Cermin besar memantulkan sebuah wajah sembab karena air mata, seharian menangis membuat Alleta tak dapat mengeluarkan air mata itu lagi.
Malam yang begitu sunyi, sesunyi hatinya yang terluka dan berdarah. Namun, bahkan ia sendiri pun tak dapat untuk mengobati luka yang menganga lebar di dalam sana.
Ia menghela napas sejenak, helaan yang terasa amat sangat berat.
Perlahan ia bangkit dan berdiri menyingkap tirai jendela, terlihat dengan jelas bintang di langit sana bertaburan seolah sedang menghiburnya.
Malam ini mungkin akan menjadi akhir dari masa lajangnya, tak pernah sama sekali terduga olehnya bahwa dia akan segera menikah, dan bahkan dengan pria yang sama sekali tak ia cintai, pria yang dikenal dengan tempramen buruknya itu, malah akan menjadi suaminya setelah matahari terbit nanti.
Jika pria itu menceraikannya, maka kehidupan ini akan semakin sulit untuk dirinya sendiri, di desa mereka masih begitu tabu dengan adanya seorang janda, ia pasti akan terus dikucilkan dan direndahkan karena status seperti itu.
Alleta menggelengkan kepala serta memijitnya beberapa kali, kepalanya terasa berat memikirkan hal itu.
Malam semakin larut, ia pun mencoba untuk tetap tenang dan berusaha untuk bisa tidur malam ini, Namun, saat ia berbalik badan Alleta melihat cangkir tehnya yang kemarin malam masih ada di atas meja, ia memang sempat membuat teh hangat untuk dinikmati bersama derasnya hujan malam, dan setelah meminum teh itu pula ia merasa kantuknya segera menyerang hingga tak tertahankan, ia bahkan tak sempat pindah ke kasurnya.
Saat bangun ia justru malah berada di rumah kosong itu bersama Alfarez.
Alleta mencoba berpikir keras dan menghubungkan masalah ini pada kedua orang itu. Ya, Davina dan Rahel pasti terlibat dengan masalah yang sedang ia hadapi ini.
Orang yang diuntungkan dengan adanya masalah ini hanyalah mereka berdua, dan tentunya cuma merekalah yang bisa melakukan itu padanya.
Malam kemarin kebetulan ayahnya memang sedang tidak ada di rumah karena harus mengurus jual beli hasil panen jagung ke kota, dan pasti karena itulah mereka langsung beraksi dan menjebaknya tanpa ia sadari.
Memikirkan itu napas Alleta mendadak naik turun dengan cepat, ia marah, kesal, dan rasanya ingin mengamuk detik itu juga.
Dengan sisa tenaga yang masih ada, ia pun keluar dari kamar untuk menghampiri Rahel, si kakak tirinya itu.
"Haha, akhirnya kita berhasil, Mah. anak sialan itu pasti tidak akan hidup tenang setelah ini."
"Setelah dia menikah dengan laki-laki pembawa sial itu, maka semua harta ayahnya akan menjadi milik kita."
Alleta seketika tertegun mendengar suara Rahel yang sedang bersuka cita di atas penderitaannya.
Ternyata sama seperti dugaannya, merekalah pelaku dari semua masalah yang sedang ia hadapi sekarang ini.
Kenapa? Kenapa mereka setega itu? Jadi kebaikan yang selama ini ia dapatkan, hanya sebuah kepura-puraan belaka? Sekejam itukah dunia memperlakukannya?
Sesak di dada seketika semakin menghimpit, Alleta sungguh sudah tak tahan lagi, dengan cepat ia membuka pintu dan membantingnya.
Kedua wanita itu tentu saja terkejut melihat Alleta yang tiba-tiba muncul, kedua matanya terbelalak seolah akan lepas.
"Alleta, a-apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Rahel gugup.
Alleta dengan sekuat tenaga mengangkat tangannya dan menampar wajah Rahel.
Mereka berdua berteriak histeris tak menyangka bahwa Alleta berani melakukan sebuah kekerasan.
"Apa yang kamu lakukan, anak sialan?" Davina seketika berdiri dan menarik rambut Alleta dengan kuat. Namun, perlawanan Alleta tak berhenti sampai di sana, ia balas menendang ibu tirinya hingga Davina terjungkal dan jatuh ke lantai.
Alleta menggunakan kesempatan itu untuk balik menarik rambut Rahel dengan kekuatan penuh hingga Rahel menjerit histeris.
"Apakah sakit? Ck, ini tak sebanding dengan apa yang sudah kalian lakukan padaku!" teriak Alleta dengan murka.
"ALLETA, CUKUP!!"
Gadis itu seketika tersentak dan menoleh pada sang ayah yang kini berdiri di depan pintu menyaksikan apa yang sudah dia lakukan pada Rahel dan Davina.
"Lepaskan tanganmu!" titah ayahnya dengan sedikit membentak.
Kekuatan Alleta memudar, cengkramannya terlepas, sebagaimana tangisnya yang juga ikut tak terbendung.
