Malam turun perlahan di istana.
Langit di atas paviliun timur berwarna ungu tua, dan suara serangga malam bergema lembut di kejauhan.
Namun di kamar permaisuri, keheningan terasa terlalu rapi terlalu sunyi untuk dianggap wajar.
Permaisuri Elara duduk di dekat jendela, membiarkan angin malam menyentuh ujung jarinya. Di hadapannya, secangkir teh hangat mengepulkan aroma melati.
Miraen, kepala pelayannya, berdiri beberapa langkah di belakang, menunggu perintah.
“Istana ini terlalu tenang malam ini,” ujar Elara pelan.
“Biasanya, bahkan bisikan kecil bisa terdengar dari taman.”
Miraen menunduk. “Saya juga merasakannya, Yang Mulia. Tapi… mungkin semua orang sedang berhati-hati setelah pagi tadi.”
Elara tersenyum samar.
Ia tahu yang dimaksud pelayannya jamuan pagi bersama Selir Valen masih jadi bahan gosip di seluruh istana.
Dan gosip, di tempat seperti ini, bisa membunuh lebih cepat dari racun.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang. Tirai panjang di dekat tempat tidur berkibar aneh.
Elara menoleh pelan.
Matanya menajam.
“Miraen,” katanya datar, “siapa yang terakhir menyentuh teh ini?”
Miraen tampak terkejut. “Salah satu pelayan baru, Yang Mulia. Ia bilang diutus dari dapur utama—”
“Berhenti.”
Elara berdiri, berjalan mendekati meja, lalu menyentuh bibir cangkir itu dengan ujung jarinya.
Uapnya masih hangat, tapi aroma yang samar-samar keluar dari sana membuat bulu kuduknya naik.
Sedikit terlalu tajam untuk sekadar melati.
Sebagai pembunuh bayaran, Aira sudah mencium berbagai jenis racun dalam hidupnya.
Dan yang satu ini, ia kenali dalam sekejap.
“Ekstrak Sarenium,” gumamnya pelan. “Tidak mematikan… tapi cukup untuk membuat seseorang demam dan kehilangan kesadaran selama dua hari.”
Ia tersenyum dingin.
“Pintar. Kalau aku minum ini, aku akan pingsan. Lalu rumor akan beredar bahwa aku sakit… dan mereka bisa berbuat sesuka hati.”
Miraen menunduk dalam ketakutan. “Yang Mulia, saya bersumpah saya tidak tahu—”
Elara menatapnya.
“Tenang. Aku tidak menuduhmu.”
Ia memegang cangkir itu, lalu meletakkannya di piring perak. “Bawa ke ruang bawah. Jangan buang. Aku ingin tahu siapa yang menyuruh pelayan baru itu.”
Miraen mengangguk cepat dan pergi dengan langkah tergesa.
Begitu sendirian, Elara menatap keluar jendela.
Di taman bawah sana, bayangan seseorang tampak bergerak di antara pepohonan cepat, hati-hati, tapi tak cukup untuk lolos dari matanya.
“Menarik,” bisiknya. “Baru juga menantang satu selir, sudah ada yang mencoba membungkamku. Secepat ini reaksinya.”
Ia membuka lemari kecil di sudut ruangan. Di balik lapisan kain sutra dan perhiasan, tersimpan sesuatu yang tak seharusnya dimiliki seorang permaisuri sebilah belati tipis dengan gagang hitam.
Peninggalan satu-satunya dari masa lalunya sebagai Aira Jung.
Tangannya menyentuh senjata itu lembut, seolah menyapa teman lama.
“Sepertinya aku harus mengingatkan mereka,” gumamnya, matanya dingin,
“bahwa tidak semua wanita istana bisa dibunuh dengan teh.”
Sementara itu, di ruang kerja kaisar, Kaelith Raen masih duduk membaca laporan malam.
Namun pandangannya kosong pikirannya tidak pada dokumen, melainkan pada sosok yang tadi siang menatapnya tanpa takut.
“Saya tak dinikahi hanya untuk diam.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Ia, kaisar yang tak pernah terganggu oleh siapa pun, kini malah merasa pikirannya dipenuhi oleh wanita yang dulu bahkan tak pernah ia lihat dua kali.
Seorang kasim masuk, menunduk. “Yang Mulia, ada laporan dari istana timur. Seorang pelayan baru hilang setelah mengantarkan teh untuk Permaisuri.”
Kaelith menatap tajam. “Hil…ang?”
“Ya, Yang Mulia. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi.”
Kaelith menutup dokumen di tangannya.
Tatapan matanya berubah tajam, dingin.
“Perintahkan penjaga untuk tidak mencampuri urusan itu.”
“Yang Mulia?”
“Biarkan saja,” katanya datar. “Aku ingin tahu bagaimana permaisuriku menanganinya.”
Ia bersandar di kursinya, jemarinya mengetuk meja perlahan.
Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Tunjukkan padaku, Elara,” bisiknya.
“Apa yang sebenarnya sedang kau sembunyikan dari semua orang di istana ini.”
Di paviliun timur, Elara menatap keluar jendela sekali lagi.
Bayangan itu kini menghilang, tapi matanya tetap tajam, penuh siaga.
Ia tahu malam ini hanyalah awal dari permainan panjang di balik tirai kekuasaan.
Dan jika istana ini ingin menjatuhkannya dengan racun, gosip, atau tipu daya,
maka ia akan melawan dengan cara yang lebih halus dan lebih berbahaya.
“Mari bermain,” katanya pelan.
“Kau ingin membunuh permaisuri? Sayang sekali. Yang kau temui bukan korban… tapi pemburu.”
Fajar belum sepenuhnya datang ketika teriakan pelayan terdengar dari taman timur.
Suara itu menusuk kesunyian pagi panik, bergetar, dan penuh ketakutan.
“Ada mayat! Di bawah pohon melati!”
Elara membuka matanya pelan. Ia belum tidur sejak semalam, masih duduk di tepi ranjang dengan pakaian malam sutra berwarna abu lembut. Tatapannya tajam, bukan karena terkejut, melainkan karena sudah menduga sesuatu seperti ini akan terjadi.
Miraen berlari masuk, wajahnya pucat.
“Yang Mulia… pelayan yang mengantarkan teh semalam… dia ditemukan mati.”
Elara berdiri tanpa terburu-buru.
“Dimana?”
“Di taman timur, dekat kolam batu. Ada bekas cekikan di lehernya.”
Ia menarik napas pelan.
Tidak ada rasa iba di wajahnya, hanya kehati-hatian.
“Mereka ingin memutus jejak,” gumamnya. “Membunuh saksi sebelum sempat bicara.”
Miraen menggigit bibirnya. “Apa kita harus melapor pada Kaisar?”
Elara tersenyum samar. “Tidak perlu. Orang seperti beliau pasti sudah tahu sebelum kita buka mulut. Aku ingin lihat sejauh mana dia membiarkanku bergerak.”
Ketika Elara tiba di taman, udara masih lembab. Kabut tipis menutupi sebagian rumput dan kelopak bunga melati berguguran, menempel di tubuh seorang pelayan muda yang kini terbujur diam.
Lehernya membiru, matanya terbuka seolah masih ketakutan.
Di sekelilingnya, beberapa pengawal berdiri canggung takut berbicara tanpa perintah.
Elara menatap mereka satu per satu, lalu berjongkok di depan mayat itu.
Jemarinya menyentuh pergelangan tangan dingin si pelayan, seolah memastikan sesuatu.
“Tidak ada tanda racun,” gumamnya. “Hanya cekikan. Tapi lihat posisi tangannya…”
Miraen menunduk melihat tangan si pelayan terangkat sedikit, seolah sempat berusaha meraih sesuatu. Di antara jari-jarinya, terselip sehelai benang hitam halus.
Elara mengambilnya dengan hati-hati. Benang itu begitu tipis, tapi kuat bukan dari pakaian biasa.
“Ini serat sutra penjaga elit,” katanya pelan. “Yang dipakai pasukan pribadi Kaisar.”
Semua orang menahan napas.
Miraen langsung menatapnya dengan panik. “Yang Mulia, maksud Anda…?”
Elara berdiri, menatap matahari yang mulai naik perlahan di ufuk timur.
“Aku tidak menuduh siapa pun.” Ia tersenyum dingin. “Tapi jelas seseorang di istana ini ingin aku berhenti mencari tahu. Dan mereka yakin aku akan takut.”
Ia berbalik pada para pengawal.
“Kuburkan dia diam-diam di taman belakang. Jangan umumkan kematiannya. Katakan pada semua orang bahwa pelayan itu dipindahkan ke dapur barat.”
Salah satu pengawal menatap ragu. “Tapi, Yang Mulia—”
“Lakukan.”
Nada suaranya rendah, tapi tajam seperti pisau. Tidak ada yang berani membantah.
Siang harinya, Elara duduk di ruang baca istana timur.
Ia menatap jendela dengan pandangan kosong, namun pikirannya bekerja cepat.
Setiap langkah yang ia ambil sejak datang ke dunia ini seperti menginjak tali jebakan. Tapi semakin dalam ia terseret, semakin jelas satu hal tokoh “permaisuri lemah” yang ia gantikan dulu hanyalah boneka dalam permainan besar.
Dan Aira Jung tidak pernah sudi menjadi boneka siapa pun.
“Jika pasukan kaisar terlibat,” katanya pada dirinya sendiri, “itu berarti ada perintah diam-diam. Entah dari dia… atau dari orang yang berpura-pura berbicara atas namanya.”
Miraen masuk membawa nampan teh baru.
“Yang Mulia, ini teh yang saya buat sendiri.”
Elara menatapnya dan tersenyum lembut. “Kau pintar, Miraen. Tapi mulai sekarang, tak perlu buat teh di siang hari. Aku tak mau memberi kesempatan kedua bagi siapa pun.”
Miraen menunduk. “Baik, Yang Mulia.”
Sore itu, utusan dari istana utama datang.
Mereka membungkuk dalam di depan pintu.
“Permaisuri Elara, Kaisar memanggil Anda ke Aula Besar malam ini.”
Elara mengangkat alis. “Untuk urusan apa?”
“Tidak disebutkan, Yang Mulia. Hanya perintah langsung.”
Ia tertawa pelan.
“Sepertinya permainan baru akan dimulai.”
Malam tiba, dan aula besar istana bersinar terang oleh ribuan lentera.
Kaisar Kaelith duduk di atas singgasananya, mengenakan jubah hitam berlapis emas. Tatapannya tenang tapi Elara tahu, di balik ketenangan itu ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Ketika ia masuk, suasana mendadak hening.
Kaelith menatapnya lama, sebelum berkata dengan suara rendah:
“Aku dengar ada yang mati di taman timur.”
Elara tidak menunduk.
“Kaisar mendengar dengan cepat. Tapi orang itu bukan siapa-siapa.”
“Bukan siapa-siapa?” Kaelith memiringkan kepalanya. “Bagi sebagian orang, kematian hanyalah gosip. Tapi di istanaku, setiap mayat adalah pesan.”
Ia berdiri, langkahnya tenang mendekati Elara.
Jarak mereka hanya tinggal satu lengan.
“Apa kau tahu pesan apa yang dibawa oleh mayat itu, Elara?”
Elara menatap balik, tajam tapi tidak menantang.
“Saya hanya tahu satu hal, Yang Mulia. Jika seseorang ingin menakutiku dengan kematian… mereka memilih korban yang salah.”
Tatapan mereka bertemu lama.
Senyum kecil muncul di bibir Kaelith.
“Menarik.” katanya pelan. “Sangat menarik.”
Ia berbalik, lalu berkata tanpa menoleh:
“Mulai besok, aku tugaskan dua pengawal pribadiku menjaga istana timur.”
Elara menjawab datar, “Untuk melindungiku… atau mengawasi?”
Kaelith berhenti sejenak, lalu menjawab dingin:
“Keduanya.”
Dan ketika Elara menunduk memberi hormat, ia tahu mulai malam ini, setiap langkahnya akan diawasi.
Tapi di matanya, justru ada kilatan puas.
Baiklah, pikirnya.
Kalau kau ingin melihatku dari dekat, Kaisar… maka aku akan pastikan kau tidak bisa berpaling lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments