Langit kota J sore itu tampak muram. Gerimis turun membawa hujan, menelusuri kaca jendela ruang dokter jaga di lantai tujuh klinik Castella Medika, klinik besar yang kini menjadi sati-satunya klinik saraf di kota J. Klinik yang dihadiahkan oleh Miko untuk putrinya. Meski masih terhitung muda dan belum memiliki banyak pengalaman, Miko menempatkan para dokter terbaik di sisi putrinya itu.
Di balik jas putih dan stetoskop yang menggantung di lehernya, Chesna Castella Abram, 28 tahun, tampak menatap kosong pada layar komputernya. Ia tidak sedang membaca hasil MRI pasien, meski di depan matanya terpampang gambar otak yang kompleks. Fokusnya entah di mana.
Sudah dua belas tahun sejak terakhir kali ia mendengar nama itu disebut.
Gideon Sanggana.
Nama yang dulu sempat begitu akrab di telinganya, kini seolah menjadi doa yang ia simpan rapat di dada, tak berani diucapkan, tapi juga tak bisa dilupakan.
Mereka terakhir kali bertemu saat Gideon hendak terbang bersama Heli kopter dari atap rumah sakit yang hendak membawanya pergi untuk pengobatan yang lebih intensif. Gideon yang dulu ceria, cerdas, dan selalu percaya diri, meninggalkan semuanya setelah kecelakaan itu. Ia pergi ke luar negeri untuk kesembuhannya, dan sejak hari itu, tak ada lagi kabar, surat, atau sekadar pesan singkat.
Hilang. Seolah ditelan bumi.
Chesna menutup layar monitornya, menunduk.
“Dua belas tahun…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Apa kamu benar-benar sudah lupa aku, Deon?”
Pintu ruangannya terbuka pelan. Miko Abram, ayahnya masuk, pemandangan yang langka. Tidak biasanya sang ayah mengunjunginya di tempat kerja.
“Papa kebetulan lewat karna baru menjenguk rekan papa. Kamu Masih di sini? Sudah malam dan di kuar hujan, Nak.”
Chesna tersenyum samar, mencoba menutupi sorot matanya yang sendu.
“Masih ada laporan pasien, Pa.”
Miko menatap putrinya beberapa detik, tatapan seorang ayah yang tahu anaknya tidak baik-baik saja.
“Chesna…” suaranya lembut tapi tegas, “sudah berapa kali Papa bilang? Sudahi mencari kabar tentang dia. Orang yang sengaja menghilang, berarti tidak ingin ditemui.”
Chesna terdiam.
“Papa, aku cuma-”
“Tidak, Nak.” Miko memotongnya perlahan, “Gideon bukan lagi bagian dari hidupmu. Kalau dia ingin ditemukan, dari dulu dia akan memberi kabar. Kamu sudah berjuang keras, lihat dirimu sekarang. Kamu seorang dokter hebat di klinikmu sendiri, kebanggaan keluarga. Jangan sia-siakan hatimu untuk masa lalu yang bahkan tidak memberimu harapan.”
Kata-kata itu menancap dalam, tapi justru membuat dada Chesna semakin sesak.
Karena bagian dari dirinya tahu, ia tidak mencari kabar Gideon karena tidak bisa move on, tapi karena di dalam hatinya, ada sesuatu yang belum selesai.
Setelah Miko pergi, Chesna duduk kembali. Di sudut meja kerjanya, ada sebuah foto lama, tersimpan di bingkai kaca. Ia mengangkatnya pelan. Dalam foto itu, dua remaja tertawa lepas di bawah langit senja, Gideon dengan kemeja putih dan Chesna dengan rambut panjang terikat rapi. Senyum mereka tampak ringan. Seolah dunia tak pernah berniat menyakiti mereka.
Tapi itu dulu.
Sebelum segalanya berubah.
Chesna menatap wajah di foto itu lebih lama dari yang seharusnya, lalu berbisik lirih,
“Kalau pun kamu bersembunyi, suatu saat kamu pasti akan muncul, kan? Aku hanya ingin tahu, bagaimana keadaanmu.”
Di luar sana, hujan turun semakin deras.
Dan di tempat lain, ribuan kilometer dari sana, seorang pria membuka matanya perlahan di atas ranjang terapi, dengan pandangan kabur dan tangan gemetar.
Suara lembut perawat asing memanggilnya,
“Mr. Sanggana, can you hear me?”
Gideon menarik napas berat.
Dua belas tahun, dan bayangan wajah itu masih sama. Rambut hitam panjang, senyum teduh, dan suara lembut memanggil namanya.
Chesna…
Untuk sebagian orang, dua belas tahun mungkin terasa sebentar.
Tapi bagi Gideon Sanggana, dua belas tahun adalah neraka yang tak berujung, tempat di mana waktu seakan berhenti, dan satu-satunya yang suka ia dengar hanyalah detak jantungnya sendiri.
Kecelakaan itu merenggut segalanya. Penglihatannya, langkahnya, bahkan harga dirinya.
Ia masih ingat hari pertama terbangun di ruang ICU, saat dunia menjadi gelap total dan tubuhnya tak lagi mau menuruti perintah. Saat itu, Gideon bersumpah tak ingin siapa pun melihat dirinya yang lemah, terutama Chesna.
“Lebih baik aku menghilang,” katanya pada kedua orang tuanya waktu itu, dengan suara serak dan mata yang kosong.
“Aku tidak ingin orang lain tahu aku begini.”
Dan ia menepati kata-katanya.
Selama dua belas tahun, Gideon hidup berpindah dari satu rumah sakit ke rumah rehabilitasi di luar negeri. Operasi demi operasi dijalani. Fisioterapi yang menyakitkan dilakukan berulang kali. Dan setiap kali kegagalan datang, ia kembali teringat pada gadis itu wajah yang dulu selalu kuat dalam hal apapun,, kini menjadi sumber rasa sakit yang tak bisa ia lawan. Sakit melawan hasrat yang tak terbendung untuk seorang gadis masa SMA-nya.
Namun hidup ternyata masih memberinya satu kesempatan.
Pada tahun ke dua belas, tim dokter menemukan donor mata yang cocok, setelah puluhan kali kegagalan sebelumnya. Operasi berjalan selama delapan jam.
Ketika perban itu akhirnya dibuka, dan cahaya menyentuh matanya untuk pertama kali sejak sekian lama, Gideon tak bisa menahan air mata.
Semua terlihat kabur, tapi ada cahaya. Ada bentuk. Ada kehidupan.
“Selamat datang kembali, Mr. Sanggana,” ucap dokter asing itu dengan senyum lelah.
“Anda bisa melihat dunia lagi.”
Kini, pada usia dua puluh sembilan tahun, Gideon telah menapaki separuh jalan menuju kesembuhan.
Kakinya masih belum sempurna, tapi berkat tongkat penyanggah dan latihan keras, ia bisa berjalan tanpa bantuan orang lain.
Penglihatannya belum pulih sepenuhnya, ia harus mengenakan kacamata khusus untuk membantu fokusnya. Tapi baginya, itu sudah lebih dari cukup.
Cukup untuk melihat dunia lagi.
Cukup untuk melihat wajah yang selama ini menghantui tidurnya.
Malam itu, di kamar rawat rumah sakit di Tokyo, Gideon berdiri di depan jendela besar, memandangi lampu kota yang berkilau.
Cahaya itu menyilaukan, tapi juga menghangatkan.
Tangannya menggenggam erat tongkat penyanggah di sisi kanan, sementara tangan satunya meraba bekas luka halus di pelipis, sisa operasi yang tak pernah bisa dihapuskan.
“Dua belas tahun…” bisiknya pelan. “Aku masih di sini, Chesna. Masih bernapas… dan masih mengingatmu.”
Ia menghela napas panjang, lalu menatap tiket pesawat di atas meja. Kota J, Indonesia.
Tanggal keberangkatan, dua minggu lagi.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Gideon akan pulang.
Bukan lagi sebagai remaja yang gagah dan sempurna, tapi sebagai pria dewasa yang meskipun terlihat begitu berwibawa dan tampan, wajah datarnya memiliki goresan di pelipis, memiliki banyak keterbatasan secara fisik dan mental.
“Gideon menatap sekeliling, tembok putih, cahaya sore yang menembus kaca, dan senyum kedua orangtuanya.
“Cahaya itu… ternyata hangat sekali,” bisiknya.
Ibunya tersenyum sambil mengusap pipinya. “Cahaya itu menunggu dua belas tahun, sayang. Sekarang, giliranmu hidup di bawahnya lagi.”