Dunia terasa begitu tak adil padanya, kenapa hanya dia saja yang menderita? kenapa bahkan sosok ayah yang selalu ia kagumi itu sekarang justru tak memercayai dan menghakiminya.
Tanpa menunggu ayahnya angkat suara, Alleta berlari keluar dan membanting pintu kamarnya sekencang mungkin, sebagai bentuk protesnya pada sang ayah.
Melihat Alleta bersikap seperti itu, Adrian merasa dadanya begitu sesak, ia paham betul betapa terluka putri kecilnya itu, ia merasa gagal menjadi sosok ayah yang baik, ia gagal membuat putrinya merasa aman bersamanya.
Adrian menatap istri dan anak tirinya bergantian. "Aku tak mau ada keributan semacam ini lagi di rumahku," ucapnya, dan berusaha untuk tetap tenang.
"Tapi Alleta yang mulai duluan, Mas!" protes Davina. Namun, Adrian tak menanggapi itu dan berlalu pergi menuju ke kamarnya, ia tak ingin lagi mendengar kritikan apa pun atas nama Alleta, hari ini sudah cukup sangat melelahkan baginya.
Davina berdecak kesal melihat Adrian yang malah mengabaikannya, jika saja pria itu sedikit lebih peduli padanya, maka ia bisa membuat Adrian membenci putri kandungnya malam itu juga.
"Ini gimana, sih, Mah? Papa masih saja membela si Alleta itu," kesal Rahel dengan bibir ditekuk.
"Kamu tenang saja, Mama tidak akan membiarkan si Alleta itu hidup tenang di rumah ini." ucap Davin sinis dengan sorot mata penuh dendam.
****
Sementara di sisi lain, pria dengan perawakan yang hampir dikatakan sempurna itu bergegas membawa langkah lebarnya menuju ke kediaman kepala desa.
"Eh, Tuan Muda, ada apa gerangan sampai membuat Anda datang ke sini?" Aaron, seorang utusan yang juga merangkap menjadi kepala desa untuk bisa memantau tuan mudanya di desa terpencil ini. Bagaimana ia bisa menjadi kepala desa, tentu saja itu sudah diatur oleh atasannya. Ia tersenyum canggung melihat kedatangan Alfarez ke rumahnya.
"Kamu tahu dengan pasti apa yang membuatku datang ke sini," jawab Alfarez skakmat, hingga Aaron tak dapat menjawab, ia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sebaiknya Anda masuk dulu saja, Tuan Muda, tidak enak jika ada yang melihat kita seperti ini."
Aaron mempersilahkan Alfarez masuk dan segera menutup pintu setelahnya.
Ketika duduk di ruang tamu, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, hanya setelah melihat tatapan Alfarez bagaikan hewan buas yang hendak menerkam, barulah Aaron dengan salah tingkah ia bersuara, "Bagaimana saya bisa menjelaskannya, Tuan Muda? Saya hanya menjalankan tugas dari tuan besar," dengan enteng ia tersenyum, meski sebenarnya keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Alfarez adalah sosok yang lebih mengerikan dari bosnya sendiri.
"Maksudmu, semua ini adalah bagian dari rencananya?" Alfarez menyipitkan mata curiga.
Aaron mengangguk mengiyakan.
"Perempuan itu, bagaimana kau bisa membawanya ke sana? Dia punya keluarganya sendiri."
Mendengar itu, Aaron sedikit menyunggingkan senyum getir.
"Seorang anak yang tidak diinginkan oleh keluarganya, bukankah menjadi istri Anda adalah suatu hal yang lebih baik?" ucapnya, dan Alfarez mengernyitkan dahi meminta jawaban dari maksud perkataan Aaron.
"Nona Alleta itu sudah dijual oleh ibu tirinya, dan tentunya juga sudah mendapat persetujuan dari ayahnya langsung, sekarang mungkin mereka sedang menikmati hasil penjualannya, mengingat harga yang ditawarkan oleh tuan besar jumlahnya tidaklah sedikit."
"Berapa?" tanya Alfarez tanpa basa-basi.
"Berapa apanya, Tuan Muda?"
Mendengar Aaron bertanya, Alfarez menatap tajam dengan gigi menggertak kesal, Aaron tersenyum dan segera menyudahi kebodohannya itu.
"Dua Millyar." Aaron mengacungi dua jarinya sesuai jumlah bayaran yang ia sebutkan.
Bibir Alfarez seketika menyungging sinis mendengar jumlahnya.
"Hanya dengan uang segitu mereka berani menukarnya dengan anak sendiri?"
"Anda jangan salah, Tuan Muda. Bagi Anda uang segitu mungkin sangatlah kecil dan tidak ada apa-apanya, tapi bagi warga desa sini, itu nominal yang bahkan mereka tak berani untuk membayangkannya, dua millyar itu cukup untuk biaya hidup mereka hingga tua."
Tak ada jawaban yang diberikan Alfarez ketika mendengar jawabannya, selain sebuah bibir yang hanya terus berdecak sinis dengan kekonyolan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments