04. Dunia terlalu sempit? Atau jodoh semakin mendekat?

“Ethan, Mommy kan udah bilang jangan...”

Dia menoleh pada Arvino dan membungkuk sopan.

“Maaf, Tuan. Anak saya memang agak aktif. Saya mohon maaf kalau dia membuat Anda tidak nyaman.”

Arvino menatapnya, bingung antara terkejut dan kagum. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya justru dingin dan tajam.

“Seorang ibu yang baik seharusnya bisa mendidik anaknya untuk tidak memeluk orang asing sembarangan, apalagi memanggil mereka Daddy.”

Kinara yang tadinya masih menunduk langsung mengangkat wajahnya. Tatapannya berubah tajam, seperti pisau yang menusuk balik.

“Maaf?” suaranya meninggi. “Anda baru saja menghina saya?”

Arvino menyilangkan tangan di dada, tak gentar. “Saya hanya menyampaikan fakta.”

Kinara tersenyum tipis, senyum sinis yang berbahaya.

“Kalau pun di dunia ini hanya tersisa Anda seorang laki-laki,” katanya dengan nada tegas, “saya tetap tidak akan menikah dengan Anda, dasar muka tembok kaku!”

Zaki, yang berdiri di belakang Arvino, spontan menunduk sambil menahan tawa keras-keras. Belum pernah, seumur hidupnya, ada yang berani berbicara seperti itu pada Arvino Prasetya.

“Mommy!” seru Ethan tiba-tiba. “Mommy pandai mendidik anak! Aku aja bisa sepintar ini, sejago ini, dan juga tampan!”

Ethan menatap Arvino dengan wajah serius. “Kalau Tuan ragu, bisa coba lihat sendiri.”

“Ethan!” seru Kinara panik, lalu buru-buru menarik tangan anaknya. Dia menerima panggilan telepon dari seseorang dan langsung menegakkan tubuh.

“Baik, saya segera ke luar. Jemputan saya sudah datang,” katanya cepat.

Sebelum benar-benar pergi, Ethan menoleh lagi pada Arvino dan melambai kecil.

“Selamat tinggal, Daddy,” katanya dengan senyum menggoda khas anak cerdas.

Kinara langsung menutup mulut anaknya dengan tangannya dan menyeretnya pelan menjauh. Langkah mereka cepat menghilang di balik kerumunan, meninggalkan Arvino yang masih diam mematung, dengan ekspresi campuran antara bingung dan penasaran.

Zaki menatap bosnya. “Tuan, Anda baik-baik saja?”

Arvino tak menjawab, pandangannya masih terpaku pada arah kepergian Kinara. Sebuah rasa aneh muncul di dadanya, sesuatu yang tak bisa dia jelaskan, perasaan itu tak asing baginya. Beberapa saat kemudian, Zaki memecah keheningan.

“Oh ya, Tuan. Saya baru dapat kabar ... Dokter Zhao sudah tiba di Indonesia. Tapi jadwalnya padat, belum ada yang bisa membuat janji dengannya.”

Arvino mengangguk pelan, masih dengan tatapan kosong.

“Hubungi terus,” katanya akhirnya, suaranya rendah namun penuh tekad.

“Kakek butuh pertolongan segera. Sudah enam tahun … tapi penyakit itu belum juga sembuh.”

Zaki mengangguk dan menatap layar ponselnya, sementara Arvino masih berdiri di tempat yang sama, pikirannya jauh melayang.

Sementara itu, di luar bandara, mobil hitam elegan melaju perlahan membawa Kinara dan Ethan pergi. Kinara menatap putranya lewat kaca spion kecil.

“Ethan Zhao Ying,” katanya lirih, “kamu bikin Mommy malu setengah mati.”

Tapi bocah itu hanya tersenyum lebar.

“Tapi Mommy lihat sendiri kan? Daddy ganteng banget! Dia sangat cocok jadi Daddy aku dan suami Mommy!”

Kinara menghela napas panjang sambil menatap ke luar jendela. Dia tidak tahu kalau pria yang baru saja ditemuinya dan yang dipanggil “Daddy” oleh anaknya adalah lelaki yang sama, enam tahun lalu, yang telah mengubah hidupnya selamanya.

Angin sore berhembus lembut menyapu deretan pepohonan yang berdiri rapi di area perbukitan elit tempat deretan vila keluarga konglomerat berdiri. Sebuah mobil hitam berhenti di depan salah satu vila megah bergaya perpaduan klasik Eropa dan sentuhan oriental. Gerbang otomatis terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas dengan taman bunga yang tertata rapi dan kolam kecil yang memantulkan cahaya jingga matahari sore. Dari dalam mobil, Kinara Zhao Ying turun dengan langkah anggun namun tertegun.

Tangannya menggenggam erat jemari mungil putranya, Ethan, yang matanya membulat takjub menatap bangunan megah di hadapan mereka.

“Mommy, ini rumah kita?” serunya antusias. Suaranya yang riang menggema di halaman luas itu.

Kinara tersenyum tipis, menatap megahnya bangunan berlantai dua dengan ukiran naga dan burung phoenix di pilar-pilarnya.

“Ya, Sayang. Ini rumah keluarga kita di Indonesia. Oma yang menyiapkannya,” jawabnya lembut.

Ethan berputar sekali di tempat, wajahnya berseri-seri. “Mommy, ini kayak istana! Kita bisa main petak umpet di sini tiap hari!”

Kinara tertawa kecil, “kamu berlebihan, Sayang. Padahal, di Tiongkok rumah Oma lebih besar dari ini."

Tak lama, seorang wanita paruh baya berpakaian rapi keluar dari dalam rumah. Dia menunduk hormat begitu melihat Kinara.

“Selamat datang kembali, Nona Besar Kinara. Saya Lany, pengurus rumah ini sejak keluarga Zhao terakhir tinggal di Indonesia. Madame Zhao Mei Lin, sudah memberi tahu saya bahwa Anda akan datang. Semuanya sudah disiapkan.”

Kinara menatap wanita itu ramah, meski sorot matanya masih memancarkan aura tegas.

“Terima kasih, Bu Lany. Anda sudah repot-repot menyiapkan semuanya.”

“Tidak apa, Nona,” jawab Lany cepat. “Ini sudah menjadi tanggung jawab saya sejak dulu. Mari, biar saya bantu membawa koper Anda.”

Kinara mengangguk sopan dan menyerahkan koper besar di sampingnya. Sementara itu, Ethan yang sudah tak sabar langsung berlari masuk ke dalam rumah.

“Mommy! Ada kolam ikan! Dan piano besar! Mommy, ini luar biasa!”

Kinara hanya tersenyum mendengar teriakan itu, lalu melangkah menyusul pelan. Namun baru satu langkah kakinya melewati ambang pintu, suara mesin mobil terdengar berhenti di sebelah vila mereka. Refleks, Kinara menoleh, sebuah mobil hitam elegan, dengan plat yang terlalu familiar berhenti di halaman vila di sampingnya. Dari dalamnya, Arvino Prasetya keluar bersama Zaki.

Pria itu masih mengenakan jas hitam dengan kemeja abu-abu muda, rambutnya rapi, aura elegannya terasa kuat bahkan dari jarak jauh. Kening Kinara berkerut, jemarinya yang memegang gagang pintu berhenti di udara.

“Serius?” gumamnya pelan, nada suaranya seperti menahan kesal. “Dunia ini terlalu sempit sampai-sampai harus jadi tetangga sama pria muka tembok itu?”

Zaki tampak tengah memberi instruksi pada staf vila mereka, sementara Arvino melangkah pelan sambil berbicara lewat ponselnya. Tatapan matanya tanpa sengaja berpapasan dengan mata Kinara yang berdiri di depan pintu vila sebelah.

Kinara segera membuang pandangannya, menarik napas panjang, dan berkata lirih tanpa menatapnya lagi,

“Sudahlah, tidak penting.” Dia lalu melangkah masuk ke rumah, menutup pintu perlahan tapi tegas.

Nada bantingan kecil terdengar, cukup untuk membuat Zaki menoleh heran ke arah suara itu.

Belum sempat ia beranjak masuk, suara ceria dari arah belakang membuat langkah Arvino berhenti.

“Vino!”

Suara itu begitu lembut dan manja dan saat Arvino menoleh, sosok Savira sudah berlari kecil ke arahnya dengan senyum lebar. Gaun putih yang dikenakannya bergoyang ringan tertiup angin, rambutnya yang disemir cokelat keemasan tergerai sempurna, seperti sengaja ditata untuk menyambut seseorang yang ia kagumi. Savira langsung memeluk lengan Arvino erat-erat, matanya berkilat bahagia.

“Akhirnya kamu datang juga! Aku sudah menyiapkan semua makanan kesukaanmu di dalam. Bahkan masakan dari chef yang kamu suka waktu di Paris dulu!” katanya riang.

Zaki yang berdiri di samping hanya bisa menatap dengan ekspresi canggung. Dia tahu betul, Arvino tidak nyaman dengan pelukan atau kedekatan seperti itu, apalagi di depan umum. Arvino tersenyum sopan namun kaku.

“Terima kasih, Savira. Kamu tidak perlu repot-repot. Aku cuma ingin istirahat dan menengok kakek besok pagi.”

“Ah, kamu ini, selalu sibuk,” balas Savira sambil merajuk manja, menempelkan kepalanya di bahu Arvino.

“Kamu tahu nggak, aku kangen banget sama kamu, Vino. Kita sudah dua bulan nggak ketemu!”

Zaki menunduk, berusaha menyembunyikan senyum mirisnya. Sementara itu, Arvino berusaha menjaga ekspresinya tetap netral, menatap lurus ke depan seolah tak terganggu. Namun tanpa sadar, pandangannya sempat kembali melirik ke arah vila sebelah. Sekilas, tirai di jendela lantai dua bergerak, memperlihatkan bayangan samar sosok wanita berambut panjang yang sedang berbicara dengan seorang bocah kecil di dalam rumah.

Bayangan itu cukup membuat dada Arvino bergetar aneh tanpa ia tahu kenapa.

“Vino?” panggil Savira lembut, menyadari pria itu melamun.

Arvino cepat-cepat memalingkan wajah. “Tidak, hanya lelah.”

Savira tersenyum manis, menggandengnya masuk ke dalam vila.

“Kalau begitu ayo makan malam dulu. Aku mau kamu coba menu yang aku pesan khusus buat kamu. Oh ya, nanti malam aku juga mau kasih kejutan kecil,” ucapnya dengan tawa manja.

Sementara pintu vila Arvino tertutup di belakang mereka, angin sore berembus lembut membawa aroma bunga melati dari taman antara dua vila itu.

“Mommy?” suara kecil Ethan memecah lamunannya.

Kinara menoleh, tersenyum tipis. “Ya, Sayang?”

"Aku akan mengatur kencan buta Mommy di sini! Banyak CEO kaya di Indonesia," ujar Ethan, Kinara menghela napas dan mengusap rambut sang anak.

"Kamu persis seperti Oma," kata Kinara dan berlalu pergi.

Terpopuler

Comments

sum mia

sum mia

definisi anak cerdas ibunya orang hebat maka mau dicarikan suami yang hebat pula .
kira-kira gimana ya reaksi mereka , Savira dan Zhao kalau bertemu nanti , secara mereka tetanggaan .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍

2025-10-05

2

ken darsihk

ken darsihk

Mereka tetanggaan dihhh ilfil sama makhluk bernama Savira 😠😠😠

2025-10-05

0

Ddek Aish

Ddek Aish

susah2 hubungi dokter Zhao
padahal tadi udah ketemu dan udah dijelaskan sama Ethan kalau dia anak dokter Zhao masa lupa

2025-10-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!