mulai tersedu.
“Apa kau juga akan menyerah kepada perasaanmu?” Tanya Aquila masih sesenggukan.
“Kurasa ini bukan saatnya membicarakan itu. Keadaan saat ini mendesak kita, jika memang takdir merestui, kami akan bertemu kembali, aku yakin itu,” ucapku pasrah. Sejujurnya hatiku sangat teriris saat semua pegawai Aquila Mansion harus mengakhiri kontrak kerja, dan irisan itu semakin membelah hatiku saat ini.
“Kenapa kau dan Auriga sangat pandai menutupi perasaan kalian?” Tanya Aquila lirih kemudian kembali tersedu. Aku menarik napas kemudian menghembuskannya berat.
“Aku harap kau baik-baik saja,” ucapku lirih sambil menepuk bahunya kemudian kembali ke depan perpustakaan. Saat itulah Visil keluar ruangan, dan memintaku untuk masuk. Auriga berdiri membelakangiku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Saat Auriga berbalik, aku mengalihkan mataku menatap lantai.
“Sepertinya kita harus benar-benar berakhir disini,” ucap Auriga lalu mengendus. Aku menarik napas dalam kembali. Bau alkohol. Apakah Auriga baru saja minum sebelum aku masuk?
“Dokumen mana yang perlu saya tanda tangani?” Tanyaku sopan.
“Berhentilah bersikap seperti itu saat hanya ada kita,” ucap Auriga tak suka. Sesaat ruangan sangat hening sampai Auriga kembali bersuara, “apa yang akan kau lakukan setelah keluar dari rumah ini?”
“Anda tidak perlu khawatir, saya akan segera mendapatkan pekerjaan baru,” jawabku berusaha setenang mungkin.
“Kau gila?! Kau kira aku tidak tahu latar belakang keluargamu?!” Bentak Auriga tak suka. Aku terdiam. Aku tertunduk semakin dalam. Aku kembali menelan ludah berat. Aku sungguh takut.
“Berhentilah bekerja di tempat seperti ini, carilah pekerjaan yang lebih aman,” ucap Auriga lagi.
“Apa kau mencintaiku?” Tanya Auriga, aku tak perlu melihatnya untuk mengetahui tatapan tajamnya yang sedang menusukku.
“Saya rasa ini bukan tujuan saya dipanggil kemari,” jawabku tetap menunduk.
“Persetan dengan semua itu! Angkat dagumu saat berbicara padaku!” Bentak Auriga lagi. Kali ini Auriga menarik lenganku mendekat. Aku tidak bisa lagi menghindari tatapan itu. Mata kami bertemu selama beberapa saat. Segalanya terasa lambat. Suara angin yang menabrak jendela, gorden yang menari-nari, hingga Auriga yang mulai memejamkan mata. Semuanya lambat saat Auriga menempelkan bibirnya pada sudut bibirku. Bukan ciuman dewasa seperti di film-film barat. Hanya sebuah kecupan ringan di sudut bibirku selama sekian detik. Dan itulah kecupan pertamaku.
“Tidak bisakah kau memohon padaku untuk tetap bekerja disini?” Tanya Auriga setelah mundur beberapa langkah. Tatapannya kini sendu, dan tak lama ada air mata mengalir.
“Kau tahu betapa aku mencintaimu tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menuliskan kisah kita, maaf, maafkan aku,” ucapku kemudian terisak. Auriga menarikku ke pelukannya. Tangan besarnya mengelus kepalaku lembut.
“Apakah aku hanya akan menjadi kenangan masa mudamu?” Tanya Auriga entah pada siapa. Isakan kami berdua memenuhi ruangan kami. Selama 21 tahun aku tidak pernah menangis karena patah hati. Hari ini untuk pertama kalinya aku patah hati, dan menangisinya. Aku yang tak pernah tersentuh oleh rasa cinta mulai membangun benteng untuk mencegah kejatuhan selanjutnya.
Keesokan sorenya aku benar-benar meninggalkan Aquila Mansion. Aquila, dan Auriga berdiri berdampingan melihat kapalku menjauh. Apakah berdiri di kapal ini semenyakitkan berdiri di dermaga itu? Atau malah lebih menyakitkan? Aku berbalik masuk ke dalam kapal. Air mata mulai mengalir ke pipiku.
Aku turun dari taksi setelah membayar ongkos. Aku menggendong tas di salah satu bahuku. Rumah besar ini sudah tidak aku kunjungi setidaknya dua setengah tahun. Inilah yang dimaksud Auriga dengan latar belakangku. Rumah mewah, keluarga terpandang, pekerja yang aku sendiri tidak tahu ada berapa jumlahnya. Benar-benar kehidupan seorang putri. Aku berjalan masuk ke dalam rumah. Tempat ini masih sama, hening. Aku berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Ayah.
“Kau sudah kembali?” Tanya Ayah saat aku masih di ambang pintu yang tentunya menggunakan bahasa Inggris. Keluargaku tidak ada yang berbahasa Indonesia kecuali aku.
“Ya,” jawabku kemudian masuk ke ruang kerjanya. Baunya masih sama. Udaranya masih menyenangkan. Tas yang aku gendong aku jatuhkan begitu saja ke lantai saat aku berjalan menuju sofa kemudian melemparkan diriku ke atasnya. Ayah melepas kacamatanya lalu menghampiriku, duduk di sofa sebelahku. Aku masuk ke dalam rangkulan salah satu tangannya.
“Bagaimana perusahaan?” Tanyaku basa-basi sambil bersandar pada pundaknya.
“Kau berpikiran untuk mengambil alihnya?” Tanya Ayah jahil.
“Ayah tahu sendiri aku tidak akan pernah mau berurusan dengan itu,” jawabku malas.
“So, what’s next, Chris?” Tanya Ayah lembut.
“I want to see Grandma, I miss her so bad,” jawabku.
“Setelah tidak bertemu ayah sekian lama kau akan langsung pergi lagi?” Tanya Ayah sambil pura-pura merajuk.
“Ayah bisa mengunjungiku nanti,” jawabku manja kemudian kami berdua tertawa.
Aku tidak menghabiskan waktu lama di London. Seminggu setelah sampai di rumah, aku terbang ke Korea Selatan. Perjalanan yang cukup panjang tidak membuatku dapat menemukan kesibukan apa yang bisa aku lakukan. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan aku lakukan saat tiba nanti.
Aku kembali ke Daegu, tempat aku lahir. Aku tidak pernah ke Korea Selatan selain untuk lahir dulu. Biasanya Nenek yang akan mengunjungiku di London. Aku tidak tahu apakah keputusanku ini akan mengubah alur drama dalam kehidupanku atau tidak tapi aku harap ini adalah yang terbaik. Aku turun dari pesawat kemudian menatap pintu kedatangan itu. Annyeong Daegu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
@dinijuandari
Waaaahhh baru ngeuh ini s chris 🙈🙈 semangaaat authorr up nya 🧞♂️
2021-02-21
1