Arion tidak pergi ke kantor. Ia tidak bisa. Pintu mahoni itu tertutup rapat, mengunci Arion bersama janji tak terucapkan yang baru saja ia buat: Aku tidak akan meninggalkan kalian dalam kegelapan.
Ia melepas jas dan dasinya, melemparkannya ke sofa. Pakaian yang melambangkan kontrol dan logika itu kini terasa seperti beban yang menyesakkan.
Keputusannya untuk tetap tinggal bukanlah kemenangan bagi Luna dan Kyra, melainkan sebuah kekalahan bagi dirinya sendiri—kekalahan rasionalitasnya melawan kekuatan emosional mereka. Ia harus melakukan apa yang diminta Kyra: mencari tahu.
Arion berjalan perlahan menuju lantai atas. Kamar Luna dan Kyra berdekatan, menciptakan zona kekuasaan mereka.
Arion mengabaikan kamar-kamar itu. Ia menuju kamar tidur utama, kamar yang ditinggalkan oleh Ayahnya dan Ibu tiri mereka, Elara. Ruangan itu dingin, sunyi, seperti museum tempat kenangan yang telah mati disimpan.
Arion pergi ke lemari pakaian besar Ayahnya. Ia mencari di sudut terdalam, tempat Ayahnya menyimpan barang-barang yang tidak ingin ia bagi. Arion menemukan sebuah kotak perkakas yang tua dan berdebu.
Di dalam kotak perkakas itu, Arion menemukan Kunci Utama yang telah ia cari: kunci perak kecil yang ia curi cetak birunya dari kamar Luna (Bab XIV, yang kini diintegrasikan). Itu adalah kunci yang sangat spesifik, dengan tiga alur dalam.
Arion menyadari bahwa kunci itu tidak berada di kamar Ayahnya, melainkan di kamar Luna. Itu berarti Ibu mereka, Elara, atau Luna sendiri, yang telah memindahkan kunci itu, menjaganya agar tetap dekat. Sebuah pergerakan yang disengaja.
Arion meninggalkan kotak perkakas itu. Ia tahu ia butuh konteks. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka sebelum Ayahnya meninggal.
Ia berjalan kembali ke kamar tidurnya sendiri, mencoba menelepon kantornya untuk membatalkan semua jadwal, tetapi pikirannya terganggu.
Ia memandang lurus ke pintu kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit.
Kyra.
Gadis itu berdiri di ambang pintu, bersandar di kusen, masih mengenakan kemeja Arion dan legging hitamnya. Ia tidak mengawasi Arion, melainkan menatap Arion dengan ekspresi yang sulit diuraikan—perpaduan antara kemenangan dan ketidakpastian.
"Kenapa Kakak tidak pergi?" tanya Kyra, suaranya pelan.
"Aku memilih untuk mencari tahu, Kyra," jawab Arion, nadanya dingin dan tenang.
Kyra berjalan masuk, menutup pintu. Kehadirannya seketika memenuhi kamar Arion, memutus ruang udara.
"Luna menangis di kamar. Dia pikir Kakak marah dan akan pergi selamanya," bisik Kyra, ia berjalan ke tempat tidur Arion, duduk di tepi ranjang.
"Kalian menggunakan tangisan sebagai senjata," Arion membalas, ia berdiri menghadap Kyra. "Itu tidak adil."
"Hidup tidak adil, Kak," Kyra mengangkat bahunya, senyum sinisnya muncul. "Luna butuh kepastian. Aku butuh kendali atas kepastian itu."
Kyra menunjuk pergelangan tangannya. Arion melihatnya. Kyra membalik tangannya, memperlihatkan garis luka di lehernya.
"Aku tahu Kakak melihat ini. Bekas luka ini," kata Kyra, nadanya berubah serius. "Ini bukan goresan, Kak. Ini adalah penanda dari masa lalu. Penanda bahwa kami tidak pernah benar-benar bebas, bahkan setelah Ibu membawa kami ke sini."
Arion melangkah mendekat. Ia menunduk, meneliti garis pucat dan lurus itu. Jantungnya berdebar. Itu bukan luka biasa.
"Apa yang terjadi, Kyra? Siapa yang melakukan ini?" desak Arion.
Kyra tidak menjawab. Ia meraih tangan Arion, menariknya agar Arion duduk di sampingnya.
"Kakak sudah tahu tentang gelang Luna. Gelang perak yang terkunci itu. Gelang itu adalah ikatan yang terpaksa. Selama itu ada, Luna terkendali. Dia tidak bisa menunjukkan semua yang ia rasakan. Dia hanya bisa manja," bisik Kyra, ia menyandarkan kepalanya di bahu Arion, gerakan yang begitu intim dan penuh arti.
Arion merasakan wangi strawberrynya meresap ke pori-porinya. Ia merasakan gejolak dalam dirinya—sebagian ingin mendorong Kyra menjauh karena batas etika, sebagian ingin memeluknya karena rasa kasihan. Inilah chemistry yang dilarang, yang membuat Arion merasa makin gila.
"Gelang itu adalah wadahnya, Kak. Dan aku..." Kyra mengangkat kepalanya, menatap Arion dengan mata hazelnya yang memohon. "Aku adalah kuncinya. Aku yang tahu bagaimana mengendalikan dia."
Kyra mencondongkan tubuhnya ke Arion, suaranya kini dipenuhi rasa cemburu dan posesif yang tak tertahankan.
"Kami tidak takut ditinggalkan Ayah, Kak. Kami takut ditinggalkan oleh Jangkar yang memilih kebebasan. Jangkar yang memilih wanita lain. Jangkar yang memilih Risa."
Kyra menyentuh bibir Arion dengan jarinya. "Kau sudah melihat kami menangis. Kau sudah melihat kami ketakutan. Sekarang, tunjukkan pada kami: apakah kau akan kembali ke kebebasan yang fana itu, atau kau akan tetap di sini, terikat pada kami, pada misteri yang tidak akan pernah kau pecahkan?"
Arion merasakan sentuhan Kyra di bibirnya, dan ia tahu, pengawasan Kyra terhadap emosinya lebih berbahaya daripada gelang apa pun. Ia tidak bisa berpikir logis lagi. Ia tidak bisa menahan chemistry yang beracun ini.
Ia menarik napas, matanya terkunci pada Kyra. Ia memiliki dua pilihan: melarikan diri, atau menyerah pada hasrat dan misteri yang berbau bahaya ini.
Arion perlahan mengangkat tangannya, dan memegang kepala Kyra.
"Aku akan tinggal," Arion berbisik, menyerah pada permainan berbahaya ini. "Aku akan mencari tahu. Dan kau akan membantuku."
Kyra tersenyum penuh kemenangan, senyum yang begitu manis hingga terasa seperti racun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments