Janji yang terlupakan

Sinar matahari siang itu menyengat kulit Indira saat ia berdiri di depan cermin panjang kamar tidurnya. Jemarinya merapikan lipatan dress biru langit yang ia kenakan, dress kesukaan Rangga yang sudah lama tersimpan rapi di lemari. Sebuah senyum pahit mengembang di bibirnya. Bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum seorang wanita yang sedang memberikan kesempatan terakhir.

Kesempatan terakhir untuk suami yang berkhianat.

Indira menatap pantulan wajahnya di cermin. Mata yang dulu berbinar kini terlihat lelah, meski ia sudah berusaha menutupinya dengan riasan tipis. Tiga tahun pernikahan, dan inilah yang ia dapatkan, pengkhianatan yang dikemas rapi di balik senyuman dan janji-janji manis.

Indira menarik napas panjang. Hari ini adalah ujian terakhir. Jika Rangga benar-benar menepati janjinya, jika ia memilih Indira di atas segalanya, mungkin, hanya mungkin masih ada yang bisa diselamatkan dari reruntuhan pernikahan ini. Tapi jika tidak...

Jika tidak, Indira sudah siap dengan keputusannya.

"Dira!" suara Rangga memanggil dari lantai bawah. "Kamu sudah siap?"

Indira menatap pantulannya sekali lagi, memasang topeng wajah datar tanpa emosi. "Iya, tunggu sebentar!" sahutnya dengan nada yang terdengar terlalu tenang.

Ia menuruni tangga dengan langkah perlahan, setiap anak tangga terasa seperti menghitung mundur menuju akhir dari sesuatu yang sudah mati.

Rangga sudah menunggu di ruang tamu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans biru tua. Rambutnya yang bergelombang ditata rapi ke belakang. Tampan, pikir Indira dengan ironi. Pengkhianat pun bisa terlihat sempurna.

"Kamu cantik," puji Rangga sambil tersenyum. Senyum yang dulu bisa membuat jantung Indira berdegup kencang. Kini hanya membuat perutnya mual.

"Terima kasih," balas Indira datar, tanpa senyuman. Tanpa kehangatan.

Rangga mengernyit sedikit, merasakan sesuatu yang berbeda. "Kamu... tidak apa-apa?"

"Baik," jawab Indira singkat. "Ayo berangkat."

Mereka berjalan menuju garasi dalam keheningan yang canggung. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada tawa. Hanya suara langkah kaki mereka di lantai marmer yang menggema seperti detik jarum jam.

Rangga sesekali melirik Indira, mencoba membaca ekspresinya, tapi wajah istrinya bagai tembok beton, dingin dan tidak tertembus. Ia membukakan pintu mobil, tapi Indira tidak berterima kasih. Ia hanya berdiri di samping pintu, menunggu.

Rangga hampir masuk ke sisi pengemudi ketika...

Getaran ponsel memecah keheningan.

Indira tidak bergerak. Ia hanya menatap suaminya dengan pandangan kosong, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti menonton film yang endingnya sudah bisa ditebak.

Rangga mengeluarkan ponselnya dari saku celana, menatap layar. Kerutan muncul di dahinya. Ia melirik Indira sekilas, ragu, bersalah, tapi kemudian menjawab juga.

"Halo?" Rangga menjawab sambil berbalik, suaranya rendah.

Indira berdiri diam, lengannya terlipat di dada. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun, tapi matanya menatap tajam ke punggung suaminya. Menatap seperti hakim yang sedang mengamati terdakwa.

"Baik... ya, aku mengerti... sekarang? Tapi aku..." Rangga terdiam, mendengarkan. Bahunya menegang. "Oke, aku ke sana sekarang."

Panggilan berakhir. Rangga berbalik perlahan, dan tatapannya bertemu dengan tatapan dingin Indira.

"Dira, maaf..." Rangga memulai, suaranya terdengar seperti rekaman yang diputar ulang. "Ada urusan mendadak di kantor. Klien penting dari..."

"Kantor," potong Indira datar. Bukan pertanyaan. Pernyataan. Tuduhan.

"Iya, klien dari Singapura tiba-tiba datang dan mereka harus bertemu sekarang. Ini proyek besar, Dira. Aku tidak bisa..."

"Kamu janji," ucap Indira, masih dengan nada yang mengerikan tenangnya. "Kamu bilang hari ini waktunya hanya untuk aku."

Rangga menghela napas, mengusap wajahnya. "Aku tahu, tapi ini penting. Proyek ini nilainya miliaran. Kita bisa reschedule, kan? Besok atau..."

"Besok," ulang Indira, senyum dingin muncul di bibirnya. "Atau lusa. Atau minggu depan. Atau tidak sama sekali."

"Dira, jangan seperti itu. Kamu tahu pekerjaan ku..."

"Menghidupi kita?" Indira menyelesaikan kalimatnya, nada sarkastik pertama kali muncul. "Ya, aku tahu. Aku sudah dengar alasan itu ratusan kali, Rangga."

"Lalu kenapa kamu masih mempermasalahkannya?" Rangga mulai terdengar frustasi. "Aku bekerja keras untuk keluarga ini!"

"Keluarga ini?" Indira tertawa hambar. "Keluarga yang mana? Keluarga yang kamu abaikan setiap hari? Atau keluarga baru yang sedang kamu persiapkan?"

Hening.

Rangga membeku. Wajahnya memucat sesaat sebelum ia cepat-cepat mengontrol ekspresinya. "Apa maksudmu?"

"Tidak ada," jawab Indira tenang, tapi matanya berapi-api. "Pergi saja ke 'kantor'mu, Rangga. Jangan sampai klien pentingmu menunggu."

Rangga menatap istrinya, mencoba membaca apa yang ada di balik kata-kata itu. Tapi Indira sudah berbalik, memberikan punggungnya, simbol penolakan yang jelas.

"Sayang..."

"Pergi," ulang Indira tanpa menoleh. Suaranya terdengar lelah. "Aku sudah capek dengan percakapan ini."

Keheningan yang menyakitkan mengisi ruang di antara mereka. Rangga membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Akhirnya ia hanya mengangguk, meskipun Indira tidak melihatnya lalu berjalan menuju mobilnya.

Mesin menyala. Mobil hitam itu meluncur keluar dari halaman rumah tanpa pamit, tanpa kalimat manis, tanpa apapun.

Indira berdiri mematung, menatap mobil itu menjauh. Tidak ada air mata. Ia sudah terlalu banyak menangis sendirian. Yang tersisa hanya kekosongan dan kemarahan yang dingin.

Ini adalah jawabannya. Rangga memilih. Dan pilihannya bukan Indira.

"Dira?"

Suara familiar membuatnya menoleh. Sebuah mobil putih berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Rani, sahabatnya turun dengan wajah khawatir.

"Ran," sapa Indira datar.

Rani berjalan cepat mendekat, matanya yang tajam langsung membaca situasi. "Itu Rangga? Kok sepertinya buru-buru?"

"Dia membatalkan janji," jawab Indira singkat. "Lagi."

"Dira..." Rani menghela napas panjang. Ia menggenggam tangan sahabatnya. "Aku tahu kamu sudah berusaha. Aku tahu hari ini penting untukmu."

Indira tidak menjawab. Matanya masih menatap ujung jalan tempat mobil Rangga menghilang. Tapi kali ini, bukan kesedihan yang mengisi tatapannya. Ada sesuatu yang lain, tekad.

"Ran," ucap Indira tiba-tiba, suaranya berubah tegas. "Ayo kita ikuti dia."

Rani tersentak. "Apa?"

"Ikuti mobilnya. Sekarang." Indira sudah melangkah menuju mobil Rani.

"Dira, tunggu..." Rani mengikuti. "Kamu yakin? Maksudku, apakah kamu siap dengan apa yang mungkin kamu temukan?"

Indira berhenti, menoleh menatap sahabatnya. Matanya tidak menunjukkan keraguan. "Aku sudah cukup hidup dalam kebohongan, Ran. Aku tahu dia berselingkuh. Aku tahu dia mau menikahi wanita itu. Tapi aku tetap ingin melihat sendiri dengan mata kepalaku."

Rani menatap sahabatnya dalam diam. Ia melihat kekuatan di balik rasa sakit itu, kekuatan seorang wanita yang sudah memutuskan untuk berhenti menjadi korban.

"Oke," kata Rani akhirnya dengan tegas. "Ayo masuk. Kita akan cari tahu kemana bajingan itu pergi."

Keduanya masuk ke mobil. Rani memutar kunci kontak, mesin menderu pelan.

"Kamu masih lihat mobilnya?" tanya Rani.

"Belok kanan di ujung jalan," jawab Indira, suaranya tenang tapi matanya penuh determinasi. "Cepat, Ran. Aku harus tahu kemana sebenarnya dia pergi. Bukan ke kantor. Pasti bukan ke kantor."

Mobil putih itu meluncur keluar dari halaman, mengikuti rute yang sama dengan mobil Rangga. Indira duduk tegak di kursi penumpang, tangan terkepal di pangkuan.

Hari ini adalah kesempatan terakhir yang ia berikan. Dan Rangga sudah membuangnya.

Sekarang, waktunya Indira mengambil kendali. Waktunya ia melihat kebenaran dengan mata kepalanya sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!