Gumilang menghela napas pelan sebelum menjawab.
“Tadi dia sedang tak enak badan. Masalah wanita,” ujarnya tenang. “Datang bulan.”
Namun, di balik nada datarnya, ia menahan jengkel, mengingat cucunya yang kabur saat mereka dalam perjalanan menuju rumah itu.
“Besok aku sendiri yang akan mengantarnya ke rumah kalian. Tak perlu datang ke sini lagi. Kami baru tiba dari desa, masih mencari tempat tinggal yang cocok.”
Mandala mengangguk kecil. “Baiklah. Kami tunggu Bapak dan Nak Vexia di rumah. Dan soal tempat tinggal, kami bisa bantu jika Bapak berkenan.”
“Terima kasih,” jawab Gumilang datar. “Aku bisa mencari sendiri. Aku tak mau merepotkan siapa pun.”
Mandala tersenyum sopan, tapi dalam hati tahu:
Besok, pertemuan itu akan menjadi awal sesuatu yang besar.
---
Begitu Gumilang dan keluarga Mandala meninggalkan rumah itu, tiga sosok yang tertinggal di ruang tamu seolah kehilangan tenaga.
Surya menjatuhkan diri ke sofa, disusul Soraya dan Vega yang masih memasang wajah masam.
“Mertuamu itu…” Soraya bersungut, “mulutnya tajam, nyebelin!”
“Tua bangka!” Vega ikut menimpali sengit. “Kenapa gak mati aja sih?”
Surya menatap keduanya dengan nada waspada. “Lebih baik jangan menyinggung dia. Meski sudah tua, Gumilang masih punya banyak koneksi. Kalau dia mau, dalam sehari dia bisa menghancurkan usaha kita.”
Ucapan itu membuat Vega mendengus kesal. Tapi sorot matanya menyimpan ketakutan yang sama. Mereka tahu, perusahaan yang kini dipegang Surya berdiri di atas saham milik Gumilang. Saham yang dulunya milik mendiang istri Surya, ibu Vexia.
Gumilang memang tak pernah menyerahkan semua kekayaannya. Sejak awal, ia tak pernah benar-benar percaya pada menantunya.
Ia hanya menoleransi Surya… karena putrinya terlalu mencintai pria itu.
“Kenapa anak desa itu bisa seberuntung itu, sih?” Vega menggeram pelan. “Tinggal di kampung, tiba-tiba dilamar pria paling tampan dan kaya di kota ini?!” Nada suaranya bergetar antara iri dan tidak percaya.
Soraya melirik suaminya tajam. “Apa Papa benar-benar gak tahu soal perjodohan itu?”
Surya menggeleng perlahan. “Aku benar-benar gak tahu.”
Soraya menghela napas panjang. “Sayang sekali. Kalau saja Vega yang jadi menantu keluarga Mandala… status sosial kita bakal melonjak tinggi.”
Ruangan hening sejenak. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Mereka saling bertukar pandang, penuh rasa penasaran, iri, dan amarah yang dipendam rapat.
Namun satu hal pasti:
meski mereka tak bisa berbuat apa-apa sekarang, niat buruk itu sudah tertanam.
***
Malam turun di pinggiran kota.
Lampu-lampu jalan berpendar keemasan, memantul di genangan hujan yang belum kering.
Raungan mesin memecah kesunyian. Keras, liar, dan menantang.
Di bawah cahaya neon, seorang gadis muda berdiri di samping mobil sport hitam. Makeup smoky eyes gelap, lipstik merah anggur, dan contour tajam menyamarkan wajah aslinya. Kulitnya berkilat disapu cahaya, rambut hitamnya terurai tertiup angin malam.
Ia mengenakan jaket kulit dan celana denim ketat.
Vexia.
Senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Kakek, Kakek gak bisa mengekangku. Pada akhirnya aku bisa kabur juga, 'kan?” batinnya puas.
“Hei, gadis desa! Udah siap belum?” seru seorang pria dari balik kemudi mobil lawan, membuyarkan lamunannya.
“Selalu,” jawabnya dingin, menarik helm hitam dan menurunkannya ke kepala.
Saat helm menutupi wajahnya, hanya mata itu yang terlihat. Tajam, penuh nyala perlawanan.
“Lo siap kalah dari gadis desa?” ujarnya, senyum sinis terbit di bibirnya sebelum melangkah ke mobilnya.
Suara mesin meraung lagi, lebih keras kali ini.
“Si bocah desa kayak lo beneran mau lawan gue?” seru pria di mobil sebelah sambil menurunkan kaca lebih rendah. Senyumnya miring. “Balik aja ke dapur, Sayang. Jalanan bukan tempat gadis manja.”
Vexia menatap lurus ke depan. Suaranya tenang tapi menggigit.
“Buat seseorang yang sebentar lagi gue tinggalin di belakang, lo banyak bacot.”
"Gadis ini..." geram pria di dalam mobil.
Asap tipis mengepul dari knalpot.
Beberapa orang di pinggir jalan bersorak, sebagian lagi mengangkat ponsel untuk merekam.
Seorang gadis berrok pendek berdiri di depan dua mobil, bendera di tangannya terangkat tinggi.
“Tiga!”
“Dua!”
“Satu!”
Dan di detik berikutnya—
WUUUUUSH!
Mobil-mobil itu melesat, ban berdecit gila-gilaan di aspal basah.
Vexia mencengkeram kemudi erat, napasnya memburu di balik helm.
Lampu-lampu kota berlari mundur di kaca depan dalam garis-garis cahaya.
Mobil lawan menyalip dari kiri, hampir menyenggol bumper-nya.
“Berani banget!” geramnya pelan, lalu memutar kemudi tajam.
Ban berdecit keras, tubuh mobil berbelok nyaris mencium pembatas jalan. Tapi Vexia malah tersenyum.
Tangannya lincah memindahkan gigi, kaki kanannya menghantam pedal gas.
120... 130... 140...
Jarum speedometer menukik naik.
Detak jantungnya berpacu dengan deru mesin.
Dari kejauhan, sekelompok orang di pinggir gudang tua bersorak.
Beberapa menatap layar ponsel yang menayangkan kamera drone di atas lintasan.
“Gila, tuh cewek ngebut banget!”
“Dia dari desa? Kayak pembalap profesional, anjir!”
Suara raungan mesin menelan sorakan itu.
Di dalam mobil, Vexia mencondongkan tubuh ke depan.
“Ayo, Sayang… tunjukkan siapa yang paling liar malam ini,” gumamnya, menekan pedal gas lebih dalam.
Mobil lawan menyalip lewat kanan, nyaris menyentuh spion.
“HA! Cewek cuma modal gaya!” teriak pria itu lewat jendela yang terbuka, disambut tawa kecil.
Vexia menatap lurus ke depan. Suaranya rendah, nyaris seperti geraman.
“Modal gaya? Kita lihat siapa yang ngerem duluan.”
Beberapa meter di depan, dua truk kontainer parkir rapat di sisi jalan, menyisakan celah sempit di antara keduanya.
“WOI! Jangan gila!” teriak lawannya lewat radio, sadar arah mobil Vexia.
Tapi Vexia tidak melambat. Ia menyalakan lampu jauh. Menilai jarak.
“Kalau ragu, lo kalah,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Tangannya memutar kemudi sepersekian detik sebelum celah itu. Ban depan nyaris menghantam truk pertama—
SRET!
Percikan logam berloncatan ketika spion mobilnya menyenggol sisi kontainer.
Semuanya terjadi begitu cepat. Detik melambat, suara mesin berubah jadi dengung berat di telinganya.
Lalu—
WUUUSH!
Mobil hitam itu lolos, keluar dari celah sempit seperti peluru. Ban belakang menyapu debu dan potongan karton dari bawah truk.
“Anjir! Gila tuh cewek!”
“Dia lewat?! Gak mungkin!”
Lawannya teriak frustrasi di radio.
“WOI! Mau mati, hah?! Lo pikir ini film action?!”
Tapi Vexia sudah tak mendengarnya lagi.
Jantungnya berdebar cepat, adrenalin menyatu dengan suara mesin.
“Kakek… lihatlah cucumu sekarang,” katanya pelan. “Aku bukan boneka yang bisa dikurung di balik nama besar keluarga.”
Garis akhir semakin dekat.
Drone mengikuti dari atas, lampu-lampunya menyorot dua mobil yang hampir sejajar.
“Buset! Dia naik ke trotoar!”
Mobil Vexia melompat kecil melewati gundukan jalan, lalu menuruni jalur lurus terakhir.
“Dan inilah… kebebasanku.”
Mobil hitam itu melesat lebih dulu melewati garis akhir dan berhenti dengan presisi.
Asap, sorakan, dan suara klakson pecah di udara.
Vexia keluar dari mobil, menurunkan helmnya perlahan, menatap lawannya.
“Mana taruhannya?” tanyanya tenang.
“Hmhh…” pria itu tertawa pendek. “Gak nyangka lo jago juga. Gue terlalu remehin lo,” ujarnya, menyerahkan cek pada Vexia.
Vexia mencium cek itu dengan senyum penuh kemenangan. Tapi tiba-tiba—
“Awh… awh! Sakit!” pekiknya.
Telinganya ditarik seseorang dari belakang.
“Dasar gadis badung. Kau kabur dan malah balapan di sini?!”
Gumilang berdiri di antara suara mesin yang belum sepenuhnya padam. Wajahnya merah padam menahan marah.
“Awh… sakit, Kek…”
Vexia meringis ketika telinganya ditarik.
“Siapa suruh kau kabur dari perjodohan, hah?!” bentak Gumilang.
Beberapa penonton yang masih bertahan di sekitar area start menahan tawa. Ada yang bersandar di mobil, ada pula yang menonton dari jauh lewat teropong.
“Itu cucunya ya, Kek? Kabur dari perjodohan demi balapan?”
“Pantas aja ngebutnya kayak setan.”
“Awas kabur pas akad nanti, Kek.”
“Cucu kakek ini kalau nyetir habis nikah bisa bikin suaminya kena serangan jantung sebelum naik ranjang.”
Tawa meledak. Gumilang menatap tajam ke arah mereka, lalu dengan nada setengah sinis berkata,
“Jadi, dari semua yang di sini, gak ada yang tertarik sama cucu Kakek?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Anitha Ramto
wah seruuu ini si Vexia benar² Badung...keren juga nih Kakek langsung menemukan Cucumu di area balap...jewer terus kek biar kapok🤣tapi ga bakal kapok ini Cucumu Kek🤣🤣🤣Rayno calon istrimu benar² badung apa kamu siap dan tahan punya istri Badung?😄
2025-10-22
3
partini
👍👍👍👍👍 lebih badung Al atau Ve ini Thor
2025-10-22
2
love_me🧡
kog jd keinget aylin ya hampir mirip kn ya jalan cerita awalnya mereka suka balapan cuma bedanya motor & mobil, kalau aylin tinggal sama nenek kalau vexia sama kakek trs mereka dijodohkan juga pas usia SMA
2025-10-22
2