PENCURI

"Loh, Bu. Kemarin bukannya sudah ambil uang. Putri ibu ambil sekitar jam 10an. Ambil 5 juta," ucap Pak Satpam yang memang kenal ibu, dan memang biasa ibu diantar si bungsu untuk ambil uang, karena Nou bekerja dan pulang sore.

"Loh iya kah, Pak?" tanya ibu tak percaya. Beliau tidak menyuruh Iiin ambil uang, toh kalau ambil uang di ATM selalu sama beliau.

Daripada urusannya panjang, ibu pun pulang saja. Menunggu Iin pulang kuliah, biasanya jam 2 si bungsu sudah di rumah. Selama perjalanan pulang, ibu terus berpikir dibuat apa uang sebanyak itu. Beli baju buat kuliah juga enggak, bajunya masih itu-itu aja. Sepatu dan tas juga masih pemberian Nou, soal penampilan Iin masih dalam kondisi normal. Lalu uang sebanyak itu dibuat apa? Ibu berniat tidak bicara pada Nou, bisa gempar kalau sampai di telinga si sulung.

Tepat jam 2, si bungsu datang. Ya seperti biasa mengeluh capek kuliah, dan tunggu ibu melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Ponsel, ibu baru sadar kalau ponsel Iin ganti. Biasanya soft case warnanya biru dan bulatan kameranya ada 2, sekarang bulatan kamera ada empat. "Kemarin kamu ke bank?" tanya ibu soft spoken sekali. Sedangkan si bungsu rebahan sembari membuka jilbab dan segera menyalakan kipas angin.

"Bank mana?" tanya Iin cuek pada sang ibu.

"Banknya ibu lah, ambil ATM 5 juta!" ucap beliau sembari melihat ekspresi kaget si bungsu.

"Ibu tahu dari mana?" tanya Iin kaget dan langsung duduk menatap sang ibu.

"Buat apa uang sebanyak itu?" Iin hanya meneguk ludahnya kasar, dan mengangkat ponselnya.

"Aku malu punya ponsel yang layarnya kecil, anak kelasku sudah pakai apel krowak," ujarnya sembari menunduk malu.

"Pantas, Mbakmu marah sama kamu. Kamu suka bohong begini, coba kamu bilang ke ibu, bakal ibu kasih juga."

"Ibu nanti pasti tanya ini itu. Ibu gak tahu betapa pentingnya punya ponsel bagus, ibu selalu bilang yang penting masih bisa dipakai telepon dan wa sudah cukup, tapi enggak buat anak kuliah, Bu!" Iin masih ngotot, ibu hanya menghela nafas berat. Tak memperpanjang pengambilan uang itu lagi.

Nou sebenarnya tak mau tahu urusan sang adik, memang gaya hidupnya yang tinggi dan tak mau kerja keras, dan pasti urusan hutang nanti diback up ibu. Nou diam saja, tak mengungkit soal bayar hutan pinjol, lebih baik diam agar Iin bisa berpikir untuk menyelesaikan masalah.

Kemarahan Nou muncul saat ia pulang dari musholla selepas sholat maghrib. Berjalan beriringan dengan sepupunya yang seusia Iin, hanya saja dia memilih kerja, dan tidak kuliah.

"Mbak Nou gak tahu kalau ponsel Mbak Iin baru?" tanya Erin, dan Nou menggeleng. Ia tak memperhatikan ponsel sang adik, ya buat apa. Nou tak sekepo itu, meneliti barang kepunyaan Iin. Setahu dia sang adik sudah dibelikan ponsel sebelum bapak meninggal setahun yang lalu. Masa' iya ganti?

"Katanya harga 4 juta 3 ratus begitu," tambah Erin lagi. Memang seperti biasa, Iin akan menceritakan kepunyaannya ke tetangga atau sepupu lain, tapi tidak ke Nou atau ibu. Bahkan status wa saja disembunyikan dari Nou. Sinting emang.

Apa mungkin uang pinjol? Batin Nou menebak.

"Katanya dibelikan budhe kok, Mbak No'. Masa' budhe gak cerita?" ya memang sebagai anak pertama, Nou selalu dijadikan tempat diskusi oleh sang ibu, terutama dalam pengambilan keputusan.

Nou rasanya gergetan pada si bungsu itu. Kenapa sih haus validasi banget? Kalau memang gak punya, bilang aja gak punya. Kalau memang punya bilang saja punya. Hidup apa adanya itu lebih nyaman daripada penuh pencitraan. Seperti kejadian begini, Nou yakin dia beli ponsel hanya untuk gengsi, bukan mengutamakan fungsi. Anak remaja belum tahu susahnya cari uang malah pintar hutang. Menyebalkan sekali si Iin itu.

"Ponsel kamu baru?" tanya Nou saat mereka makan malam bersama. Iin mengambil nasi saja, mengabaikan pertanyaan sang kakak. Nou sudah muak dengan tingkah sang adik. Sok kaya tapi sikapnya sangat norak.

"Kalau ada orang tanya itu dijawab! Punya mulut kan?" sentak Nou kesal, dan Iin masih saja diam.

Ibu kemudian melerai Nou untuk tidak meneruskan perdebatan di depan makanan. Selera makan malam hilang, Nou ingin meluruskan sang adik biar sedikit pintar. "Kata Erin ibu yang belikan?" sekarang Nou menatap sang ibu. Sikap tegas Nou ini dilakukan agar Iin segera bersikap dewasa. Tahu keadaan orang tua, mulai belajar bergantung pada diri sendiri dan tak mengandalkan uang ibu saja kalau shopping.

"Iya!"

"Hampir 5 juta."

"Harusnya tanpa dibelikan ibu bisa dong, ya. Pakai uang pinjol," sindir Nou lagi. Dia diomelin begini saja bisa luput, apalagi kalau dibiarkan makin menjadi saja.

Kalau menyinggung pinjol, Ibu tak berani membela Iin lagi. Beliau sudah tahu efek buruk pinjol, bunga bisa bertambah sampai mencekik leher, dan bisa saja Iin menggadaikan sertifikat rumah untuk membayar cicilan tersebut. Sangat mungkin dalam kondisi kepepet.

"Sekali saja Mbak diam, gak usah urus hidup aku bisa gak sih," sewot Iin tak terima selalu menjadi topik bahasan ibu dan kakaknya itu. Bahkan suaranya bergetar. Nou hanya tersenyum sinis. Setelah ketahuan pinjol, beli ponsel, baru disentak begitu saja menangis. Drama sekali jadi perempuan.

"Selagi aku masih tinggal di sini, aku punya kewajiban buat ingetin kamu. Biar jadi orang yang benar. Kuliah serius, masa' iya mau empat tahun kuliah, gak pernah dapat beasiswa malah punya pinjol."

"Sudah, No'!"

"Ibu juga begitu. Anak gak benar begini masih saja dibela. Sudah hutang pinjol, minta dibelikan ponsel ibu juga turuti. Nou, kerja banting tulang. Kuliah jungkir balik berpikir gimana agar kuliah tanpa merepotkan orang tua, malah gak pernah ibu bela. Selalu saja Iin yang dibela. Tindakan salahnya tak pernah ibu tegur, mau jadi apa dia kayak gitu?"

"Kamu juga jangan sok baik, Mbak. Menyudutkan aku terus-terusan soal pinjol. Aku bayar aku bayar, gak minta uang kamu atau ibu!" ucap Iin percaya diri sekali.

"Oke kita lihat sejauh mana kamu berusaha menutup hutang itu, asal kamu tahu orang yang sudah berani hutang, maka dia akan punya mental hutang terus. Gali lubang tutup lubang, ya kalau dibuat usaha, lah ini buat gaya hidup doang. Otak sempit hutang melilit," ujar Nou sudah diambang batas kesabaran menghadapi tingkah sang adik.

Nou jadi berpikir, dulu saat hamil Iin, sang ibu ngidam apa sampai keluarin anak yang menyebalkan begini. Andai saja Nou lepas kendali, wajah sang adik sudah dicakar dan mulutnya ditabok. "Biar tahu rasa, jangan sampai menyesal mengabaikan omongan sulung," batin Nou kesal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!