2

Dara Andini, gadis 25 tahun itu, bukanlah siapa-siapa di kota besar ini. Ia hanyalah seorang perempuan perantauan dari kampung kecil di Jawa Tengah. Kehilangan kedua orang tuanya sejak SMA membuatnya terbiasa hidup mandiri. Ia datang ke kota dengan harapan sederhana — mencari penghidupan yang layak, menabung, dan kelak membuka usaha kecil sendiri.

Pagi, siang, malam, Dara bekerja keras di kafe kecil pinggir jalan. Ia terbiasa bangun subuh, naik angkot berdesakan, dan pulang larut malam dengan tubuh lelah. Tapi baginya, semua itu tidak masalah. Ia tidak punya siapa-siapa, hanya dirinya sendiri untuk bertahan.

Pagi itu Dara pulang ke kontrakannya dengan langkah gontai. Kamarnya kecil dan sederhana, jauh dari kemewahan tempat ia tinggalkan tadi. Begitu pintu tertutup, ia merosot ke lantai dan menangis sejadi-jadinya.

Semua yang terjadi tadi masih berputar-putar di kepalanya—tatapan mata pria itu, ruangan gelap, perasaan takut yang mencekik. Ia meremas dadanya sendiri, mencoba menahan sesak.

“Kenapa ini bisa terjadi padaku…” bisiknya lirih.

Tangannya gemetar saat ia menutupi wajahnya. Air mata mengalir tanpa suara. Dalam kesunyian kamar kecil itu, hanya isak pelan yang terdengar.

Tanpa pikir panjang, ia melepas pakaian kerjanya yang sudah lembap dan langsung menyalakan pancuran.

Air dingin mengguyur tubuhnya. Dara berdiri kaku di bawah pancuran, kedua tangannya menekan dinding, kepalanya tertunduk. Butiran air turun deras, bercampur dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Dengan gerakan terburu-buru, ia meraih sabun dan mulai menggosok kulitnya kuat-kuat, seolah ingin menghapus semua yang terjadi malam itu. Setiap gosokan terasa seperti usaha menghapus rasa takut, jijik, dan penyesalan yang mengendap di tubuhnya.

Ia terus menggosok bahu, lengan, dan tubuhnya sampai kulitnya memerah. Namun tak peduli seberapa keras ia menggosok, rasa itu tak juga hilang. Seolah kejadian malam tadi menempel dan tidak bisa dihapus.

Air dingin terus mengalir, tapi tubuhnya terasa panas oleh perasaan campur aduk: marah pada keadaan, takut pada masa depan, dan jijik pada dirinya sendiri. Dara menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak keras di bawah guyuran air.

.........

Di sisi lain, seorang pria baru saja terbangun dari tidurnya. Dia Arkan Mahendra membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat seperti dipukul. Nyeri di pelipis membuatnya mengerang kecil.

Ia menutup mata lagi sejenak, mencoba mengingat bagaimana ia bisa tidur di ranjangnya tanpa ingatan jelas. Aroma wine masih terasa samar di udara, dan kondisi kamar yang berantakan.

“Berapa banyak aku minum semalam…” gumamnya serak sambil memijit pelipis.

Ia menoleh ke sisi ranjang. Sepi. Kosong. Hanya bantal kusut dan selimut yang terlipat acak-acakan.

Tepat di tengah kasur, ada noda merah samar, tidak besar namun cukup jelas mencolok di atas kain putih bersih itu.

Arkan terpaku. Pandangannya mengeras, pikirannya berputar cepat. Noda itu… tidak mungkin ada tanpa alasan.

Ia menyentuh sprei dengan hati-hati, kemudian menarik napas panjang. “Siapa…” bisiknya pelan.

Ia benar-benar tidak tahu siapa perempuan itu. Tidak ada wajah yang benar-benar jelas dalam ingatannya, hanya sekilas bayangan gadis muda yang berdiri di ambang pintu dengan tas kecil dan pakaian sederhana, basah oleh hujan.

Ia menghela napas berat, kemudian melangkah cepat menuju kamar mandi.

Air pancuran dingin membasahi tubuhnya, mencoba mengusir sisa mabuk dan kekacauan di kepalanya. Ia menggosok wajah berulang kali, seolah berharap air bisa membawa pergi semua kebingungan yang menghantuinya.

“Fokus, Arkan… fokus,” gumamnya pelan, memejamkan mata di bawah pancuran. Potongan-potongan ingatan semalam tetap kabur, tidak ada yang benar-benar jelas.

Begitu selesai mandi, ia segera mengambil handuk dan melilitkannya ke pinggang. Dengan langkah tegas, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Tangannya cepat menekan nomor sekretaris pribadinya, Andre

Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara tegas dan formal menjawab,

“Selamat pagi, Pak Arkan. Anda sudah bangun?”

Suara Arkan terdengar dalam dan dingin, menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap.

“Andre, semalam… apa yang terjadi denganku? Aku tidak ingat jelas. Dengan siapa aku pergi?”

Andre terdengar sedikit kaget di seberang,

“Pak, setelah rapat dengan klien di restoran, Bapak pergi bersama beberapa tamu ke bar ‘Eclipse’. Saya sempat menawarkan untuk mengantar, tapi Bapak menyuruh saya pulang lebih dulu.”

Arkan mengerutkan dahi. “Lalu?”

“Sopir pribadi Bapak melapor kalau sekitar pukul sebelas malam, Bapak meminta diturunkan di hotel milik perusahaan. Setelah itu saya tidak menerima kabar apa pun sampai pagi ini.”

Arkan melangkah ke arah jendela, menatap keluar dengan rahang mengeras. “Tidak ada siapa pun yang menyusul ke hotel?”

“Setahu saya tidak, Pak. Tapi kalau Bapak mau, saya bisa cek rekaman CCTV dan laporan staf hotel malam itu.”

Arkan menghela napas panjang, lalu berkata tegas,

“Lakukan. Periksa semua rekaman dari pukul sebelas malam sampai pagi. Saya ingin tahu siapa yang bersamaku malam itu. Kirimkan hasilnya secepatnya.”

“Baik, Pak. Akan segera saya urus,” jawab Andre cepat.

Telepon ditutup. Arkan meletakkan ponsel di meja dengan tatapan tajam. Ada rasa tidak nyaman menyelusup dalam dadanya firasat kuat bahwa malam itu tidak pasti ada yang menjebaknya.

Dengan langkah cepat, ia mengambil pakaian seadanya yang disiapkan staf hotel, lalu mengenakannya sekadar untuk keluar dari tempat itu. Tanpa membuang waktu, ia mengambil ponsel, dompet, dan kunci mobilnya, lalu melangkah keluar kamar.

Beberapa staf hotel di koridor menunduk sopan saat ia lewat. Arkan tidak membalas satu pun, hanya berjalan lurus dengan ekspresi dingin. Begitu tiba di lobby, seorang sopir yang sudah standby segera membukakan pintu mobil hitam mewahnya.

“Selamat pagi, Pak,” sapa sopir itu dengan nada hormat.

"Ke apartemen,” jawab Arkan singkat dan tegas.

Tak butuh waktu lama, mobil memasuki area apartemen mewah Arkan di pusat kota. Bangunan tinggi dengan akses super ketat itu adalah tempat tinggal pribadinya sejak beberapa tahun lalu. Ia turun dari mobil, melangkah cepat menuju lift pribadi, dan langsung naik ke unitnya di lantai paling atas.

Begitu pintu apartemen terbuka, suasana hangat langsung menyambut Arkan. Aroma wangi sabun anak-anak samar tercium dari dalam, bercampur dengan cahaya matahari pagi yang masuk lewat jendela besar ruang tamu.

Suara langkah kecil terdengar dari arah kamar. Tak lama kemudian, muncul sosok mungil dengan piyama bergambar dinosaurus, rambut acak-acakan, dan mata masih setengah mengantuk.

“Papa…” panggilnya pelan.

Arkan tertegun. Rafa, putranya yang baru berusia empat tahun, berdiri di ambang pintu kamar dengan boneka dinosaurus kecil di tangan. Wajahnya terlihat sedih dan sedikit cemberut.

Arkan segera menutup pintu apartemen dan menghampiri bocah kecil itu. Ia berjongkok agar sejajar dengan tinggi Rafa.

“Rafa, kamu udah bangun? Biasanya masih tidur jam segini,” ucap Arkan lembut.

Rafa menggeleng pelan, matanya menatap ke bawah.

“Rafa nunggu Papa tadi malam… tapi Papa nggak pulang,” katanya dengan suara kecil.

Tatapan Arkan langsung melembut. “Iya, maaf… Papa ada urusan kerja yang penting semalam,” jawabnya hati-hati.

Rafa mencubit ujung piyamanya, masih terlihat sedih.

“Rafa semalam tidur di sofa… nunggu Papa… tapi Papa nggak datang…”

Kalimat sederhana itu membuat dada Arkan terasa sesak. Selama ini ia terbiasa tegas dan dingin di dunia kerja, tapi setiap kali berhadapan dengan Rafa—anak satu-satunya setelah istrinya meninggal tiga tahun lalu

Arkan meraih tubuh kecil Rafa dan memeluknya erat.

“Maafin Papa ya… nanti Rafa boleh ikut papa ke kantor deh” katanya lembut sambil mengusap rambut hitam lembut anaknya.

"beneran"

Arkan tersenyum tipis. “Iya"

“Sekarang Rafa cuci muka dulu, ya. Papa mau ganti baju buat kerja.”

Arkan memperhatikan punggung mungil itu sampai menghilang. Ada senyum tipis di wajahnya, namun hanya sesaat. Setelah itu ekspresinya kembali serius. Ia melangkah ke kamar utama, membuka lemari besar, dan mengenakan setelan jas rapi seperti biasa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!