Hening.
Suara sendok dan mangkuk di warung itu berhenti ketika Wang Lin perlahan menurunkan mangkuk supnya. Matanya menatap lurus ke arah sosok berkerudung hitam yang tak mengalihkan pandangannya.
“Dia menatapku sejak tadi,” gumamnya pelan. “Tapi kenapa… rasanya seperti dia mengenaliku?”
Sebelum ia sempat bergerak, sosok itu tiba-tiba menghilang di antara kerumunan. Naluri lamanya sebagai Dewa Asura langsung aktif. Ia meletakkan uang koin di meja dan berjalan keluar.
“Hei! Supnya belum habis!” seru wanita pemilik warung.
“Nanti saya akan memakannya kembali, kalau saya masih hidup,” balas Wang Lin cepat sambil tersenyum tipis.
Langkahnya ringan, tapi setiap gerak penuh kewaspadaan. Di lorong-lorong sempit kota kecil itu, bayangan hitam bergerak cepat, nyaris tanpa suara.
Wang Lin mengikutinya sampai ke ujung gang buntu.
Angin berhembus dingin, membawa aroma darah samar. Lalu, sosok itu muncul dari balik tembok.
“Kau akhirnya bereinkarnasi juga,” suara berat itu bergema.
“Ternyata kabar itu benar… Jiwa Asura masih belum benar-benar musnah.”
Wang Lin terdiam, pupil matanya menyempit.
“Kau… siapa?”
Sosok itu menurunkan tudung kepalanya, wajahnya pucat, dengan tato bercahaya biru di lehernya.
“Aku… utusan Kuil Langit. Tugas kami adalah memastikan roh kegelapan seperti kau tidak hidup lagi.”
“Utusan, ya?” Wang Lin menatap tajam.
“Berarti muridku masih hidup kalau kalian tahu tentang reinkarnasiku.”
Utusan itu menegang.
“Muridmu? Ah… maksudmu Rayan, sang Dewa Cahaya baru? Dia kini penguasa dunia para Dewa. Tak heran jiwamu diburu.”
Wang Lin menunduk, lalu tersenyum pahit.
“Rayan… rupanya kau benar-benar ingin menghapusku sampai ke dunia fana.”
Utusan itu mengangkat tangannya, mantra bercahaya biru muncul di udara.
“Jangan salahkan aku. Aku hanya menjalankan perintah.”
Cahaya sihir meledak ke arah Wang Lin. Tapi, alih-alih menghindar, Wang Lin menatap serangan itu dengan tenang lalu mengangkat tangannya. Tangan yang lemah, tanpa kekuatan. Namun dari ujung jarinya, muncul percikan merah kecil seperti nyala api purba.
“Api Dewa Asura…” desisnya lirih. “Masih ada…”
Percikan kecil itu meledak pelan, menahan serangan sihir biru. Udara di sekitar mereka bergetar. Wajah utusan itu membeku tak percaya.
“Tidak mungkin! Tubuh manusia biasa tidak mungkin bisa menahan sihir tingkat tinggi!”
Wang Lin tersenyum.
“Aku mungkin bukan Dewa lagi. Tapi aku masih punya kehendak yang bahkan surga tak bisa menghancurkannya.”
Dengan satu langkah, ia mendekat. Gerakannya cepat, terlalu cepat untuk manusia biasa. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di depan utusan itu dan menepuk bahunya. Tubuh utusan terpental ke belakang, menabrak dinding dan pingsan seketika.
Wang Lin menatap tangan kanannya yang kini bergetar.
“Masih lemah…” katanya pelan.
“Kekuatan ini hanya sisa kecil dari api lamaku. Aku harus segera mencari cara untuk bangkit lagi.”
Ia berbalik, menatap langit senja di atas kota.
Awan oranye membentang, dan di antara warna itu, entah kenapa Wang Lin merasa… damai.
“Dunia baru, tubuh baru, awal yang baru.”
“Tapi dendam ini… akan tetap sama.”
Ia melangkah pergi meninggalkan gang, sementara bayangan mata tak terlihat mengawasinya dari atap bangunan.
“Target telah ditemukan,” bisik suara perempuan pelan. “Jiwa Asura telah bereinkarnasi.”
...****************...
Malam pun turun perlahan. Di penginapan kecil dekat pasar, Wang Lin menatap langit dari jendela. Ia masih belum tidur, pikirannya melayang pada satu nama yang terus terngiang.
“Rayan… aku akan datang. Tapi kali ini, bukan sebagai Dewa, melainkan sebagai manusia yang akan menumbangkan surga.”
Senyumnya tipis, tapi matanya menyala seperti bara yang tak padam.
Fajar menyingkap kabut malam perlahan.
Di penginapan kecil itu, Wang Lin duduk di depan meja kayu, menatap semangkuk bubur yang mulai dingin.
“Aku dulu makan emas dan madu surgawi,” gumamnya,
“sekarang bubur asin pun terasa mewah.”
Ia menyendok perlahan, lalu menghela napas kecil.
Di balik jendela, matahari mulai naik, dan kota kecil itu kembali hidup dengan suara pedagang yang berteriak riuh. Namun Wang Lin tahu kedamaian seperti ini hanyalah lapisan tipis sebelum kekacauan.
Tiba-tiba, ketukan terdengar di pintu.
Tok... tok...
“Masuk saja.” jawabnya
Pintu terbuka, menampilkan sosok remaja laki-laki berambut coklat kusut dan wajah polos.
“Kau orang baru, ya? Pemilik penginapan menyuruhku membantu membawakan air mandi.”
Wang Lin mengangguk singkat. Tapi tatapannya menajam, terlalu cepat untuk disadari orang biasa.
Gerak remaja itu sedikit aneh: langkahnya terlalu ringan, napasnya teratur seperti prajurit terlatih.
“Letakkan saja di sana,” katanya santai.
Remaja itu meletakkan ember, lalu tiba-tiba melangkah cepat ke belakang Wang Lin. Dalam sekejap, belati tipis berkilat di tangannya!
Namun Wang Lin hanya menunduk sedikit, membiarkan bilah itu lewat di atas bahunya.
Tangannya bergerak cepat, menahan pergelangan si penyerang, lalu memutar tubuhnya. Dalam satu gerakan halus, belati itu sudah berpindah ke tangannya sendiri.
“Kau datang terlalu pagi untuk membunuh orang,” ucapnya datar.
“Siapa yang menyuruhmu?”
Remaja itu menggertakkan gigi, tapi Wang Lin menatapnya tenang. Tatapan yang sama seperti ribuan tahun lalu ketika ia menghadapi pasukan para Dewa.
“Kau takkan bicara, ya?” Wang Lin mendesah pelan.
“Baiklah. Aku tidak suka menyiksa manusia. Tapi ingat ini”
“Jika kau datang lagi dengan niat yang sama, bahkan langit pun tak akan sempat menangis untukmu.”
Ia melepaskan genggamannya. Remaja itu terjatuh, lalu kabur lewat jendela secepat kilat.
Wang Lin menatap belati yang tertinggal di tangannya. Bilahnya hitam pekat, dengan ukiran simbol asing di gagangnya.
“Mantra penyegel roh…” gumamnya pelan.
“Jadi mereka sudah tahu aku di sini.”
Ia menaruh belati di meja, lalu menatap bayangan dirinya di air dalam ember.
“Rayan, seberapa takut kau padaku sampai kau mengirim pembunuh ke dunia fana?”
Menjelang sore, Wang Lin berjalan di jalanan pasar yang padat. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia biasa. Setiap langkahnya diiringi suara pedagang yang menawarkan barang, anak-anak berlari, dan aroma roti panggang dari kedai pinggir jalan.
“Mungkin aku memang harus belajar hidup seperti ini dulu,” gumamnya.
“Dendam besar pun butuh waktu.”
Ia berhenti di depan kios batu roh. Batu-batu itu bersinar lemah, tapi di matanya setiap serpihan cahaya punya potensi kekuatan.
"Berapa harga yang ini?”
“Dua koin tembaga,” jawab si penjual.
“Tapi hati-hati, kebanyakan cuma batu biasa.”
Wang Lin tersenyum samar. Ia mengambil satu batu, menutup matanya sejenak. Dalam sekejap, batu itu memancarkan kilatan merah halus, membuat penjualnya terbelalak.
“Itu… itu batu tingkat roh rendah! Bagaimana bisa kau”
“Hanya keberuntungan,” potong Wang Lin tenang, sambil meletakkan dua koin di meja.
Ia melangkah pergi, menyelipkan batu itu ke dalam saku. Namun dari kejauhan, dua sosok berjubah hitam memperhatikannya.
“Itu dia,” bisik salah satunya. “Energi Asura terdeteksi.”
“Tunggu perintah Tuan. Kita tak boleh gegabah. Tubuhnya masih manusia.”
...****************...
Malam kembali datang. Wang Lin duduk di tepi sungai, menatap permukaan air yang memantulkan cahaya bulan. Ia membuka telapak tangannya, batu roh itu kini berdenyut pelan, seolah merespons jiwanya.
“Masih bisa kurasakan… nyala kecil dari dalamnya,” ucapnya lembut.
“Seolah api lama belum padam.”
Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam.
Cahaya merah samar mulai muncul di sekelilingnya, kecil, namun tetap stabil. Udara di sekitar bergetar halus.
“Jadi begini rasanya, memulai semuanya dari nol...”
“hmmm Tidak buruk.”
Namun sebelum ia bisa melanjutkan meditasi, suara lembut memecah keheningan.
“Kau main api malam-malam? Tak takut sungainya mendidih?”
Wang Lin membuka mata. Di depannya berdiri seorang gadis berambut pendek dengan tas batu roh di pinggan, matanya cerah, senyumnya jahil.
“Kau siapa?”
“Namaku Mei. Aku lihat dari tadi kau duduk sendirian, kayak patung. Jadi kupikir… mungkin kau kesepian.”
Wang Lin terdiam sejenak, lalu tersenyum samar.
“Kesepian? Mungkin.”
“Heh, kau aneh,” katanya sambil duduk di sebelahnya.
“Tapi aku suka orang aneh.”
Wang Lin hanya tertawa kecil.
Untuk pertama kalinya sejak ribuan tahun, tawa itu terdengar tulus. Namun di balik senyum tenang mereka, di kegelapan pepohonan, dua pasang mata merah menyala sedang mengawasi mereka berdua.
“Target telah berinteraksi dengan manusia lokal,” bisik salah satu bayangan.
“Kita laporkan pada Tuan. Saatnya perburuan dimulai.”
Cahaya bulan memantul di permukaan air, dan angin malam membawa bisikan lembut. Wang Lin menatap langit, lalu berkata pelan,
“Rayan, kau punya banyak pengikut rupanya.”
“Baiklah… kirim saja semuanya.”
Matanya menyala merah samar, dan api tipis muncul di ujung jarinya.
“Aku akan bakar mereka satu per satu… sampai kau sendiri yang turun dari langit.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Nanik S
Bakar saja pengikut Royan
2025-10-20
0