Sella masih terperangkap di lantai apartemen, basah oleh air mata, sementara di ambang pintu, Edo berdiri tegak seperti pahatan es. Pengkhianatan Andra belum selesai dicerna, kini ia sudah dihadapkan pada sosok asing yang berwibawa, yang mengklaim aset terakhirnya.
“Ruko saya… milik perusahaan Anda?” Sella mengulang, suaranya parau. Kepalanya terasa kosong. Bukankah uang itu sudah ia transfer ke Andra? Bagaimana bisa ada masalah dengan penjualan?
Edo melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan gerakan mantap. Apartemen itu, yang baru saja dikuasai Edo, terasa semakin kecil dan menindas bagi Sella.
“Mari kita perjelas situasinya, Nyonya Sella,” ujar Edo, nadanya tenang, tetapi setiap kata terasa seperti pernyataan yang tidak bisa dibantah. “Perusahaan properti kami membeli ruko tersebut, melalui makelar yang Anda tunjuk, dengan harga cepat yang sangat rendah. Masalahnya, Andra, atau siapapun nama yang dia gunakan saat berinteraksi dengan makelar, tidak pernah menyelesaikan pembayaran komisi penuh. Itu sebabnya mereka datang mencari Anda, di alamat yang diberikan Andra. Alamat yang sebentar lagi akan saya pakai sebagai mess pribadi.”
Sella menepis air matanya, bangkit berdiri dengan susah payah. Rasa malu yang mendalam karena keadaannya yang kacau kini harus dilihat oleh pria berkelas seperti Edo, bercampur dengan kemarahan.
“Ini bukan urusan Anda! Urusan properti sudah selesai!” Sella membentak, menggunakan nada mengalun yang justru menunjukkan betapa rapuhnya dia. “Uang sudah saya transfer ke rekening Andra, untuk keperluan investasi bisnisnya! Dan dia sudah pergi! Selesai!”
Edo mendengus, gerakan bibirnya tipis. “Investasi bisnis? Saya ragu pria yang meninggalkan jejak utang komisi sekecil itu punya urusan bisnis miliaran. Mari kita sebut sesuai namanya, Nyonya Sella. Ini bukan transaksi bisnis, ini penipuan. Dan properti yang Anda jual sangat merugikan.”
“Tutup mulutmu! Kamu tidak tahu apa-apa tentang hubungan kami!” seru Sella, dadanya naik turun menahan amarah dan histeria.
Edo justru melipat tangan di dada, posturnya tetap tenang. Ia melihat sarapan dingin di meja, melihat raut wajah Sella yang sembab dan pakaian yang acak-acakan. Otaknya berpikir cepat.
“Saya tahu lebih banyak daripada yang Anda bayangkan. Kami bergerak di bidang akuisisi aset, dan kami ahli mendeteksi adanya kebohongan atau manipulasi di balik penjualan aset secara tergesa-gesa. Ruko Anda itu dijual lima ratus juta. Tahukah Anda harga pasar minimum ruko di kawasan X adalah delapan ratus juta?” Edo bertanya tajam.
Sella terdiam. Rasa bersalah menghantamnya karena ia tahu Andra memang menekannya untuk menjual dengan cepat.
“Kamu menjualnya dengan kerugian hampir tiga ratus juta Rupiah, Nyonya. Semua ini terjadi dalam dua hari. Apakah Andra memberi tahu Anda bahwa dia baru saja membuang sisa warisan Anda untuk membiayai tiketnya kabur? Saya rasa iya, dari air mata Anda,” tambah Edo, menusuk langsung ke titik terlemah Sella.
Sella merasa harga dirinya terenggut habis. Ia tidak ingin pria ini mengasihaninya, apalagi menghakiminya.
“Pergi! Saya tidak butuh bantuan atau komentar dari Anda, Tuan Edo! Saya tahu saya bodoh! Saya tahu saya mudah dirayu! Tapi itu adalah kebodohan saya, dan saya akan menanggungnya sendiri!”
Edo mengangguk pelan, tatapannya tidak berubah, masih penuh analisis yang tajam.
“Saya tidak berminat membantu korban bucin yang histeris, Nyonya Sella. Tujuan saya bukan mengasihanimu. Tujuan saya profesional: Saya tidak suka membeli properti yang mengandung cacat hukum atau risiko gugatan di masa depan. Jika penjualan ini terbukti terjadi di bawah tekanan, maka seluruh transaksi dapat dibatalkan, dan itu merepotkan perusahaan saya.”
Sella mendongak. Matanya bertemu dengan mata Edo yang seolah bisa membaca setiap kegelisahan dan ketakutan dalam dirinya.
“Maksudmu…?”
“Maksud saya,” sela Edo, “saya perlu mengetahui seluruh kebenaran tentang bagaimana Andra menipu Anda. Setiap detail. Semua janji palsu, semua kerugian, semua penekanan yang dia lakukan, termasuk pemaksaan Anda untuk menjual ruko dengan harga terbuang.”
Edo mengeluarkan sebuah kartu nama hitam metalik yang terlihat sangat mahal, meletakkannya di atas piring sarapan Andra yang tak tersentuh.
“Jika Anda bersedia menceritakan semuanya, secara terperinci dan di hadapan notaris, bahwa penjualan aset ini didasari manipulasi finansial oleh Andra, mantan kekasih Anda, maka itu bisa menjadi bukti kuat. Dengan begitu, perusahaan saya bisa menggunakan celah hukum itu untuk memastikan aset properti kami bersih. Tidak ada pihak yang akan menggugat Anda di masa depan.”
Sella mencengkeram tas kecilnya. Dia kini tidak hanya miskin, dia juga dihadapkan pada ancaman hukum jika tidak bekerja sama.
“Lalu, apa untungnya untukku? Kenapa aku harus bekerja sama dengan orang asing yang tiba-tiba muncul dan malah mengambil asetku yang tersisa?” Sella menuntut, meskipun nada suaranya sudah jauh lebih pelan.
Edo tersenyum, senyum tipis yang pertama kali terlihat oleh Sella. Itu bukan senyum keramahan seperti Andra, melainkan senyum percaya diri dan kontrol.
“Anda salah. Saya bukan mengambil aset Anda, Nyonya Sella. Saya membeli aset Anda, meskipun dengan harga konyol. Namun, sebagai kompensasi atas waktu dan keterangan Anda, saya menawarkan dua hal,” jeda Edo, mencondongkan tubuh sedikit, memancarkan aura dominasi total.
“Pertama, saya akan memastikan Anda aman dari tuntutan apa pun terkait penjualan properti dan utang komisi yang ditinggalkan Andra. Kedua,” Edo berhenti sejenak, mengarahkan pandangannya ke luar jendela, ke arah kota metropolitan yang ramai, seolah-olah seluruh kota itu adalah miliknya, “saya akan mengganti selisih harga jual yang seharusnya. Delapan ratus juta dikurangi lima ratus juta. Itu berarti Anda mendapatkan tiga ratus juta rupiah tunai. Asalkan Anda memberi saya detail akurat dan lengkap mengenai modus penipuan Andra.”
Mata Sella terbelalak. Tiga ratus juta? Uang yang baru saja ia sadari hilang, kini ditawarkan kembali oleh pria yang bahkan belum dikenalnya selama sepuluh menit?
“K-kamu mau memberiku tiga ratus juta? Kenapa? Untuk apa?” tanyanya curiga. Bukankah semua orang ingin mengambil keuntungan darinya?
“Saya hanya memastikan investasi properti saya bersih dari masalah. Saya anggap tiga ratus juta itu sebagai biaya kejelasan, Nyonya. Dan juga, karena saya benci penipu seperti Andra yang menggunakan status palsu untuk menghancurkan wanita.” Edo menarik napas. “Jadi, mari kita hentikan tangisan dan drama. Saya akan memberikan Anda kesempatan. Anda bercerita, dan Anda mendapatkan uang yang bisa Anda gunakan untuk memulai hidup baru, jauh dari apartemen ini.”
Edo mengeluarkan ponselnya, menggesek layarnya dengan ibu jari.
“Apartemen ini harus kosong dalam waktu satu jam, sesuai perjanjian sewa lama. Sekarang, Anda punya dua pilihan. Pilihan pertama: Anda tetap di sini, menangis, dan tidak punya uang sepeser pun, lalu pemilik lama akan datang mengusir Anda dalam hitungan menit, dan Anda tidak akan pernah melihat ruko Anda atau uangnya lagi. Pilihan kedua: Anda ikut dengan saya. Saya akan membawamu ke kantor pengacara dan Anda menceritakan seluruh kebenaran.”
Sella menatap kartu nama Edo yang berkilauan. Edo tampak serius, tidak ada senyum licik seperti Andra, hanya ketegasan yang mutlak.
Dia sudah kehilangan segalanya. Warisan, cinta, dan harga diri. Dia tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Andra sudah mengambil semuanya. Sekarang, setidaknya ada pria ini, CEO yang benar-benar kaya dan memiliki kekuasaan, menawarkan kompensasi untuk kebodohannya.
Sella mengangguk perlahan, suaranya tercekat. “Aku ikut. Aku akan ceritakan semuanya.”
Edo mengamati Sella dengan seksama, menghela napas, seolah puas dengan keputusan itu. Ia meraih cangkir kopi dingin di meja, mencicipinya sedikit, lalu mengerutkan kening karena rasanya yang pahit.
