Bab 3 Aset Dibekukan.

Dua kata itu membakar retina Sasha, tercetak di benaknya bahkan setelah layar ponselnya kembali gelap. Awasi Hadi. Bukan ancaman, bukan permintaan tolong. Peringatan. Dingin, anonim, dan mutlak. Jantungnya yang sempat tenang setelah memenangkan pertempuran kecil di ruang rapat kembali berpacu. Ia tidak membuang sedetik pun. Tombol panggil ditekan sebelum ia sempat berpikir dua kali.

“Rama, masih di gedung?” tanyanya tanpa basa-basi saat panggilan tersambung.

“Masih, Bu. Di lobi bawah. Ada yang bisa saya bantu?” Suara Rama terdengar lelah.

“Kembali ke lantai saya. Sekarang. Bawa kepala tim siber kita. Siapa pun yang terbaik yang masih terjaga.”

“Baik, Bu. Ada masalah?”

“Ada pesan. Aku ingin kau dan timmu melacaknya. Telusuri sampai ke sumbernya, gali sampai ke akarnya. Aku tidak peduli seberapa dalam kau harus menggali.”

“Nomor tak dikenal, Bu?”

“Tentu saja. Kalau dikenal, aku tidak akan meneleponmu.”

“Bara… almarhum Pak Bara memasang protokol keamanan berlapis, Bu. Terutama untuk komunikasi anonim yang masuk ke jajaran eksekutif. Akan sangat sulit. Mungkin mustahil tanpa memicu alarm di seluruh sistem.”

“Aku tidak bertanya apakah ini sulit, Rama. Aku menyuruhmu melakukannya. Gunakan aksesku, gunakan apa pun yang perlu kau gunakan. Aku ingin tahu siapa yang mengirim ini.”

“Siap, Bu. Kami segera ke atas.”

*****

Tiga hari terasa seperti tiga dekade yang dihabiskan di dalam ruang mesin kapal selam yang bocor. Setiap jam membawa derit baru, setiap pagi membawa ancaman banjir yang lebih besar. Tim siber menemui jalan buntu, melaporkan bahwa pesan itu dipantulkan melalui selusin proksi internasional sebelum menguap seperti hantu digital. Peringatan itu tetap menggantung tanpa wajah, tanpa nama.

Pagi itu, Sasha sedang menatap grafik saham yang perlahan merangkak naik—hasil dari sentimen pasar yang sedikit membaik setelah pidatonya di ruang rapat—ketika Bu Ratna masuk ke ruangannya tanpa mengetuk. Wajah kepala divisi keuangan itu pucat pasi, seperti kertas. Di tangannya tergenggam sebuah tablet yang layarnya menyala dengan pemberitahuan resmi.

“Bu Sasha… mereka melakukannya.”

Sasha menegakkan punggungnya. “Mereka melakukan apa, Bu Ratna?”

“Hadi. Tim hukumnya. Mereka mendapatkan perintah pengadilan sementara.”

“Perintah untuk apa?”

Bu Ratna meletakkan tablet itu di atas meja mahoni dengan tangan sedikit gemetar. “Pembekuan aset. Semua rekening operasional utama kita. Dana likuid perusahaan… dibekukan.”

Rama, yang baru saja masuk membawa kopi, nyaris menjatuhkan nampannya. “Apa? Bagaimana bisa secepat itu?”

“Mereka menggunakan argumen ‘risiko manajemen yang tidak stabil’,” jelas Ratna, suaranya tercekat. “Mereka mengklaim kepemimpinan Bu Sasha yang ‘emosional’ menciptakan risiko pelarian modal dan penyalahgunaan dana perusahaan. Hakim menyetujuinya pagi ini.”

Sasha menatap dokumen digital di layar tablet. Kata-kata hukum yang dingin dan rumit itu pada intinya hanya berarti satu hal: cekikan. “Kapan perintah ini berlaku efektif?”

“Tengah malam nanti. Tepat pukul nol-nol. Kita punya… kurang dari dua belas jam.”

“Gaji karyawan akan dibayarkan lusa,” kata Rama pelan, kengerian merayap dalam suaranya. “Ada dua belas ribu orang yang menunggu, Bu.”

“Dan tagihan dari penyedia server farm kita di Singapura jatuh tempo besok,” tambah Ratna. “Jika kita gagal bayar, mereka berhak memutus layanan. Seluruh infrastruktur Nusantara-Net akan lumpuh.”

Sasha menarik napas dalam-dalam, menenangkan badai yang mulai bergejolak di dadanya. Ini bukan sekadar serangan. Ini adalah eksekusi. “Hadi tidak ingin memenangkan pertarungan di pengadilan. Ia ingin kita mati kehabisan napas bahkan sebelum bel ronde pertama berbunyi.”

“Kita tidak bisa melakukan apa-apa,” desah Ratna, akhirnya duduk di kursi di seberang Sasha. “Secara hukum, tangan kita terikat. Kita harus menunggu sidang pencabutan, yang bisa memakan waktu berminggu-minggu.”

“Kita tidak punya waktu berminggu-minggu. Kita bahkan tidak punya waktu sampai besok pagi,” sahut Sasha tegas. Ia memutar kursinya menghadap jendela raksasa, menatap cakrawala Jakarta yang berkabut. Otaknya bekerja, memindai setiap opsi, setiap celah, setiap kemungkinan. Lalu, sebuah ide terlintas. Berisiko. Gila. Dan mungkin satu-satunya jalan keluar.

Ia berbalik menatap Ratna. “Dana Phoenix.”

Wajah Ratna yang sudah pucat kini kehilangan semua warnanya. “Jangan, Bu. Jangan pernah sebutkan dana itu.”

“Kenapa tidak? Itu adalah dana cadangan strategis kita, kan? Disimpan di rekening offshore untuk keadaan darurat yang absolut,” kata Sasha, suaranya tenang namun penuh intensitas.

“Itu dana untuk skenario kiamat! Perang, bencana alam, keruntuhan ekonomi nasional! Bukan untuk melawan manuver hukum internal!” sergah Ratna, nadanya meninggi. “Menyentuh dana itu tanpa persetujuan RUPS penuh adalah… itu kejahatan kerah putih, Bu Sasha. Itu penggelapan dana perusahaan. Kita bisa dipenjara selama puluhan tahun.”

“Ini adalah kiamat, Bu Ratna. Kiamat DigiRaya,” balas Sasha. “Jika kita tidak membayar gaji karyawan, moral akan hancur. Jika Nusantara-Net lumpuh, kepercayaan publik akan musnah. Dalam tiga hari, perusahaan ini hanya akan menjadi cangkang kosong yang siap diambil alih Hadi dengan harga murah. Bukankah itu definisi kiamat bagi kita?”

“Ada aturan, ada prosedur! Kita tidak bisa begitu saja memindahkan dana lintas negara untuk menutupi rekening operasional! Audit akan menemukan jejaknya dalam sekejap. Tim Hadi akan menjadikan ini peluru emas untuk menjatuhkan Anda selamanya!”

“Jadi kita biarkan saja dua belas ribu keluarga kelaparan karena kita takut pada auditor?” tantang Sasha, matanya mengunci tatapan Ratna. “Kita biarkan visi Bara hancur karena kita terlalu patuh pada aturan yang sengaja digunakan untuk menjerat kita?”

“Ini bukan tentang kepatuhan, ini tentang hukum!” pekik Ratna, frustrasi.

“Hukum yang mana? Hukum yang baru saja dimanipulasi oleh Hadi untuk mencekik kita?” Sasha berdiri, berjalan mengitari meja dan berhenti di samping Ratna. Ia merendahkan suaranya, mengubah nada konfrontasi menjadi permohonan yang mendesak. “Bu Ratna, Anda sudah bersama perusahaan ini sejak awal. Anda kenal Bara. Anda tahu apa arti perusahaan ini baginya. Ini bukan hanya tentang angka di laporan keuangan. Ini tentang orang-orangnya. Tentang Rini di bagian kebersihan yang mengandalkan gajinya untuk menyekolahkan anaknya. Tentang Gilang dan tim risetnya yang bekerja lembur setiap malam untuk membangun masa depan. Apakah kita akan mengkhianati mereka semua?”

Ratna menunduk, bahunya merosot. “Saya punya dua anak, Bu Sasha. Saya tidak bisa masuk penjara.”

“Tidak akan ada yang masuk penjara,” kata Sasha, keyakinan dalam suaranya terdengar begitu nyata hingga nyaris bisa disentuh. “Tanggung jawab ini milik saya. Sepenuhnya. Saya yang akan menandatangani perintah transfer darurat. Saya yang akan menghadap dewan. Saya yang akan menghadapi hukum jika saatnya tiba. Anda… saya hanya butuh keahlian Anda untuk memastikan transfer ini tidak terdeteksi sampai kita punya waktu untuk bernapas. Pindahkan ke rekening sekunder kita di Zurich, lalu pecah menjadi tiga bagian dan salurkan melalui anak perusahaan kita di Hong Kong dan Seoul sebelum akhirnya masuk ke rekening penggajian. Bisakah Anda melakukannya?”

Rama menatap kedua wanita itu dengan napas tertahan. Ia sedang menyaksikan pertaruhan terbesar dalam sejarah DigiRaya.

Ratna diam untuk waktu yang lama. Ia menatap tangannya sendiri, lalu menatap foto Bara yang masih terpajang di sudut meja Sasha. Akhirnya, ia mengangkat wajahnya, matanya basah tetapi tatapannya kini kokoh. “Strukturnya terlalu sederhana. Akan meninggalkan jejak digital yang jelas. Kita harus memantulkannya melalui setidaknya tujuh lapis kustodian di yurisdiksi yang berbeda. Butuh waktu. Dan butuh otorisasi dari tiga kepala divisi berbeda untuk membuka setiap brankas digital.”

Sasha tersenyum tipis, senyum pertama yang tulus dalam tiga hari. “Berapa lama waktu yang Anda butuhkan?”

“Jika kita mulai sekarang, kita bisa menyelesaikannya lima menit sebelum tengah malam.”

“Kalau begitu, mari kita mulai.”

*****

Pukul 23.54.

Ruang kerja Sasha telah berubah menjadi pusat komando darurat. Udara terasa pengap, dipenuhi aroma kopi dan ketegangan listrik. Hanya ada mereka bertiga: Sasha, Ratna, dan Rama yang bertugas mengawasi komunikasi eksternal. Di layar utama, serangkaian baris kode dan jendela konfirmasi berkedip-kedip, melacak perjalanan ratusan miliar rupiah melintasi dunia digital.

“Lapisan terakhir,” bisik Ratna, jemarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan yang mengagumkan. “Mentransfer dari Seoul ke rekening penggajian domestik kita. Membutuhkan otorisasi biometrik Anda, Bu.”

Sasha menempelkan ibu jarinya ke pemindai di sisi meja. Lampu hijau menyala.

“Transfer sedang diproses… Enkripsi diterima… Konfirmasi…” Ratna membacakan status dengan suara monoton, berusaha menyembunyikan getaran di dalamnya. “Berhasil. Dana sudah masuk. Tepat tiga menit sebelum pembekuan efektif.”

Hening. Mereka bertiga serentak mengembuskan napas yang sepertinya sudah mereka tahan selama berjam-jam. Rama terkekeh lega, menyandarkan punggungnya di dinding. Ratna menutup matanya, menggumamkan doa syukur yang tak terdengar.

Sasha merasa gelombang kelegaan yang luar biasa, tetapi juga beban dari garis yang baru saja ia lewati. Ia telah menyelamatkan perusahaannya, tetapi dengan cara menjadi penjahat yang diperhitungkan.

“Kita berhasil,” kata Rama, memecah keheningan. “Hadi pasti akan terkejut besok pagi saat semua karyawan menerima gaji mereka tepat waktu.”

Sasha mengangguk, hendak mengatakan sesuatu ketika Rama tiba-tiba menunjuk ke layar televisi yang menyala tanpa suara di sudut ruangan. “Bu… besarkan suaranya.”

Ratna meraih remote dan menaikkan volume. Sebuah program berita bisnis malam sedang berlangsung. Wajah yang familier muncul di layar—pengacara utama Hadi, seorang pria licin bernama Dipo. Ia sedang diwawancarai secara langsung.

“…dan apakah Anda yakin langkah pembekuan aset ini tidak akan melumpuhkan operasional DigiRaya dan merugikan karyawan?” tanya sang pembawa berita.

Dipo tersenyum, senyum seekor ular yang baru saja menelan mangsanya. “Kami justru melindungi para karyawan dari manajemen yang sembrono. Klien kami, Bapak Hadi Wibowo, sudah mengantisipasi manuver ilegal seperti pengalihan dana darurat yang mungkin coba dilakukan oleh Nona Sasha. Tim forensik keuangan kami sudah siap siaga di beberapa negara. Ini hanya akan membuktikan poin kami di pengadilan: bahwa kepemimpinan saat ini tidak hanya tidak stabil secara emosional, tetapi juga secara kriminal tidak kompeten.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!