Gideon menunduk, menahan sesuatu yang bergetar di dada.
“Ma… Pah… gimana kabar Chesna?” tanyanya perlahan.
Suasana mendadak hening. Angin sore berhembus pelan, menggoyang ranting pohon sakura yang mulai merontokkan kelopaknya.
Tn. Sanggana menatap istrinya sejenak sebelum menjawab, suaranya tenang tapi dalam.
“Sudah lama sekali, Nak. Bertahun-tahun kau tidak mengirim kabar. Kami juga tidak ingin mengungkitnya lagi. Itu juga keinginanmu, kan. Mungkin… Chesna sudah punya kehidupan yang jauh lebih baik sekarang. Papa juga sudah lama tidak ada kerja sama bisnis dengan Om Miko.”
Ny. Sanggana menimpali dengan lembut, namun ada nada tegas di baliknya.
“Kamu seperti ini karna menolong Chesna, Nak. Tapi Kau sendiri yang memblokirnya dari hidupmu. Apa lagi neneknya dan nenekmu sampai saat ini saling bertentangan. Dua teman baik menjadi musuh dan saling menyalahkan setelah kecelakaan itu. Mungkin… ini waktunya kau menatap ke depan, bukan ke masa lalu. Biarlah Chesna menikmati hidupnya. Itu juga keinginanmu, Kan?”
Gideon hanya diam. Tangannya menggenggam tongkat di sisi kursinya lebih erat.
Ia menatap langit Tokyo yang perlahan berubah oranye keunguan, dan di sanalah, di antara kelopak sakura yang terbang tertiup angin, nama itu kembali terbisik di hatinya.
“Benar, dia pasti hidup dengan baik. Tapi aku hanya penasaran, bagaimana keadaannya.”
___
BERSAMBUNG…
Langit kota J sore itu biru muda, hangat, dan sibuk seperti biasa. Namun bagi Gideon Sanggana, hari itu bukan sekadar pagi biasa. Itu adalah hari pertama ia menjejakkan kaki di tanah airnya setelah dua belas tahun dan hari di mana ia memasuki kembali dunia yang dulu ia tinggalkan dalam gelap.
Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan gedung tinggi berlapis kaca biru perak bertuliskan:
SANGGANA GROUP INTERNATIONAL
Perusahaan yang dulu dirintis oleh sang kakek, kemudian berkembang pesat di tangan ayahnya, kini bergerak di berbagai bidang yaitu teknologi, properti, rumah sakit, hingga jaringan media.
Dan kini, secara resmi berada di bawah nama Gideon Sanggana.
Pintu mobil terbuka.
Seorang pria dengan jas abu muda keluar dengan langkah perlahan namun tegas, bertumpu pada tongkat penyanggah hitam berukir sederhana.
Kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya, namun sorot matanya tajam di balik lensa menandakan seorang pria yang pernah kalah oleh takdir, tapi kini kembali untuk menantangnya.
Beberapa staf yang berdiri di lobi segera memberi salam hormat.
“Selamat datang kembali, Tuan Gideon.”
Nada mereka penuh hormat dan kagum. Ada yang menahan napas, menatap tak percaya karena selama ini mereka hanya mendengar kisahnya seperti legenda,
“Tuan muda Sanggana, yang pernah lumpuh dan menghilang setelah kecelakaan besar.”
Langkah Gideon bergema lembut di lantai marmer.
Setiap langkahnya berat, tapi pasti.
Tangannya sempat bergetar kecil ketika ia menyentuh pintu utama ruang direksi, pintu kayu tua yang dulu pernah dibukakan oleh kakeknya sendiri saat ia masih remaja.
“Kelak, kau akan berdiri di sini, Deon,” kata kakeknya dulu. “Bukan karena warisan, tapi karena keberanianmu menanggung semua beban keluarga ini.”
Kini, kalimat itu bergema lagi dalam pikirannya.
Ia membuka pintu perlahan, menatap ruangan luas dengan jendela besar menghadap ke langit kota.
Cahaya matahari memantul di meja kayu hitam di tengah ruangan, meja kerja yang dulu digunakan oleh ayahnya, kini menjadi miliknya.
Tn. dan Ny. Sanggana telah menunggunya di dalam.
Ayahnya tersenyum kecil, bangga dan lega. “Hari ini resmi, Nak. Semua dokumen sudah diserahkan. Mulai sekarang, Sanggana Group ada di tanganmu.”
Gideon mengangguk pelan, mencoba menahan emosi yang menyeruak. “Terima kasih, Pa. Aku akan menjaganya.”
Ibunya menatapnya lama, lalu mendekat, merapikan dasinya. “Dan jaga juga dirimu, Gideon. Jangan terlalu keras pada luka yang belum sembuh.”
Gideon tersenyum samar. “Aku sudah hidup dalam luka terlalu lama, Ma. Sekarang, biarlah luka itu jadi pengingat, bukan penghalang.” Ya, bukan hal mudah bagi Gideon, dalam kondisinya yang terbatas saat itu, ia harus menyelesaikan pendidikannya secara daring. Dunianya penuh dengan ketakutan, kekuatiran, semangat juang untuk mengejar gelar dalam kegelapan.
Mereka tertawa kecil, namun di balik tawa itu, tersimpan keheningan yang belum selesai.
Karena ketika Gideon memutar pandang ke arah jajaran laporan investasi dan jaringan rumah sakit serta di layar besar di depan meja,
Matanya berhenti pada satu nama nama Klinik.
Klinik Castella Medical
Nama itu membuat dadanya bergetar pelan.
Ada sesuatu yang menegang di tenggorokannya, sesuatu yang tak ingin disebutkan namun tak bisa dihindari.
Tangannya terhenti di udara, dan sekelebat bayangan wajah perempuan itu, Chesna Castella yang sudah pasti kini memiliki nama Abram di belakang, melintas begitu nyata dalam ingatannya.
Ayahnya yang memperhatikan perubahan ekspresi putranya, hanya berdeham pelan.
“Klinik itu milik keluarga Abram. Masih termasuk dalam jaringan kita. Tapi jangan terlalu memikirkannya, Gideon. Dunia mereka sudah berbeda.”
Ibunya menatap lembut, tapi suaranya tenang dan menancap.
“Deon… tak semua masa lalu bisa dibawa ke dalam masa depanmu. Mungkin sudah waktunya kau menutup pintu itu, Nak.”
Gideon terdiam lama.
Pandangan matanya jatuh ke luar jendela, ke arah langit yang terang, terlalu terang untuk matanya yang baru sembuh.
Namun di balik cahaya itu, hatinya tahu, ada sesuatu yang belum selesai.
“Kalau memang harus ditutup,” gumamnya pelan, “kenapa setiap kali aku membuka mata… dia yang pertama kali muncul?”
Suasana ruang direksi hening.
Hanya detik jam dinding yang terdengar, menandai awal dari bab baru, bukan hanya untuk Sanggana Group, tapi juga untuk hati yang belum sempat pulih.
__
Langit sore Jakarta tampak pucat keemasan.
Dari jendela kaca besar lantai tujuh Klinik Castella Medika, seorang perempuan berdiri sambil menatap jalanan yang mulai macet.
Rambut cokelat kehitamannya diikat rapi, seragam dokternya masih melekat di tubuh rampingnya, dan di dada jas putihnya tertulis nama yang kini dikenal luas:
Dr. Chesna Castella Abram, Sp.N.
Dua tahun lalu, klinik ini diresmikan oleh ayahnya, Miko Abram, ayahnya sendiri, sekaligus sosok ternama yang disegani.
Namun kali ini, bukan nama sang ayah yang dikenal publik, melainkan nama putrinya yang mengharumkan reputasi keluarga lewat dedikasi dan keberanian.
Di usianya yang baru 28 tahun, Chesna menjadi dokter saraf termuda yang mendapatkan lisensi internasional.
Ia menyembuhkan banyak pasien dengan trauma saraf berat, membantu mereka berdiri lagi, melihat lagi, hidup lagi.
Ironisnya, di tengah kesembuhan orang lain, hatinya sendiri tak pernah sembuh.
“Dokter, pasien terakhir sudah selesai. Ini hasil laporan MRI-nya,” ujar Nadia, asisten pribadinya, sambil menyerahkan berkas.
Chesna mengangguk, tersenyum singkat. “Terima kasih, Nad. Kau bisa pulang lebih dulu.”
“Tapi Dokter sendiri?”
“Aku masih mau bereskan beberapa laporan. Aku menyusul nanti.”
Begitu pintu tertutup, keheningan langsung menyelimuti ruangan.
Chesna berjalan ke meja, membuka laptop, tapi pandangannya kosong.
Sudah dua belas tahun sejak nama Gideon Sanggana terakhir kali ia dengar.
Dua belas tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa satu pun penjelasan.
Dulu ia mencari lewat teman, lewat ayahnya, bahkan diam-diam mencoba menelusuri catatan pasien luar negeri.
Namun tak ada satu pun jejak.
Sampai akhirnya, ayahnya sendiri memintanya berhenti.
“Nak,” kata Miko waktu itu, “ada luka yang harus kau biarkan menutup dengan sendirinya. Jangan terus kau buka.”
Tapi luka itu tak pernah benar-benar menutup.
Setiap kali ia menatap pasien yang berjuang memulihkan fungsi saraf, wajah Gideon selalu muncul di benaknya, remaja laki-laki dengan tawa cerah, tangan hangat, dan janji kecil di taman bukit sore.
“Aku akan selalu ada di samping, kamu, Ches.”
Chesna tersenyum pahit.
“Janji itu sudah dua belas tahun tahun lewat, Deon…” bisiknya lirih.
Ia menatap papan nama di pintu ruangan.
Castella Neurology Clinic.
Klinik yang ia mulai bukan sekadar impian, tapi monumen diam untuk seseorang yang dulu kehilangan penglihatannya.
Ia menamai tempat ini “Castella” bukan karena namanya semata, tapi karena kata itu berarti “benteng kecil” tempat seseorang bisa memulihkan diri dari luka.
Telepon di meja tiba-tiba berdering, memecah lamunannya.
Ia mengangkat. “Halo, Klinik Castella.”
“Selamat sore, Dok. Ini dari pihak administrasi jaringan Sanggana Group. Kami ingin menjadwalkan pertemuan terkait proposal kerja sama bidang rehabilitasi saraf.”
Chesna terdiam. Nama itu menyalakan sesuatu di dadanya.
“Sanggana Group…?” ulangnya pelan.
“Ya, Dok. Direktur utama yang baru ingin meninjau langsung kemungkinan kolaborasi dengan klinik independen. Beliau baru kembali ke Indonesia.”
“Siapa nama direktur utamanya?”
“Gideon Sanggana, Dok.”
Waktu seperti berhenti.
Suara di seberang masih bicara, tapi Chesna tak lagi mendengar.
Tangannya bergetar di atas meja. Nafasnya tercekat.
Nama itu…
Nama yang ia dengar lagi setelah dua belas tahun sunyi.
“Dia kembali…?” gumamnya nyaris tak terdengar.
Dari luar, langit mulai memerah.
Dan di balik kaca jendela, pantulan wajah Chesna tampak samar, seperti seseorang yang baru saja mendengar gema masa lalu yang terlalu kuat untuk diabaikan. Tangannya terkepal erat.
__
Bersambung dulu ya... besok lagi.
Ruang rapat utama di lantai 21 Sanggana Group tampak elegan.
Dinding kaca bening dengan pemandangan kota, meja kayu hitam panjang, dan layar besar di ujung ruangan yang menampilkan logo, SANGGANA GROUP × KLINIK CASTELLA MEDIKA
Collaboration Proposal Presentation.
Chesna datang lebih awal.
Ia berdiri di dekat jendela, berusaha mengatur napas.
Jantungnya seperti tak tahu aturan, memukul terlalu keras setiap kali pintu lift berbunyi.
Sampai akhirnya suara itu datang. Langkah berat, mantap, dengan ritme teratur.
Pintu terbuka.
Dan di ambang sana, Gideon Sanggana berdiri.
Ia mengenakan setelan abu tua, dasi gelap, dan tongkat penyanggah di sisi kanan.
Kacamata tipis membingkai wajah yang kini lebih tegas, lebih matang, datar, murung... tapi sorot matanya... sama persis.
Mata yang dulu menatapnya dengan penuh perasaan, kini menatapnya dengan sesuatu yang jauh lebih rumit, rindu yang disembunyikan.
Gideon berhenti beberapa langkah dari meja.
Tatapan mereka bertaut cukup lama untuk membuat udara di ruangan itu menegang.
Keduanya diam, tapi di antara diam itu ada puluhan kalimat yang tak pernah sempat diucapkan.
“dr. Chesna Castella Abram,” suara Gideon akhirnya terdengar, berat tapi bergetar halus.
“Selamat datang di Sanggana Group.”
Chesna mencoba tersenyum. “Terima kasih, Tuan Sanggana.”
Suara profesional, tapi matanya tak bisa membohongi getar halus di dalamnya.
Beberapa staf yang ikut rapat menatap bergantian, merasa suasana aneh tapi tak paham apa.
Mereka tak tahu bahwa di depan mereka bukan sekadar dua profesional yang hendak bekerja sama, tapi dua hati yang pernah saling menyimpan rasa, lalu sama-sama patah oleh waktu yang begitu lama.
Presentasi dimulai.
Chesna menjelaskan proposal pengembangan pusat rehabilitasi saraf.
Bahasanya tenang, tegas, dan elegan. Tapi setiap kali Gideon menatapnya, pikirannya buyar sejenak.
Tangan yang dulu pernah ia genggam di taman bukut saat malam hari itu, kini menekan pointer dengan percaya diri. Gideon memperhatikan setiap kata, tapi pikirannya sama kalutnya.
Ia tak lagi melihat diagram dan angka, ia hanya melihat perempuan yang dulu sangat ia sukai, perempuan pertama yang membuatnya jatuh hati dan kini berdiri di hadapannya sebagai seseorang yang jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan.
“Konsep ini berfokus pada pemulihan saraf pasien dengan trauma ekstrem,” kata Chesna sambil menatap layar. “Termasuk kasus paraplegia dan kehilangan penglihatan pascakecelakaan.”
Gideon menunduk sedikit, topik itu terlalu dekat dengan masa lalunya. Namun ketika Chesna melanjutkan, tanpa sadar ia menatapnya lama dan suara lembut itu menusuk jauh ke dalam dada.
Begitu presentasi selesai, ruangan hening sejenak. Semua mata beralih pada Gideon, menunggu tanggapannya.
Ia menegakkan tubuh, suaranya tenang tapi dalam. “Kerja samanya menarik. Tapi aku ingin memastikan… semua prosedur dijalankan dengan pengawasan langsung dari pihak klinik. Khususnya oleh… Dokter Chesna sendiri.”
Beberapa staf tampak saling berpandangan.
“Langsung oleh saya?” tanya Chesna hati-hati.
Gideon menatapnya, bibirnya menahan senyum samar. “Aku percaya, tak ada yang lebih memahami hal ini… selain kau sendiri.”
Kalimat itu seperti hantaman lembut yang membelah keheningan.
Chesna terdiam. Ia menatapnya, mata itu, suara itu, semuanya kembali dalam satu kedipan waktu.
Tapi sebelum ia sempat membalas, Gideon berdiri.
“Pertemuan selesai. Terima kasih, Dokter.”
Ia berbalik perlahan, langkahnya mantap meski bertumpu pada tongkat.
Dan tepat sebelum keluar dari ruangan, ia menoleh sedikit, senyum nyaris tak terlihat di sudut bibirnya.
“Senang akhirnya bisa melihatmu lagi, Ches.”
Pintu tertutup.
Ruangan itu kembali hening.
Namun bagi Chesna, jantungnya masih berdetak secepat tadi, karena dua belas tahun penantiannya, barusan berakhir dalam satu tatapan.
Malam sudah turun, langit kota J kelabu dengan sisa rintik hujan.
Ketika Chesna melangkah masuk ke rumah besar keluarga Abram, seisi rumah langsung tahu ada sesuatu yang berbeda darinya malam itu.
Bukan lelah, bukan marah.
Tapi ada sesuatu di balik matanya… campuran antara terkejut, haru, dan sesuatu yang sudah lama coba ia kubur.
“Selamat malam, Dokter Hebat!” seru Lila, adik bungsunya, dari ruang tengah sambil menonton drama Korea. “Tumben banget pulang nggak tengah malam. Klinik kebakaran, ya?”
Chesna hanya menaruh tas, tidak membalas gurauan itu.
Tatapannya kosong sejenak sebelum akhirnya duduk di sofa.
Melihat itu, Lila langsung menghentikan drama di TV-nya.
“Eh, Kak, kamu kenapa? Dari tadi diem banget. Mukamu kayak abis lihat masa lalu.”
Belum sempat Chesna menjawab, Miko muncul dari arah dapur, membawa cangkir teh hangat.
“Kalau kamu mulai diam, itu artinya ada sesuatu,” katanya tenang.
“Cerita, Nak. Apa yang terjadi di klinik hari ini?”
Chesna menatap ayahnya lama. Lalu, dengan nada pelan tapi mantap, ia berkata,
“Dia kembali, Pah.”
Lila langsung duduk tegak. “Dia? Siapa? Jangan bilang-”
“Gideon.”
Keheningan langsung turun.
Lila membulatkan mata. Ayahnya menatap lekat, memastikan ia tidak salah dengar.
“Gideon Sanggana?” tanya Miko pelan.
Chesna mengangguk.
“Ya, Yah. Gideon… teman yang papa bilang sudah seharusnya kulupakan. Aku ada rapat kerjasama dengan Sanggana Grup hari ini dan-” suara Chesna melemah,
“-dia melihatku, Pa. Dengan matanya sendiri.”
Ayahnya menatapnya lama. Lalu menarik napas panjang. “Jadi penglihatannya kembali?”
“Ya. Dan dia bisa berjalan, walaupun dengan tongkat penyanggah.”
Lila menatap kakaknya seperti tak percaya. “Astaga… berarti dia sembuh? Setelah dua belas tahun?!”
“Dua belas,” sahut Chesna lirih. “Dua belas tahun dia berjuang. Dua belas tahun aku menunggu kabarnya, tanpa tahu apakah dia masih hidup, apakah dia masih ingat aku.”
Lila menggigit bibir, sementara Miko menaruh cangkir tehnya di meja.
“Dan sekarang, setelah semua tahun itu berlalu, dia kembali tepat di depan kakak.”
Chesna mengangguk perlahan. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Papa tahu… aku sudah mencoba melupakan, tapi aku nggak bisa. Setiap pasien yang datang dengan luka saraf berat, setiap kali aku meneliti sistem regenerasi saraf aku selalu ingat dia. Aku jadi dokter saraf bukan karena cita-cita, tapi karena rasa bersalah. Aku cuma ingin suatu hari nanti, kalau aku bisa menyembuhkan orang lain… aku mungkin bisa menebus kesalahanku ke Deon.”
Miko terdiam. Tatapan matanya melembut, tapi juga penuh iba.
“Chesna…”
“Tapi hari ini, Pah… aku sadar. Aku nggak gagal. Dia sembuh. Tapi... bahakan tidak menanyakan kabarku.”
Chesna menunduk, suaranya bergetar.
“Dia berhasil. Dia kuat . Dan itu… entah kenapa, malah bikin dadaku sesak.”
Lila yang dari tadi diam akhirnya memeluk bahu kakaknya.
“Kak… mungkin dia butuh waktu.”
Chesna tersenyum tipis, tapi air matanya makin deras.
“Kalau begitu, aku mau percaya sekali lagi, Lil.
Mungkin… Tuhan ngasih aku kesempatan kedua. Entah untuk menutup luka, atau justru membukanya kembali.”
Dr. Miko menatap putrinya dalam-dalam.
“Kesempatan, Nak, tidak selalu datang dua kali. Tapi kalau datang, jangan biarkan rasa takut membuatmu buta lagi.”
Chesna menghapus air matanya, mencoba tersenyum.
“Yah… aku nggak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Tapi jujur, aku pengen dia tahu kalau aku selama ini menunggu dia.”
Lila menatapnya dengan wajah campur antara haru dan tak sabar.
“Berarti kakak jatuh cinta.”
Chesna menatapnya.
“Dulu, dia ngejar-ngejar aku Lil. Dia perhatian tiap hari selalu ada buat aku. Tapi liat sekarang-”
Hening sesaat.
Lila akhirnya berkata pelan, “Kak, aku rasa kakak harus nemuin dia lagi. Bukan sebagai dokter, tapi sebagai Chesna yang dulu.”
Chesna menarik napas panjang, lalu berdiri.
“Aku lega dia sudah kembali. Tapi aku gak akan membahas perasaan dengannya. Cukup melihat dia bisa berdiri aja sudah cukup. Lagi pula sudah dua belas tahun. Tidak mungkin perasaannya masih sama. Biarlah, tak apa.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!