Bab 2 : Kehidupan sebenarnya

"Sampai jumpa."

Bumi tersenyum manis ke-arah Rania. "Sampai jumpa satu Minggu lagi. Aku pasti akan rindu bertemu denganmu selama satu Minggu ini, bisa jadi aku akan meriang esok hari."

"Sangat berlebihan," Katanya. Tapi meski begitu, Rania tetap tersenyum malu.

"Aku tidak berlebihan—,"

"Sudah sudah! Sana pulang! Nanti semakin larut tidak berani pulang sendiri, lagi. Akan repot jika minta ditemani pulang."

"Kamu pikir aku anak kecil?"

"Ya ya, sudah sana, pulang!" Mengibaskan tangan didepan wajah Bumi. Rania benar-benar mengusir Bumi sekarang.

"Baiklah, aku akan pulang sekarang. Jangan rindu padaku, rindu itu berat, biar aku saja yang menanggung rindu."

"Sepertinya aku pernah mendengar kalimat itu."

"Ya. Aku mendengar kalimat itu saat Laras menonton film diruang tengah bersama teman-temannya kemarin."

Rania tertawa singkat. "Lain kali cari kata-kata yang lebih romantis. Tapi harus kamu yang membuatnya sendiri, jangan membaca atau mendengar gombalan orang lain."

"Dan aku langsung menyerah," Mengangkat ke-dua tangannya ke udara. "Aku tidak akan bisa merangkai kalimat manis untukmu. Yang aku bisa hanya memberikan kepastian dalam bentuk tindakan."

"Ya, terserah, tuan! Lebih baik sekarang pulang dan istirahat."

"Baiklah," Bumi memandang wajah Rania dengan senyuman terpatri dibibirnya. Entah kenapa tidak ada kata bosan menjalani hubungan dengan Rania, malah, Bumi merasa jatuh cinta berulang kali setiap memandang wajah perempuan itu.

Merasa dirinya terus ditatap, Rania membalasnya dengan berani. "Jangan menatapku atau nanti kamu akan jatuh cinta lebih dalam."

"Tidak perlu diperingati, karena memang sudah terjadi. Aku mencintaimu sangat dalam. Jika diibaratkan mungkin seperti hamparan laut, sangat luas dan tidak ada batasnya."

"Lebay dan mulai melantur. Sepertinya kamu mengantuk karena terlalu banyak makan," Sambil memutar bola matanya malas. "Jika kamu tidak mau pergi, maka biar aku yang pergi lebih dulu," Memutar tubuhnya dan langsung meninggalkan mobil Bumi didepan gerbang. Tanpa menolah satu kali lagi, Rania hilang dari pandangan bumi dalam waktu singkat.

Dan benar saja, setelah Rania masuk rumah, mobil yang dikendarai Bumi mulai bergerak menjauh. Rania yang diam-diam mengintip dari balik tirai pun menghela napas lega.

"Mbak—,"

"Astaga!" Rania memegang dada dan memutar tubuhnya ke arah sumber suara. Hal itu benar-benar membuatnya terkejut, karena dia pikir sudah tidak ada orang yang masih terjaga. Beberapa lampu juga sudah dimatikan sebenarnya.

"Kamu baru saja pulang?"

"Iya, Bu."

"Katanya hanya mencari cincin, kenapa sampai malam? Apa tempatnya sangat jauh?"

Belah bibir Rania terkatup rapat begitu menyadari bahwa Mina sedang menyindirnya. "Kami jalan-jalan dulu sebelum pulang, kamu sengaja menghabiskan waktu bersama karena mulai besok kita tidak akan bertemu sampai hari pernikahan."

"Tapi pulang malam bersama pria yang belum menjadi suami akan menjadi omongan tetangga. Kamu tahu itu, 'kan?"

"Kami tidak melakukan apapun selain belanja dan jalan-jalan—,"

"Dikasih tahu menyahuti terus!"

Rania terdiam setelah Mina menyentak keras, ibu nya terlihat sangat emosi, dan Rania tidak tahu kenapa. Apakah ada yang salah? Bukankah Rania dan Bumi sudah terbiasa pulang malam saat menghabiskan waktu bersama? Kali ini Mina terlalu emosional menurutnya.

Memperbaiki letak paper bag ditangan kanan. "Aku ingin ke kamar dan istirahat. Kalau ibu butuh sesuatu, panggil aku saja."

Baru dipijakan kaki ke-dua, Rania menghentikan langkahnya saat suara Mina kembali terdengar.

"Adikmu perlu membeli laptop baru untuk kuliah, laptop yang lama sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi."

"Lalu, apa urusannya denganku?" Bertanya tanpa membalikkan tubuhnya menghadap Mina.

"Tentu saja menjadi urusanmu!"

Tangan dibawah sana mengepal. "Aku tidak mau. Satu Minggu lagi aku akan menikah, tentu uang yang aku kumpulkan selama ini akan aku gunakan untuk biaya pernikahan," Memutar tubuh dan menatap wajah Mina. "Ayah dan ibu saja tidak memikirkan biaya pernikahanku. Jadi, untuk apa aku memikirkan orang lain?"

"Ambar bukan orang lain! Dia adikmu!"

"Jika tidak ada pembahasan lain yang ingin dibicarakan, aku pergi dulu."

Rania kembali memutar tubuh dan mulai melangkah menjauh. Ia biarkan teriakan Mina memenuhi ruang tamu, rasanya tidak akan ada habisnya meladeni Mina, itu akan membuatnya semakin sakit hati dan emosi.

Begitu sampai dikamar, Rania melempar paper bag ke sembarang arah dan dibiarkan teronggok diatas lantai. Kemudian Rania melempar tubuhnya ke atas ranjang, lalu menutup wajah menggunakan ke-dua lengan.

"Sampai sekarang ibu masih saja mementingkan kepentingan Ambar daripada aku. Padahal, aku sudah banyak mengalah dan menuruti keinginan ibu, tapi ibu tetap tidak menyayangiku."

Helaan napas terdengar diheningnya ruang kamar, bersamaan dengan gerakan tangan terkulai diatas kasur, sedangkan sorot matanya menatap langit-langit kamar.

"Apa mungkin aku anak pungut? Tapi tidak mungkin, banyak orang yang bilang kalau aku sangat mirip dengan ibu sewaktu muda. Jadi seratus persen aku adalah anak ibu dan ayah."

Tidak mau ambil pusing, Rania bergerak mengubah posisinya menjadi duduk. Lebih baik ia segera cuci muka dan sikat gigi, besok masih harus bekerja sebelum berpamitan pada pemilik toko bunga.

......................

Hari berganti, diawali dengan Rania yang sedang merias diri didepan cermin. Sebenarnya ia sudah menyelesaikan riasan, hanya tinggal memoleskan lipstik, lalu memakai parfum.

"Hari terakhir kerja," Bibir merah muda itu melengkung membentuk sebuah senyuman diakhir kalimat. Detik selanjutnya, Rania menarik tas selempang miliknya, lalu berjalan keluar kamar untuk sarapan.

Saat Rania turun dilantai satu, ternyata makanan sudah berjajar diatas meja. Ibu, ayah, lalu adik perempuannya juga sudah duduk dan menyantap sarapan dengan tenang.

Rania meletakkan tas selempang dikursi, baru kemudian ia mendudukkan dirinya. Belum lama tangannya terangkat mengambil nasi, suara Anton terdengar menyapa.

"Ayah dengar dari ibu, kamu tidak mau membelikan laptop baru untuk Ambar. Apa benar?"

Tangan kanan Rania berhenti diudara. Detik selanjutnya, Rania kembali menarik tangannya dan menyentuh meja.

"Aku memang tidak mau membelikan dia laptop baru."

Ayah menatap putri sulungnya lamat-lamat. "Kenapa? Ambar sangat membutuhkan laptop itu untuk kuliah, dia akan lulus sebentar lagi."

"Lalu?"

"Maksudmu?"

"Urusannya denganku apa, ayah? Dia yang kuliah, harusnya dia bisa membelinya sendiri tanpa merepotkan aku. Ayah juga masih bekerja, 'kan? Kenapa tidak ayah saja yang membelinya?"

"Apa kakak tidak kasihan pada ayah—,"

"Kalau kamu kasihan, kenapa kamu tidak menabung dari awal kuliah? Apa kamu juga tidak kasihan padaku? Aku bekerja dan tidak diperbolehkan kuliah sepertimu, apa kamu tidak malu menjadi beban? Bisanya hanya meminta dan merengek—,"

"RANIA!"

"Jangan memarahi adikmu!"

Rania tertawa hambar saat mendengar bentakan dari ayah dan ibu bergantian ditujukan padanya. Ya, itu semua mereka lakukan hanya untuk membela Ambar. Bahkan ayah sedang memeluk Ambar sekarang, entah sejak kapan adiknya menangis terisak.

Rania berdecih, lalu beranjak dari duduknya. Tanpa sepatah kata, Rania mulai meninggalkan ruang makan, tak peduli tenggorakan ibunya akan sakit karena terlalu banyak berteriak dipagi hari.

Rania berharap waktu satu Minggu tidak lama lagi, ia sudah tidak betah tinggal dirumah ini, ia ingin segera pergi dan tinggal jauh dari keluarga yang selalu membuatnya sakit.

Terpopuler

Comments

sutiasih kasih

sutiasih kasih

org tua tak adil itu memang sll ada... & benar adanya....
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....

2025-10-25

0

KnuckleBreaker

KnuckleBreaker

Gak bisa berhenti!

2025-10-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!