Patih Kamandaka mengetuk kembali pintu rumah yang cukup mewah pada masanya.
Dua buah pilar bangunan yang terbuat dari kayu berukuran besar dengan ukiran yang cukup menarik, menjadi tiang penyanggah teras yang membuatnya terlihat sangat megah.
Pintu terbuka. Terlihat seorang pria berdiri diambang pintu dengan wajahnya yang mengantuk, dan ia menatap Patih bertubuh tegap dihadapannya.
"Maaf, Kanjeng Raden Tumenggung, mengganggu tidurnya. Saya hanya diminta mengantarkan pesan ini kepada Kanjeng Raden agar kiranya esok dapat hadir ke kadipaten untuk memenuhi undangan dari Adipati Bisrah yang baru saja menjabat sebagai pemimpin yang baru." Patih Kamandaka memberikan gulungan kertas yang ditulis dengan huruf aksara hanacaraka.
Tumenggung Kamandaka membuka gulungan kertas yang berwana coklat muda. Ia membaca isinya, dan menghela nafasnya dengan berat.
Dhawuh Saking Kadipaten Pusat
ꦝꦮꦸꦃ ꦱꦏꦶꦁ ꦏꦢꦶꦥꦠꦼꦤ꧀ ꦥꦸꦱꦠ꧀
Dhumateng sedaya para Tumenggung
ꦝꦸꦩꦠꦼꦁ ꦱꦼꦢꦪ ꦥꦫ ꦠꦸꦩꦼꦁꦒꦸꦁ
Waosan: Dhawuh
ꦮꦲꦺꦴꦱꦤ꧀: ꦝꦮꦸꦃ
Wigatosing prekawis: Pasrah Panampi Dhawuh Anyar
ꦮꦶꦒꦠꦺꦴꦱꦶꦁ ꦥꦿꦼꦏꦮꦶꦱ꧀: ꦥꦱꦿꦃ ꦥꦤꦩ꧀ꦥꦶ ꦝꦮꦸꦃ ꦲꦚꦂ
Ia kembali menggulung surat undangan yang datang dari Kadipaten Pusat, dan menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, Patih. Saya akan memenuhi undangan ini esok," jawabnya dengan tenang, meski hatinya sangat gelisah, apalagi, ia mendengar jika Adipati Wijaya sudah digulingkan dari kedudukannya, dan kini diganti oleh Adipati yang serakah dan tamak.
"Baik, Kanjeng Raden Tumenggung, saya pamit, sebab akan mengabarkan berita ini ke Tumenggung lainnya." Patih Kamandaka berpamitan, lalu naik menunggangi kudanya.
Pria bertubuh kekar itu menatap langit yang hampir pagi, dan ia terpaksa menggunakan ajian Saifi Angin yang dimilikinya agar segera cepat tiba didaerah wilayah Tumenggung lainnya.
Patih Kamandaka melesat bagaikan angin yang dapat memindahkannya dari satu tempat ketempat lainnya dengan waktu yang cukup singkat.
Pria itu sudah mengabarkan keseluruh Tumenggung yang ada dibawah naungan kadipaten Utara, dan mau tidak mau mereka akan menghadiri undangan yang telah disebarkan, dan tidak ada penolakan yang harus mereka lakukan.
Jika sampai mereka tidak hadir dalam pertemuan ini, maka daerah kekuasaannya akan diambil alih dan jabatan yang mereka sandang dicopot dengan paksa.
****
Pagi ini terlihat sangat sibuk di pendopo Adipati Bisrah. Ia duduk diatas kursi singgasananya yang merupakan impiannya selama ini.
Para dayang sudah berdiri disisi kanan dan kirinya yang siap untuk memberikan pelayanan kepada sang Adipati.
Dari kejauhan, terlihat para Tumenggung yang datang dengan berbagai moda tranportasi. Jika yang jaraknya dekat dengan kadipaten, mereka menggunakan pedati yang menggunakan gerobak lengkap dengan penutupnya.
Sedangkan yang jaraknya jauh, mereka menggunakan kuda sebagai tunggangannya.
Tak hanya itu, mereka masing-masing memiliki kesaktian berupa ilmu kanuragan Saifi Angin yang dapat membuat mereka tiba lebih cepat, dan itu sudah bukan hal yang rahasia lagi dikalangan para pejabat.
Para Tumenggung berjumlah sekitar dua puluh orang, dan mereka memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas, dan hasil bumi yang melimpah.
Diantara mereka, terlihat Tumenggung Arya yang hadir dengan tatapan tenang, meski hatinya bergolak saat mengetahui jika Adipati yang baru adalah Bisrah
Jujur saja, ia sangat muak melihat sosok tersebut, sebab sebelumnya ia hanyalah seorang Patih kepercayaan dan berubah berbelot, yang mana kabarnya hal itu dilakukan dan didukung oleh Kerajaan Medang Jaya yang dipimpin oleh raja Arsana yang berada dipusat.
Adipati Wijaya mendapatkan pencopotan jabatan karena diduga tidak mau mengikuti aturan yang sudah ditetapkan untuk memungut pajak atau upeti kepada rakyat dengan jumlah yang sangat memberatkan.
Selama ini, Adipati Wijaya selalu menolak keinginan sang Raja, dan hal ini yang membuat pimpinan pusat terpaksa melengserkan Wijaya Ningrat, dan menggantinya dengan Bisrah yang dianggap dapat bekerja sama dan melancarkan semua aturan yang telah ditetapkan.
Pilar-pilar kayu yang berjumlah sepuluh tiang yang terbuat dari kayu pilihan tampak berdiri kokoh di ruang pendopo yang menampung para undangan.
Jamuan sudah siapkan, dan mereka duduk dengan teratur, sesuai tingkatan dan nomor undangan yang sudah siapkan.
Mereka sedang menunggu arahan dari Adipati Bisrah yang saat ini duduk dengan angkuh dan sombong, setelah berhasil menyingkirkan Adipati Wijaya.
"Selamat datang para Kanjeng Raden Tumenggung yang sudah memenuhi undangan saya." ia membuka pembicaraan pagi ini.
Para Tumenggung mencoba mendengarkan dengan seksama, meski mereka merasa tak suka dengan Adipati yang baru, apalagi mendengar segelintir gosip dengan kebijakan yang diterapkannya dan berusaha mencekik rakyat.
"Saya sebagai Adipati yang baru. Mendapatkan mandat untuk disampaikan kepada kalian semua, agar menandatangi perjanjian untuk tunduk dan patuh, serta bekerja dibawah tekanan Adipati Bisrah Utara, dan pernyataan ini tidak dapat diganggu gugat," ucap Bisrah dengan nada penekanan.
Hal ini membuat parang Tumenggung saling pandang satu sama lainnya.
Mereka menganggap jika kebijakan yang saat ini sedang dibuat oleh Adipati terlalu mengada-ada, dan sangat merugikan mereka.
"Maaf, Kanjeng Gusti Adipati Bisrah, saya rasa ini sangat berlebihan dan cukup merugikan banyak pihak terutama didaerah kepemimpinan saya. Upeti yang harus dibayarkan cukup besar, dan ini dapat membuat rakyat menderita," Tumenggung Chandra yang berasal dari wilayah barat berusaha menolak kebijakannya.
Hal itu ternyata diikuti oleh Tumenggung yang lainnya. Mereka ikut menolak kebijakan yang dibuat, dan mengajukan protes.
Bisrah yang mendengarnya beranjak bangkit dari duduknya, lalu menatap para Tumenggung yang dianggap sebagai pemberontak.
Ia menarik pedangnya dan mengacungkannya keatas. "Siapa yang berani menetangku, maka unung pedang ini akan menjadi saksi sebagai kematiannya, bukan hanya diri kalian sendiri, tetapi seluruh keluarga akan aku penjarakan dan disiksa!" ancamnya nada yang tidak main-main.
Seketika para Tumenggung memucat. Mereka mengenal Bisra sebelumnya adalah Patih dari Adipati Wijaya Ningrat yang merupakan orang kepercayaannya.
Bisrah dikenal memiliki ajian Rawa Rontek, yang mana tidak dapat dikalahkan dan dibunuh sembarangan, sehingga kesaktiannya itu membuat para Tumenggung merasa takut untuk melawannya.
Ditambah lagi, Adipati Bisrah memiliki kemampuan berperang dengan taktik yang cukup lihai, sehingga para Tumenggung merasa takut, jika wilayah mereka nantinya akan diserang, jika tak menuruti keunginan sang Adipati.
Disisi lain, mereka merasa bagaikan buah simalakama. Dimana jika mereka menandatangani perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak saja, sebab sewaktu-waktu, wilayah mereka bisa saja dicaplok sesuka hatinya.
Dengan rasa keterpaksaan, akhirnya mereka menandatangani perjanjian, namun diantara mereka, seorang Tumenggung yang sedsri tadi hanya diam dan mengikuti, menyusun strategi untuk melakukan perlawanan secara masif dan terstruktur.
Melihat para Tumenggung menandatangani perjanjian secara tertulis, maka Bisrah mengulas senyum liciknya dengan begitu lebar.
~Adipati setingkat dengan Gubernur pada masa sekarang, dan Tumenggung setingkat dengan Bupati.
Maka seorang Adipati memiliki kekuasaan yang cukup besar pada masa pemerintahan sebelum kemerdekaan pada tahun 1945.
Adipati adalah pemimpin sebuah wilayah yang bersifat otonom, dan ia membangun daerahnya sendiri dengan hasil bumi yang dimilikinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Batsa Pamungkas Surya
Kadipaten harusnya gak pake di pepet
tapi pake taling
2025-10-22
1
༄⍟Mᷤbᷡah²_Atta࿐
Patih apa Temenggung Kamandaka 🤔🤔
2025-10-14
1
rajes salam lubis
bukannya Adipati itu seperti walikota thor??
2025-10-17
0