Setelah beberapa hari izin cuti dari pekerjaannya. Dara kini tengah bersiap-siap untuk pergi bekerja kembali. Untuk kejadian malam itu dia sudah tidak mau memikirkannya lagi, meskipun jauh di dalam hatinya masih menyimpan trauma dan sakit hati yang cukup mendalam.
Bagaimana tidak dia yang hanya sebatas pegawai kafe menjadi korban kekerasan seksual. Meminta pria itu untuk bertanggung jawab atas dirinya mungkin bukan suatu jalan yang baik.
Dara menatap pantulan dirinya di depan cermin, kantung matanya terlihat sangat jelas dan matanya yang sedikit membengkak yang menandakan dia kurang tidur dan masih sering menangis.
Niat hati ingin mengadu nasib ke kota orang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, malah mendapatkan yang sebaliknya.
" semangat Dara. Kamu ngga boleh terus-menerus begini. Kamu harus bangkit ngga boleh lemah ya." ujarnya pada dirinya sendiri.
Ojek yang di pesannya tadi sudah mangkal di depan kontrakan nya.
" pakai helm mbak" ujar ojol itu yang perkiraan usianya sudah masuk abad ke empat.
Dara menerima helm yang diberikan bapak itu.
" ini sesuai aplikasi ya mbak"
" iya pak, nanti saya turun di depan kafe itu aja"
Tak berselang lama ojek yang ditumpanginya sudah sampai di tempat dia berkerja. Kafe yang tidak terlalu besar tapi selalu ramai pengunjung.
" makasih ya pak, ambil aja kembaliannya" ujar dara seraya memberikan uang berwarna hijau itu.
" wah makasih ya mbak. Mbak pelanggan pertama saya pagi ini sudah di kasih tip. Semoga rezeki mbaknya lancar selalu"
"amin, maksih ya pak" ucap dara klu memberikan helm yang dia pakai tadi kepada bapak itu.
Begitu Dara melangkah masuk ke dalam kafe, aroma kopi yang kuat langsung menyambutnya. Suasana masih cukup sepi karena belum jam ramai pelanggan.
“Dara!” suara familiar memanggilnya dari arah kasir.
Dara menoleh dan mendapati Rina berlari kecil menghampirinya dengan wajah campur aduk antara lega dan rasa bersalah. Rambutnya diikat asal, dan apron hitamnya sedikit miring karena terburu-buru.
" Dara, aku minta maaf ya soal kemaren." ucap Rina dengan wajah sendu, "gara-gara aku kamu jadi sakit, mungkin kalo kamu ngga gantiin aku waktu itu kamu mungkin ngga bakalan sakit kayak kemarin."
Dara hanya tersenyum tipis."Rin, udah… bukan salah kamu. Aku yang bilang sendiri waktu itu kalau aku bisa nganterin, ingat?”
Rina menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi tetap aja… aku ngerasa bersalah banget, Ra. Selama kamu cuti, aku nggak bisa tenang. Aku terus kepikiran… gimana keadaan kamu.”
Dara menepuk pelan bahu Rina.
“Aku baik-baik aja, kok,” bohong jika dia bilang saat ini di baik-baik saja, nyatanya banyak hal yang ingin dia ungkapkan saat itu juga tapi lidahnya terasa kelu jika mengatakan itu.
Tak lama kemudian, dua rekan kerja lainnya Maya dan Vivi ikut menghampiri. Mereka membawa nampan dan beberapa gelas kopi untuk pelanggan pagi.
“Ra, kamu udah balik kerja? Syukurlah!” seru Maya dengan wajah lega.
“Iya, kita semua khawatir banget sama kamu,” timpal Vivi sambil menatap wajah Dara dengan cermat.
“Kamu… beneran nggak apa-apa?”
Dara menarik napas pelan dan berusaha memasang ekspresi tenang.
“Iya, aku nggak apa-apa kok." jawabnya sambil tersenyum tipis.
.......
Disisi lain seorang pria tengah sibuk dengan berkas yang berada di atas mejanya. Dia arkan laki-laki dengan gestur wajah yang sempurna.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
“Masuk,” perintahnya datar.
Andre, sekretaris pribadinya, melangkah masuk dengan membawa sebuah map berwarna hitam serta tablet di tangannya. Wajahnya serius, seperti seseorang yang membawa kabar penting.
“Selamat pagi, Pak. Semua data yang Bapak minta waktu itu sudah saya kumpulkan,” ucap Andre sambil meletakkan map dan tablet di meja.
Arkan mengangkat alis, menyandarkan tubuh ke kursi. “katakan.”
Andre membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen serta foto dari CCTV hotel malam itu. Ia memulai penjelasan dengan suara teratur.
“Berdasarkan rekaman CCTV hotel pada malam itu, pukul 23.16 Bapak terlihat memasuki lift dengan keadaan mabuk, dan tak lama kemudian seorang perempuan datang mengantar pesanan makanan dengan tujuan kamar yang anda huni pak."
"Dari hasil pelacakan staf dan pesanan makanan yang masuk, perempuan tersebut diketahui bernama Dara Pratama, usia 25 tahun. Ia bekerja sebagai karyawan di kafe Deliana yang kebetulan sering menerima pesanan untuk lantai eksekutif hotel kita.”
Arkan mendengarkan dengan seksama, matanya tajam mengamati setiap foto yang ditunjukkan Andre. Di layar tablet terlihat rekaman CCTV — seorang Dara yang mengenakan jaket tipis dan membawa tas kecil, wajahnya tampak gugup saat berdiri di depan lift.
“Identitas lengkapnya juga sudah saya peroleh, Pak,” lanjut Andre sambil menyerahkan selembar kertas berisi data pribadi.
“Nama: Dara Pratama. Usia: 25 tahun. Alamat kontrakan: Jalan Cendana, Jakarta Barat. Pekerjaan: Barista kadang juga menjadi Kasir kafe. Status keluarga: yatim piatu, tinggal sendiri. Tidak memiliki catatan kriminal maupun catatan buruk lainnya.”
Arkan menatap dokumen itu lama. Setiap baris seakan menempel kuat di kepalanya. Nama itu terasa asing, namun kini mengikatnya dalam sebuah situasi yang tidak pernah ia bayangkan.
“Jadi… perempuan ini yang bersamaku malam itu?” tanyanya.
“Benar, Pak,” jawab Andre mantap. “Berdasarkan rekaman, Bapak dalam keadaan mabuk berat saat tiba di kamar hotel. Perempuan ini datang mengantar pesanan makanan. Setelah itu, CCTV menunjukkan Bapak menarik tangannya masuk ke dalam kamar. Tidak ada orang lain yang keluar masuk setelahnya. Pagi-pagi, sekitar pukul 05.27, perempuan ini terlihat meninggalkan kamar hotel sendirian.”
“Dia tidak melapor ke pihak hotel? Atau… ke polisi?”
“Tidak, Pak. Tidak ada laporan sama sekali. Ia hanya terlihat meninggalkan hotel dengan tergesa-gesa,” jawab Andre.
Keheningan mengisi ruangan beberapa saat. Arkan bersandar ke kursinya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja.
“Cari tahu lebih dalam tentang kehidupannya,” perintah Arkan akhirnya." satu lagi cari tahu siapa yang telah memasukkan obat kedalam minuman ku malam itu"
Andre yang mendengar itu sedikit syok “Baik, Pak. Saya akan segera cari tahu,” jawab Andre
Saat Andre keluar ruangan, Arkan menatap layar tablet yang masih menampilkan foto Dara. Perempuan sederhana dengan seragam kafe, rambut terikat seadanya, dan ekspresi gugup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments