Sadarlah, Elma

Sore itu, Elma bersiap untuk keluar rumah. Ia sudah mengumpulkan keberanian sejak pagi, membawa catatan kecil peninggalan Dion dengan nama Pak Surya yang tertulis berulang kali di dalamnya. Hari ini ia berniat mencari tahu siapa orang itu, berharap bisa menemukan jejak keberadaan suaminya.

Namun sebelum kakinya melangkah ke luar pintu kontrakan, suara ketukan keras menggema. Elma sedikit terkejut, buru-buru membuka pintu. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat sosok Diana berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.

“Kak? Ada apa, apa Kakak sudah menemukan Dion?” tanya Elma yang terlihat bersemangat.

Diana melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu dengan keras. Ia berjalan mondar-mandir seolah rumah kontrakan sederhana itu adalah miliknya sendiri. Tatapannya tajam, penuh penghakiman pada Elma yang selama ini sangat ia benci.

“Aku datang karena sudah bosan melihatmu terus-terusan sibuk mencari Dion. Sudah cukup, Elma. Berhenti sekarang juga,” ucap Diana dengan nada tinggi.

Elma mengernyit. “Apa maksudmu, Kak? Aku hanya ingin tahu di mana suamiku berada. Aku khawatir, Kak. Sudah hampir dua minggu dia tidak pulang.”

Diana mendengus, lalu menoleh dengan senyum dingin. “Justru itu! Kau harus menghentikan semua usahamu. Dion tidak mau ditemukan. Bahkan dia tidak menginginkan anak yang kau kandung.”

Kalimat itu membuat tubuh Elma gemetar. Ia spontan meraba perutnya yang masih datar. "Tidak, aku tidak mau. Anak ini darah daging Dion! Bagaimana mungkin dia tidak menginginkannya? Kami saling mencintai, kalian tidak bisa memaksaku."

Diana mendekat, menatap Elma dari jarak dekat. “Kau tahu apa? Dion sudah muak denganmu. Dia tidak ingin hidup bersama perempuan miskin yang hanya bisa membebaninya. Dan sekarang, kau malah hamil? Itu hanya memperparah keadaannya. Jadi, dengarkan baik-baik, segera gugurkan anak itu.”

Elma terbelalak, hatinya bergejolak antara marah dan sedih. Dengan suara tegas meski bergetar, ia menjawab, “Tidak, Kak! Sudah berapa kali aku katakan kalau aku tidak akan pernah melakukan itu. Anak ini tidak bersalah. Kalau Kakak memintaku menggugurkannya, itu sama saja kakak memintaku membunuh darah dagingku sendiri.”

Diana tertawa keras, tawanya penuh ejekan. “Kau ini benar-benar bodoh, Elma. Dion sudah bilang sendiri kalau dia tidak mau anak itu. Kau masih saja membela diri. Apa kau pikir kehamilanmu bisa mengikat Dion? Hah? Jangan mimpi!”

Air mata mulai menggenang di mata Elma. Namun rasa penasaran dan kecurigaannya lebih besar. Ia menguatkan hati, menatap Diana dengan tatapan penuh desakan. "Kak, aku yakin kakak tahu di mana Dion berada. Katakan sekarang! Jangan hanya menghinaku tanpa alasan. Aku berhak tahu di mana suamiku berada.”

Alih-alih menjawab, Diana malah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop putih lusuh, lalu ia melemparkannya ke meja kayu di ruang tamu kontrakan itu. “Kalau kau tidak percaya dengan omonganku, baca saja ini. Itu tulisan tangan Dion sendiri.”

Dengan tangan gemetar, Elma mengambil amplop itu. Ia membuka perlahan, menemukan selembar kertas berisi tulisan tangan yang sangat ia kenal, tulisan Dion.

"Elma, jangan cari aku lagi. Aku sudah memutuskan untuk pergi. Aku tidak ingin hidup denganmu lagi, dan aku tidak menginginkan anak yang kau kandung. Jangan terus menyiksaku dengan tangisanmu. Gugurkan kandungan itu sebelum semuanya terlambat."

Mata Elma membesar, air matanya jatuh membasahi kertas itu. Ia menutup mulutnya dengan tangan, seakan tidak percaya dengan apa yang ia baca. “Tidak mungkin… ini tidak mungkin. Dion tidak mungkin menulis ini,” suaranya parau, penuh kepedihan.

Diana menyilangkan tangan di dada, menatap Elma dengan puas. “Sekarang kau sadar, kan? Dion memang sudah tidak peduli lagi padamu. Jadi berhentilah membuang waktu untuk mencarinya.”

Elma menatap Diana dengan mata berkaca-kaca, suaranya lirih tapi penuh permohonan. “Kak, tolong bawa aku bertemu Dion. Sekali saja. Aku ingin mendengar langsung dari mulutnya. Kalau memang dia sudah tidak mau denganku, biar aku yang pergi. Tapi izinkan aku menemuinya….”

Diana mendengus kesal, lalu mendekat cepat. Tanpa aba-aba, tangannya melayang keras ke wajah Elma. Plak! Suara tamparan menggema di ruang sempit itu.

Elma terhuyung, memegang pipinya yang memerah, matanya berkaca-kaca.

“Sadarlah, Elma!” bentak Diana. “Dion sudah meninggalkanmu. Dia tidak mau lagi hidup denganmu, apalagi dengan bayi itu. Jangan sok drama di depan mataku! Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri.”

Elma terdiam, tubuhnya gemetar. Ia ingin melawan, ingin berteriak, tapi rasa sakit di hatinya membuat semua kata-kata menghilang. Air matanya jatuh deras, menetes ke lantai.

Diana memandangnya sejenak dengan tatapan dingin, lalu berbalik. “Ingat, Elma. Kalau kau masih keras kepala mencari Dion, jangan salahkan aku kalau hidupmu akan semakin hancur.”

Tanpa menunggu jawaban, Diana melangkah keluar rumah, menutup pintu dengan keras hingga getarannya terasa di seluruh ruangan kontrakan.

Sunyi kembali menguasai rumah itu. Elma terduduk lemas di lantai, masih memegang surat yang kini basah oleh air matanya. Ia menatap tulisan Dion berulang kali, berharap ada keajaiban bahwa ia salah membaca. Namun setiap huruf jelas menegaskan bahwa suaminya menolak keberadaannya, bahkan menolak anak yang dikandungnya.

Hatinya hancur berkeping-keping. Ingatan tentang saat-saat bersama Dion berputar di kepalanya, senyum hangatnya, janji-janji setia yang pernah diucapkannya, pelukan penuh cinta ketika Elma pertama kali mengabarkan tentang kehamilan. Semua itu kini terasa seperti kebohongan belaka.

“Kenapa, Dion? Kenapa tega kau melakukan ini padaku? Padahal aku mencintaimu dengan sepenuh hati…” bisik Elma sambil menangis tersedu.

Ia memeluk perutnya erat-erat, seakan melindungi janin yang tidak tahu apa-apa dari dunia yang kejam. “Nak, jangan dengarkan kata mereka. Mama tidak akan pernah meninggalkanmu. Mama akan tetap menjagamu, meski Papa tidak mau mengakuimu.”

Tangis Elma pecah semakin keras. Ia merasa terjebak di antara kenyataan pahit dan misteri yang belum terungkap. Ia tidak tahu apakah harus percaya surat itu sepenuhnya, atau justru ada permainan licik di baliknya.

Namun satu hal pasti, tamparan Diana dan surat itu membuatnya sadar bahwa perjalanannya mencari Dion akan semakin sulit. Semua pintu seakan tertutup, dan hanya ia seorang diri yang berjuang.

Malam itu, Elma terbaring di ranjang tipis dengan tubuh menggigil. Ia memandangi surat Dion yang masih tergenggam erat di tangannya. Meski hatinya remuk, ada suara kecil dalam dirinya yang berbisik:

“Jangan menyerah, Elma. Ada sesuatu yang tidak beres. Kau harus menemukan kebenarannya.”

Dan di balik rasa sakit serta air mata, tekad itu mulai tumbuh. Elma tidak akan berhenti, meski dunia berusaha mematahkan semangatnya.

Kecintaannya pada Dion telah menutup mata Elma, bahkan ia menganggap surat itu hanya karangan kakak iparnya yang selama ini tidak menyukai dirinya. Padahal saat itu Elma sadar jika surat itu asli tulisan tangan Dion.

Terpopuler

Comments

Vay

Vay

💜💜💜💜

2025-10-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!