“Bagus. Sekarang, ambil tas Anda. Dan jangan bawa apa pun dari tempat ini. Saya akan mengurus properti yang tersisa,” kata Edo. “Tapi ada satu hal lagi yang harus kita luruskan, Sella. Jika kamu mau memulai hidup baru, kamu harus membersihkan trauma masa lalu, dan aku tidak suka drama di kantor. Begitu kita meninggalkan apartemen ini, aku tidak mau mendengar tangisan, tidak mau melihat keraguan, dan jangan pernah mengucapkan nama ‘Andra’ di hadapanku, kecuali saat di depan pengacara.”
Edo lalu tersenyum, tetapi senyum itu dingin, hanya berfungsi sebagai peringatan.
“Dan selamat datang kembali, Nyonya Sella. Di dunia nyata.”
Sella bangkit, merasakan seluruh dunianya baru saja berputar 180 derajat. Dalam satu jam, dia dihempaskan dari puncak bucin ke jurang kemiskinan, dan sekarang, diangkat oleh seorang konglomerat ke tempat yang belum dia ketahui. Edo berjalan ke pintu, membukanya dan menunggu. Sella meraih tasnya, lalu berjalan melewati Andra, melewati masa lalunya yang hancur. Saat Sella mencapai ambang pintu, Edo memandangnya sekali lagi.
“Ah, tunggu sebentar,” kata Edo, langkahnya berhenti.
Edo kembali masuk ke apartemen, mengambil jam tangan mewah yang Andra tinggalkan di atas meja kopi, jam tangan yang Sella beli dengan uangnya sendiri.
“Aku mengenali model jam ini,” ujar Edo sambil membolak-balik jam itu. “Replika yang bagus, tapi pasti bukan barang mahal yang Andra klaim. Kenapa kamu meninggalkannya?”
“Ambil saja. Aku tidak mau melihat barang-barang peninggalan penipu itu lagi,” jawab Sella, nada bicaranya kini keras, mengeras karena harga diri yang terhina.
Edo menyeringai. “Tentu. Aku juga benci penipu. Aku akan simpan jam ini sebagai barang bukti kejahatan dan manipulasi. Mungkin akan berguna saat polisi mencari Andra.”
Sella memandangnya dengan terkejut. “Polisi? Apa kamu serius akan melaporkannya?”
“Tentu saja,” jawab Edo sambil menyimpan jam itu ke saku jasnya, tatapannya kini berubah, tampak sangat fokus. “Menghancurkan bisnis adalah hal pribadi bagiku. Dan setelah kita selesaikan urusan pengacara, kamu akan mulai menceritakan segalanya padaku. Detail demi detail, agar aku bisa memahami mentalitas korban penipu. Ini bukan hanya tentang tiga ratus juta, Sella. Ini tentang apa yang harus kita lakukan pada ‘mokondo’ itu.”
Sella mengangguk. Dia mengikuti Edo keluar, melangkah ke lorong yang cerah, meninggalkan bau pengkhianatan di apartemen lama. Begitu mereka tiba di luar, Sella melihat sebuah mobil sedan hitam berkilau menunggu di tepi jalan, jauh lebih mewah daripada mobil pinjaman yang pernah digunakan Andra untuk pamer. Sopir berseragam sudah membukakan pintu belakang.
Sella masuk, duduk di samping Edo. Baru kali ini ia merasakan kemewahan yang sebenarnya, bukan imitasi murahan Andra. Dalam mobil, ia merasa terisolasi, sekaligus dilindungi oleh kekuasaan Edo yang nyata. Ia menatap Edo yang sudah fokus pada tabletnya.
“Sebelum kita tiba di kantor, ada satu hal lagi yang harus Anda lakukan, Sella,” kata Edo tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
“Apa?” tanya Sella.
Edo akhirnya mengangkat wajah, menatap Sella dengan sorot mata yang penuh janji.
“Lupakan bahwa kamu pernah menjadi wanita yang bodoh dan mudah dirayu. Mulai sekarang, kamu berada di bawah pengawasanku. Dan saya tidak menerima kegagalan.”
“Maksudmu?”
“Saya akan mengembalikan kerugian finansial Anda. Tapi kamu harus bersiap, Sella,” Edo menarik sudut bibirnya sedikit. “Karena ‘mokondo’ itu tidak hanya mencuri uangmu. Dia juga merusak mentalmu. Aku akan memberimu pekerjaan di perusahaanku, di divisi yang berhubungan langsung denganku. Dengan satu syarat.”
“Syarat apa?” Sella menelan ludah, firasatnya mengatakan bahwa tawaran ini tidak semudah mendapatkan gaji biasa.
Edo mematikan tabletnya, seluruh perhatiannya kini terpusat pada Sella.
“Aku perlu memastikan kamu tidak jatuh ke lubang yang sama. Aku perlu wanita cerdas di sisiku, bukan korban yang mudah menangis. Jadi, selama beberapa bulan ke depan, aku ingin kamu bertindak sebagai tunanganku. Untuk alasan bisnis dan juga untuk melindungimu dari jangkauan Andra. Ini akan membuktikan pada dunia, bahwa kamu sudah ‘diambil’ dan tidak tersedia lagi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments