SMA Sinar Abadi
sekolah menengah atas tempat Justin kini menapaki tahun terakhirnya.
Justin berdiri di samping loker lamanya, memegang gitar yang sudah usang namun terawat. Ia adalah magnet alami. Dengan rambut hitam berombak, mata yang teduh seperti milik kakaknya, dan senyum yang jarang ia tunjukkan.
Justin adalah idola tak resmi di SMA Sinar Abadi. Saat ia bersenandung pelan di sudut sepi sekolah, suaranya mengalun merdu, mampu membuat siapa pun yang mendengarnya terdiam.
Namun, di balik popularitasnya, Justin adalah seorang pemuda yang dibebani rasa minder. Ia sadar, ketampanan dan bakat musiknya tidak bisa menutupi fakta bahwa ia tidak memiliki apa-apa.
"Hei, Justin! Lagu apa itu? Kenapa kamu menyanyikan lagu sedih pagi-pagi begini?"
Suara itu milik Ariana.
Ariana adalah adik perempuan Axel yang baru pindah ke sekolah itu. Berbeda dengan kakaknya yang misterius, Ariana adalah gadis yang ceria dan blak-blakan. Ia selalu dikelilingi teman-teman dari keluarga berada, tetapi hatinya justru terpikat pada ketenangan dan suara merdu Justin.
Ariana adalah satu-satunya gadis di sekolah yang tidak pernah membuatnya merasa minder. Ia mendekati Justin bukan dengan pujian tentang penampilan, melainkan tentang musik.
Justin tersentak. Ia segera menurunkan gitarnya. "Ariana. Bukan apa-apa. Hanya... lagu yang baru kudengar."
"Bukan, itu lagu ciptaanmu sendiri, kan? Aku tahu nada-nada itu. Mereka sangat 'kamu'," kata Ariana, menyandarkan diri di loker sebelah Justin. Ia mengenakan hoodie sederhana yang membuatnya tampak bersahaja, meskipun Justin tahu kalung yang melingkari lehernya bernilai setara dengan biaya hidup mereka selama setahun.
Justin merapikan jaketnya yang sedikit lusuh, berusaha mengalihkan perhatian dari pakaiannya. "Lagu itu belum selesai. Aku hanya... mencoba-coba."
"Aku suka. Kamu harus menyelesaikannya," Ariana tersenyum tulus. "Kamu tahu, Ayahku punya studio musik kecil di rumah. Kamu harus ke sana suatu hari nanti. Kamu bisa merekam lagumu dengan peralatan yang layak."
Tawaran itu bagai mimpi yang dihempaskan oleh kenyataan. Justin merasakan panas di pipinya.
"Tidak perlu, Ariana. Terima kasih, tapi aku sibuk belajar untuk ujian. Lagipula, aku tidak bisa meninggalkan Kakakku sendirian di rumah," tolak Justin sopan, tetapi ada nada keras di suaranya.
Ariana mengernyit. "Kenapa begitu serius? Hanya sebentar. Aku hanya ingin mendengarkanmu bernyanyi."
"Aku bilang tidak bisa," ulang Justin, mengambil tas ranselnya yang sudah penuh coretan pulpen. "Aku harus segera pulang setelah sekolah. Kakakku baru masuk kuliah, dan kami hanya tinggal berdua. Aku harus memastikan semuanya baik-baik saja."
Melihat perubahan emosi Justin, Ariana mengerti. Justin selalu membangun dinding saat berhadapan dengan hal-hal yang berbau kemewahan atau bantuan.
"Oke, oke. Maafkan aku," kata Ariana, mengangkat tangannya menyerah. Ia tahu harga diri Justin adalah aset sekaligus penghalang terbesarnya.
Saat Ariana mundur dan berjalan pergi bersama teman-temannya, Justin hanya bisa menghela napas lega dan sedih.
Justin tahu Ariana tulus, dan ketulusan itu membuatnya takut. Ia takut jika ia menerima kebaikan atau bantuan dari Ariana, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia adalah orang miskin yang numpang tenar. Ia tidak ingin cinta atau persahabatan Ariana didasari oleh rasa kasihan.
Ia memeluk gitarnya, melangkah ke ruang kelas. Hati Justin adalah panggung yang penuh melodi indah, tetapi ia menguncinya rapat-rapat, takut cahaya kemewahan Ariana akan mengungkap kelemahan dirinya. Ia tidak sadar, di seberang sana, Ariana menoleh kembali, matanya penuh kekaguman dan tekad—ia tidak akan menyerah pada idola yang tak percaya diri itu.
Sore hari di Kontrakan kecil Aluna dan Justin. Matahari sore menyisakan bayangan panjang, menerangi dapur dan ruang tamu yang menyatu.
Aluna duduk di tepi meja makan, kemejanya sudah diganti dengan kaus rumah yang usang. Ia sedang fokus membersihkan luka lecet di siku kanannya, akibat didorong oleh Alexa pagi tadi. Meskipun lukanya sudah ditutup plester, ia kini menggantinya dengan antiseptik dan plester baru. Ia menggigit bibir, menahan perih.
Terdengar suara pintu dibuka, dan Justin masuk dengan langkah lesu, tas sekolahnya tersampir di bahu. Ia tampak lelah, tetapi matanya langsung tertuju pada Kakaknya.
"Kakak sudah pulang? Kenapa tidak istirahat? Sedang apa?" tanya Justin, meletakkan tasnya di sofa dan mendekat cepat.
"Ah, Justin. Baru saja," Aluna buru-buru menutupi sikunya dengan tangan, tetapi terlambat. "Hanya... hanya mengganti plester. Luka kecil, kok."
Justin meraih tangan Aluna dengan lembut. Ia melihat lecet yang cukup besar di siku kakaknya. "Ini bukan luka kecil, Kak. Kenapa kamu bohong lagi? Ini bukan terbentur di tangga, kan? Ini pasti karena didorong lagi."
Rasa sakit di siku Aluna tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya melihat kekhawatiran adiknya. Ia menghela napas, tak mampu berbohong lagi.
"Oke, iya. Ini karna Alexa dan teman-temannya pagi tadi. Tapi biarlah itu sudah berlalu, Dek. Kakak sekarang baik-baik saja."
Wajah Justin langsung mengeras. Ia tidak perlu bertanya lebih detail. Ia tahu bagaimana jahatnya perlakuan teman-teman sekolah elit kakaknya.
"Kenapa mereka tidak pernah berhenti, Kak? Kita tidak mengganggu siapapun. Mereka tidak akan berhenti sampai Kakak menyerah dari kampus itu, kan?" Suara Justin terdengar penuh amarah dan frustrasi.
"Jangan bicara begitu!" Aluna memegang wajah adiknya dengan kedua tangan, memaksanya menatap. "Kakak tidak akan menyerah. Kakak sudah berjanji pada diri sendiri dan pada Ayah Ibu. Luka ini tidak seberapa dibandingkan dengan mimpi yang akan kita raih."
"Tapi Kakak bisa terluka, Kak! Aku tidak ada di sana untuk menjaga Kakak!" Justin menarik diri, pandangannya meredup. Ia kembali mengingat betapa tidak berdayanya ia karena status mereka.
"Tidak apa apa, semua akan baik baik saja. Kamu percaya kakak kan? " Aluna berusaha menenangkan adiknya
Justin melunak, ia mengangguk namun masih menyimpan kecemasan mendalam di matanya. Ia tidak pernah bisa sepenuhnya tenang selama kakaknya berada di dunia yang keras itu sendirian.
Saat Justin pergi ke kamar mandi, Aluna menyelesaikan plesteran di sikunya. Ia melihat ke luar jendela. Justin, adiknya, adalah satu-satunya alasan ia harus tetap kuat dan berhati-hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments