Butik itu berdiri megah di deretan bangunan elit kawasan pusat kota. Dinding kacanya memantulkan cahaya matahari pagi, menampilkan deretan gaun mewah di etalase — karya Susan, wanita yang dikenal karena selera tinggi dan keangkuhannya.
Begitu Sekar melangkah masuk, aroma parfum mahal langsung menyergap indra penciumannya. Lantai marmer mengilap, musik lembut mengalun, dan beberapa karyawan sibuk melayani pelanggan yang terlihat berkelas tas kulit, sepatu berhak tinggi, dan senyum yang penuh penilaian.
Sekar berdiri sejenak di depan pintu, merasa sedikit canggung. Meski sudah beberapa kali ke tempat ini, perasaan tak nyaman itu selalu muncul setiap kali ia berada di antara orang-orang seperti itu.
“Sekar!”
Suara Tante Susan memecah lamunannya.
Wanita itu muncul dari arah ruang belakang butik, mengenakan setelan sutra berwarna ungu tua dengan bros emas di dadanya. Rambutnya tersanggul rapi, wajahnya menampilkan ekspresi yang elegan namun dingin.
“Tante…” Sekar segera menunduk sedikit memberi hormat.
Susan menatap keponakannya dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum tipis. “Kau datang juga. Syukurlah. Aku kira kau terlalu sibuk menikmati hidup sebagai Nyonya Pratama.”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi Sekar tahu betul: itu bukan pujian.
Ia tersenyum kikuk. “Maaf, Tante. Aku memang baru sempat hari ini.”
Susan menatap jam tangannya, lalu mengisyaratkan Sekar untuk mengikutinya ke ruang duduk kecil di pojok butik area eksklusif tempat pelanggan VIP biasanya menunggu pesanan mereka.
Belum sempat Sekar duduk, seseorang tiba-tiba berjalan melewatinya dengan terburu-buru — seorang wanita muda dengan penampilan menawan. Gaunnya elegan, langkahnya anggun, tapi sorot matanya tajam. Bahunya tanpa sengaja menyenggol lengan Sekar cukup keras hingga tas kecil yang dibawa Sekar hampir terjatuh.
“Oh… maaf,” katanya dengan nada yang jelas tidak terdengar menyesal. Tatapannya menyapu Sekar dari atas ke bawah, lalu tersenyum miring. “Aku kira ini butik, bukan tempat orang miskin berkunjung.”
Sekar tertegun, wajahnya memanas. Ia menunduk cepat, memungut tasnya.
“Saya… maaf, saya tidak sengaja berdiri di jalur Anda.”
Wanita itu mendengus kecil, lalu menoleh ke Susan dengan senyum manis yang dibuat-buat.
“Oh, Bu Susan, Anda punya tamu? Maaf, saya kira hanya pelanggan biasa. Gaunnya benar-benar indah, seperti biasa.”
Susan tersenyum tipis, nada suaranya berubah lembut berbeda sekali dengan ketika berbicara pada Sekar.
“Ah, Livia, sayang. Terima kasih, kamu memang punya selera bagus. Aku akan pastikan pesananmu siap tepat waktu.”
Wanita bernama Livia itu mengangguk, lalu menatap Sekar sekali lagi kali ini dengan pandangan sinis yang jelas-jelas mengejek. Ia berjalan pergi dengan langkah percaya diri, meninggalkan aroma parfum yang kuat di udara.
Sekar menatap ke bawah, berusaha menyembunyikan rasa malu dan sakit hati yang menusuk. Tapi Susan hanya menghela napas pendek dan berkata dingin,
“Jangan diambil hati. Kau tahu dunia seperti ini. Orang hanya menilai dari apa yang mereka lihat.”
Sekar mencoba tersenyum, meski matanya sedikit berkaca. “Aku mengerti, Tante.”
Susan duduk di kursi beludru merah muda, menatap keponakannya seolah sedang menilai sesuatu. “Sekar, duduklah. Tante ingin bicara sesuatu yang penting.”
Sekar menuruti. Jantungnya mulai berdegup cepat, karena ia tahu pembicaraan “penting” itu hampir selalu berakhir dengan permintaan uang.
Susan menatapnya serius, lalu meletakkan cangkir tehnya di meja.
“Tante sedang butuh dana tambahan. Ada beberapa bahan impor yang harganya naik drastis. Aku tahu Bayu pasti bisa membantumu… atau lebih tepatnya, membantu Tante.”
Sekar terdiam. Tangannya meremas ujung tasnya erat-erat.
“Berapa banyak… Tante butuh?” tanyanya lirih.
“Tidak banyak,” jawab Susan santai, “sekitar seratus juta. Hanya untuk menutup biaya bahan dan sewa gudang sementara. Nanti tentu saja Tante akan menggantinya.”
Sekar menunduk. Jumlah itu tidak kecil. Ia bahkan belum pernah meminta uang sebesar itu pada Bayu, apalagi untuk alasan pribadi orang lain.
Susan memperhatikan wajah Sekar yang mulai pucat. “Kau tidak perlu terlihat seperti itu. Bayu pasti tidak akan keberatan, kan? Kau istrinya. Bukankah sudah seharusnya dia menafkahimu dan keluargamu?”
“Tapi, Tante…” suara Sekar mulai bergetar, “Mas Bayu baru saja sakit. Aku takut kalau aku minta uang sebesar itu, dia marah atau malah curiga.”
Susan menatapnya lama, lalu tersenyum dingin. “Sekar, dengar baik-baik. Jangan sampai kau membuat Tante kecewa lagi. Kau berutang budi padaku. Kalau bukan karena aku, kau tidak akan menikah dengan pria seperti Bayu.”
Sekar terdiam, hatinya terasa diremas. Kata-kata itu seperti belati yang perlahan menembus tenangnya. Ia ingin membela diri, tapi suaranya tak keluar.
“Aku hanya meminta sedikit bantuan,” lanjut Susan dengan nada manis yang palsu. “Kau tidak perlu beritahu Bayu kalau itu untuk Tante. Katakan saja kau butuh uang untuk membeli sesuatu, atau untuk amal. Pria seperti dia tidak akan peduli pada alasan kecil seperti itu.”
Sekar menunduk lebih dalam, merasakan dada sesak oleh ketakutan dan rasa bersalah yang bercampur menjadi satu.
Di luar ruangan, suara Livia kembali terdengar tertawa ringan bersama karyawan butik, seolah mempertegas jarak antara dunia Susan dan dunia Sekar.
Sekar menarik napas panjang, lalu berkata pelan,
“Baiklah, Tante. Aku akan coba… cari cara.”
Susan tersenyum puas, lalu meneguk tehnya dengan elegan.
“Bagus. Tante tahu kau anak baik. Jangan buat Tante menunggu lama.”
Sementara itu, di balik senyum getirnya, Sekar tahu langkah kecil yang ia setujui barusan akan menuntunnya pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar permintaan uang. Sebuah pintu masa lalu akan segera terbuka…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Sharah ArpenLovers Khan
Tante Susan jahat banget sama Sekar...
kira² Bayu bakal kasih uang ke Sekar gk ya??
2025-10-11
2
Wang Lee
Sembilan belas bunga untukmu thor
2025-10-19
2
Wang Lee
Gas Pool🙏
2025-10-19
2