Wajah Dipo di layar membeku dalam senyuman penuh kemenangan sebelum tergantikan oleh logo berkilauan stasiun televisi. Remote kontrol terlepas dari genggaman Ratna, jatuh ke karpet tebal dengan bunyi yang nyaris tak terdengar. Di dalam keheningan yang tiba-tiba memekakkan itu, hanya ada deru pendingin ruangan dan tiga napas yang tertahan.
“Kita… kita tamat,” bisik Ratna, suaranya pecah. “Mereka tahu. Entah bagaimana, mereka tahu persis apa yang kita lakukan.”
Rama menyandarkan kepalanya ke dinding, matanya terpejam. “Bukan ‘entah bagaimana’, Bu. Ini sudah jelas. Ada tikus di dalam kapal ini.”
“Tikus?” ulang Ratna, nadanya meninggi karena panik. “Ini bukan sekadar tikus, Rama. Ini pengkhianat di lingkar dalam. Seseorang yang tahu tentang Dana Phoenix. Seseorang yang mendengar percakapan kita!”
“Tidak ada yang mendengar,” potong Sasha, suaranya terdengar anehnya tenang, dingin seperti es. Ia belum bergerak dari posisinya, matanya masih terpaku pada layar televisi yang kini menampilkan iklan properti mewah. “Hanya ada kita bertiga di ruangan ini.”
“Kalau begitu… bagaimana?” desak Ratna.
“Mereka tidak perlu mendengar percakapan kita hari ini,” lanjut Sasha, perlahan memutar kursinya menghadap mereka. Wajahnya adalah topeng pualam yang tanpa ekspresi, tetapi matanya berkilat dengan amarah yang membara. “Mereka hanya perlu tahu bahwa Dana Phoenix ada. Dan mereka tahu kita akan cukup putus asa untuk menggunakannya. Hadi tidak memasang perangkap. Ia hanya menunggu kita masuk ke dalam perangkap yang sudah ia siapkan sejak lama.”
“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” tanya Rama, mendorong tubuhnya menjauh dari dinding. “Tim forensik itu bukan gertakan. Mereka akan menemukan jejaknya. Ini hanya masalah waktu.”
“Kita akan menyangkalnya,” kata Sasha tegas.
Ratna tertawa getir. “Menyangkal? Dengan apa, Bu Sasha? Mereka punya data transaksi lintas negara! Kita tidak bisa menyangkal matematika!”
“Kita tidak akan menyangkal dengan angka. Kita akan melawannya dengan narasi.” Sasha berdiri, berjalan menuju jendela raksasa yang menyuguhkan pemandangan kerlip lampu Jakarta. “Hadi ingin melukisku sebagai seorang pewaris emosional yang tidak kompeten dan kriminal. Ia ingin pertarungan ini terjadi di ruang pengadilan dan laporan keuangan, tempat ia bisa mengendalikan semua variabel.”
“Dan di situlah kita akan kalah,” gumam Rama.
“Tepat,” sahut Sasha, berbalik. “Jadi, kita tidak akan bertarung di arenanya. Kita akan menyeretnya keluar ke arena yang tidak bisa ia kendalikan. Arena opini publik.”
“Wawancara?” tebak Rama, matanya melebar. “Anda mau bicara pada media?”
“Bukan sekadar wawancara,” koreksi Sasha. “Aku mau sebuah panggung. Prime time. Dengan jurnalis paling tajam yang bisa kita temukan. Seseorang yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diintimidasi. Seseorang yang akan mencoba mengulitiku hidup-hidup di depan jutaan penonton.”
“Ibu Laksmi dari Kanal Nusantara,” kata Rama seketika, menyebut nama jurnalis paling ditakuti di negeri ini. “Bu, jangan. Dia akan memakan Anda hidup-hidup. Pertanyaannya terkenal brutal. Dia pernah membuat seorang menteri menangis di siaran langsung.”
“Bagus,” sahut Sasha dengan senyum tipis yang tidak mencapai matanya. “Aku ingin dia mengerahkan semua kemampuannya. Aku ingin dia menyerangku dengan isu gender, dengan duka citaku, dengan tuduhan Hadi. Aku ingin dia melemparkan semua lumpur yang bisa ia temukan.”
“Untuk apa?” tanya Ratna, tidak mengerti. “Untuk mempermalukan diri sendiri secara nasional?”
“Bukan,” jawab Sasha. “Agar aku bisa menunjukkan pada semua orang bahwa aku tidak akan menghindar. Bahwa aku tidak akan menjawab pertanyaannya tentang Hadi. Setiap kali dia menyebut nama Hadi, aku akan bicara tentang Nusantara-Net. Setiap kali dia bicara tentang perebutan kekuasaan, aku akan bicara tentang kedaulatan data. Setiap kali dia mencoba menjadikannya drama keluarga, aku akan mengubahnya menjadi manifesto masa depan teknologi Indonesia. Aku tidak akan membela diri. Aku akan menyerang balik dengan sebuah visi.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Rama dan Ratna saling berpandangan, menangkap kilau kegilaan sekaligus kecemerlangan dalam rencana itu.
“Ini pertaruhan yang sangat, sangat besar,” kata Rama pelan. “Jika gagal, Anda tidak hanya akan kehilangan perusahaan. Anda akan menjadi bahan tertawaan nasional.”
“Aku sudah kehilangan tunanganku, Rama,” balas Sasha, suaranya melembut untuk sesaat, dipenuhi gema kesedihan yang dalam. “Dibandingkan dengan itu, kehilangan muka tidak ada artinya. Hubungi tim Laksmi. Katakan pada mereka aku siap kapan pun.”
...****************...
Seminggu kemudian.
Lampu studio terasa panas di kulit Sasha. Ratusan mata tak terlihat di balik lensa kamera terasa seperti menelanjanginya. Di seberangnya, Laksmi menatapnya dengan sorot mata seekor elang yang telah menemukan mangsanya. Tidak ada basa-basi sebelum siaran dimulai. Hanya keheningan yang berat dan menegangkan.
Lampu merah di atas kamera menyala. Laksmi tersenyum tipis.
“Selamat malam, pemirsa. Malam ini kita bersama Sasha Victoria, wanita yang berada di pusat badai korporasi terbesar tahun ini. Selamat malam, Nona Victoria.”
“Selamat malam, Bu Laksmi.”
“Terima kasih sudah bersedia hadir. Mari kita langsung ke pokok persoalan. Banyak pihak, termasuk dari internal perusahaan Anda sendiri, meragukan kapasitas Anda. Mereka bilang Anda terlalu muda, terlalu terbawa emosi setelah tragedi yang menimpa Anda, untuk memimpin sebuah raksasa teknologi. Apa jawaban Anda?”
Sasha menarik napas perlahan, mengabaikan sengatan dalam pertanyaan itu. “Jawaban saya adalah, justru karena saya baru saja mengalami kehilangan, saya mengerti betul nilai dari sesuatu yang berharga. Bara mendedikasikan hidupnya untuk membangun DigiRaya bukan sebagai mesin pencetak uang, melainkan sebagai benteng digital untuk Indonesia. Kehilangan itu tidak membuat saya lemah, Bu Laksmi. Itu mengingatkan saya setiap hari tentang apa yang harus saya pertahankan.”
“Sebuah jawaban yang sangat puitis,” balas Laksmi, nadanya sinis. “Tetapi investor tidak membeli puisi, mereka membeli profit. Hadi Wibowo, paman dari almarhum tunangan Anda, mengklaim Anda membahayakan perusahaan dengan manuver-manuver yang sembrono. Termasuk dugaan pengalihan dana ilegal berskala masif baru-baru ini. Apakah Anda akan menyangkal tuduhan kriminal ini?”
Ini dia. Peluru emas yang sudah disiapkan Hadi. Sasha bisa merasakan Rama menahan napas di belakang panggung.
“Saya tidak akan membahas drama internal yang sengaja dibuat untuk mengalihkan perhatian publik,” jawab Sasha tenang, menatap lurus ke kamera. “Yang bisa saya katakan adalah ini: dua hari yang lalu, dua belas ribu karyawan DigiRaya, mulai dari petugas kebersihan hingga insinyur riset, semuanya menerima gaji mereka tepat waktu. Di tengah badai yang Anda sebutkan, kami memastikan tidak ada satu keluarga pun yang dapurnya berhenti mengepul. Bagi saya, itulah satu-satunya metrik kepemimpinan yang relevan saat ini.”
Laksmi sedikit terkejut. Ia tidak menduga Sasha akan membalikkan tuduhan kriminal menjadi isu kesejahteraan karyawan.
“Jadi Anda mengakui adanya ‘manuver’ untuk membayar gaji itu?” desak Laksmi, mencoba menjebaknya lagi.
“Saya mengakui bahwa prioritas utama saya adalah manusia, bukan sengketa hukum. Tapi mari kita bicara tentang hal yang lebih penting daripada saya atau Pak Hadi,” Sasha mengambil alih kendali percakapan. “Mari kita bicara tentang proyek ‘Nusantara-Net 2.0’. Sebuah inisiatif yang akan memberikan akses internet berkecepatan tinggi gratis ke 50.000 sekolah di daerah 3T. Sebuah proyek yang pondasinya sudah diletakkan oleh Bara, dan sekarang coba dihentikan oleh pihak-pihak yang lebih mementingkan dividen jangka pendek daripada investasi untuk generasi masa depan Indonesia.”
“Sebuah pengalihan isu yang cerdas,” cibir Laksmi, walau sorot matanya menunjukkan sedikit kekaguman. “Tapi Anda tidak bisa lari dari fakta bahwa perusahaan Anda sedang diobrak-abrik dari dalam. Bagaimana Anda bisa menjamin keamanan data jutaan pengguna Anda jika Anda bahkan tidak bisa mengamankan ruang rapat Anda sendiri?”
“Pertanyaan yang sangat bagus,” puji Sasha, membuat Laksmi mengerutkan kening. “Keamanan adalah segalanya. Itulah sebabnya, dalam 90 hari ke depan, DigiRaya akan meluncurkan ‘Garuda Shield’, sebuah platform enkripsi end-to-end pertama di Asia Tenggara yang dibangun sepenuhnya oleh talenta lokal. Kami tidak akan lagi bergantung pada teknologi keamanan impor. Kami akan membangun kedaulatan digital kita sendiri, bata demi bata, baris kode demi baris kode. Ini bukan lagi hanya tentang DigiRaya. Ini adalah pertarungan untuk masa depan digital Indonesia. Pertanyaannya bukan apakah saya mampu memimpin, Bu Laksmi. Pertanyaannya adalah, di sisi mana kita semua akan berdiri?”
Wawancara terus berlanjut selama tiga puluh menit berikutnya. Setiap kali Laksmi mencoba menyeretnya kembali ke lumpur konflik pribadi, Sasha dengan anggun mengangkat percakapan ke level visi dan ideologi. Ia tidak terlihat seperti korban yang membela diri. Ia terlihat seperti seorang ratu yang sedang memaparkan cetak biru kerajaannya.
Saat lampu merah padam, Laksmi menatap Sasha untuk waktu yang lama. Akhirnya, ia mengulurkan tangannya.
“Itu tadi… penampilan yang luar biasa, Nona Victoria. Sesuai dengan nama Anda. Sasha Victoria. Sebuah kemenangan menanti jalan Anda ke depan.”
“Terima kasih telah memberi saya panggung, Bu Laksmi.”
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, ponsel Rama tidak berhenti bergetar.
“Gila, Bu, gila!” serunya, matanya terpaku pada layar. “Tagar #MaharaniDigital jadi trending topic nomor satu nasional. Sentimen publik berbalik 180 derajat. Analis pasar memuji visi Anda. Beberapa anggota dewan yang tadinya netral baru saja mengirim pesan dukungan. Anda… Anda berhasil, Bu..." decak kagum Rama pada Sasha.
Sasha menyandarkan kepalanya ke jendela yang dingin, membiarkan kelegaan menyelimutinya untuk pertama kali dalam berminggu-minggu. Ia melihat lampu kota yang berlarian, dan untuk sesaat, ia merasa secercah harapan. Mereka belum menang, tetapi mereka telah memenangkan sebuah pertempuran penting.
Ia meraih tasnya, hendak mengambil ponselnya sendiri yang sengaja ia matikan selama wawancara. Namun, sebuah ponsel lain di dalam kompartemen terpisah tasnya—ponsel pribadi yang hanya berisi kontak keluarga dan teman terdekat, ponsel yang nyaris tak pernah berbunyi sejak pemakaman—bergetar hebat satu kali.
Sasha mengambilnya dengan heran. Sebuah panggilan masuk terpampang di layar. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Nama kontak yang tertera di sana mustahil, tidak nyata, sebuah hantu dari masa lalu yang seharusnya sudah terkubur selamanya.
Bara ❤️
Ponsel itu berdering sekali lagi, nada dering khas yang hanya ia gunakan untuknya, memecah keheningan mobil seperti jeritan. Lalu, sambungan itu terputus....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments