Beberapa hari kemudian, keputusan Raja Harjaya untuk menjalani tapa brata benar-benar diwujudkan. Pagi itu, halaman istana dipenuhi para prajurit dan abdi dalem yang bersiap mengiringi keberangkatan sang raja menuju hutan larangan, tempat beliau akan memusatkan diri dalam pertapaan. Udara terasa lebih berat dari biasanya, seakan seluruh isi istana ikut menahan napas.
Permaisuri Dyah Kusumawati berdiri anggun di serambi, mengenakan busana kebesaran berwarna biru tua. Wajahnya tetap tenang, namun dalam hatinya berkecamuk berbagai rasa. Ia berusaha tampak kuat, meski sebenarnya ada kegelisahan yang sulit ia sembunyikan.
Sebelum berangkat, Raja Harjaya mendekatinya. “Dinda,” ucapnya dengan suara dalam, “aku titip istana dan segenap keluarga kepadamu. Jagalah mereka seperti engkau menjaga dirimu sendiri.” Dyah Kusumawati menunduk hormat. “Kanda jangan khawatir. Selama kakanda bertapa, hamba akan menjaga keseimbangan di dalam keputren. Semoga kakanda kembali dengan membawa petunjuk yang terang.” Raja Harjaya tersenyum, lalu menepuk lembut punggung tangan permaisurinya. Setelah itu, ia menaiki tandu yang telah disiapkan dan diiringi prajurit pilihan meninggalkan istana. Suara gong dan genderang mengiringi keberangkatan itu, menandai awal masa hening yang akan dijalani kerajaan Samudra Jaya. Ketika rombongan raja sudah tak terlihat, Dyah Kusumawati perlahan menarik napas panjang. Ia tahu, sejak saat itu, beban tanggung jawab di dalam istana ada di pundaknya. Ia kembali melangkah masuk ke keputren, tempat di mana keseimbangan harus benar-benar dijaga. Di dalam keputren, kehidupan tetap berjalan, namun arus di bawahnya mulai bergejolak. Para selir saling berbisik di balik tirai, para dayang kerap melihat gelagat yang tak biasa, dan kabar tentang orang asing yang ditangkap prajurit Aruna semakin sering menjadi bahan perbincangan. Dyah Kusumawati duduk di pendapa kecil, ditemani dua dayang setianya. Pandangannya menerawang jauh. “Apakah kabar terbaru tentang orang asing itu sudah sampai padaku?” tanyanya perlahan.
Salah seorang dayang, Nyi Ratna, membungkukkan badan. “Ampun gusti, orang itu masih ditahan di bawah pengawasan ketat. Ia tetap bungkam, meski sudah berulang kali diinterogasi.” Dyah Kusumawati mengangguk kecil. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di balik kedatangan orang asing itu. Namun untuk saat ini, ia memilih menahan diri. Setiap langkah harus diperhitungkan matang-matang, sebab satu kesalahan kecil bisa memantik bara di antara para bangsawan yang sedang menunggu celah untuk berebut pengaruh.
Malam harinya, ketika keputren mulai hening dan hanya suara serangga yang terdengar, Dyah Kusumawati berjalan sendirian di taman dalam. Bulan purnama menggantung di langit, menyoroti wajahnya yang cantik namun sarat kekhawatiran.
“Semoga kakanda segera mendapat petunjuk,” bisiknya lirih. “Karena tanpa kehadirannya, istana ini bagaikan kapal tanpa nakhoda.” Ia sadar benar, masa pertapaan Raja Harjaya akan menjadi ujian berat bagi semua orang di dalam istana. Dan ia pun tahu, bayang-bayang perebutan kekuasaan sudah mulai bergerak, mengintai dari setiap sudut keputren.
****
Sudah berhari-hari sejak singgasana samudra jaya ditinggalkan rajanya untuk tapa brata, dan sejak hari itu mahapatih Nirmala Wisesa untuk sementara memimpin kerajaan. Laporan-laporan tentang perkembangan kerajaan dilaporkan oleh para mantri dan adipati.
“Lalu bagaimana dengan dua orang penyusup yang telah berhasil dilumpuhkan oleh prajurit Aruna apakah mereka sudah mengaku siapa mereka, bagaimana Tumenggung Wiranegara apakah sudah ada perkembangan?” Tanya mahapatih Nirmala Wisesa.
“Ampun Tuanku, sayangnya hamba masih belum mengetahui alasan kedua penyusup itu karena setiap prajurit kami menanyakan beberapa pertanyaan, mereka selalu saja berkelit seperti pandai bersilat lidah,” jawab Tumenggung Wiranegara. Patih Nirmala Wisesa bersandar di kursinya lalu menghela nafas panjang, wajahnya tampak letih. Udara siang di pendapa istana Samudra Jaya seakan ikut menekan suasana. Para mantri dan adipati duduk berbaris rapi, tapi kebanyakan hanya menunduk, tak berani banyak bersuara.
“Jika kedua penyusup itu terus bungkam,” ujar Patih Nirmala dengan nada berat, “aku khawatir ada tangan yang lebih besar sedang menggerakkan mereka. Dan bila benar demikian, istana ini berada dalam bahaya yang tak kecil.” Matanya menyapu seluruh barisan, berhenti pada sosok Tumenggung Wiranata.
Wiranata duduk dengan tenang, bahkan nyaris terlalu tenang. Tangannya terlipat di pangkuan, wajahnya tegap tanpa raut gelisah sedikit pun. “Ampun, Tuanku Mahapatih,” ucapnya dengan suara mantap, “hamba telah memerintahkan orang-orang hamba untuk berjaga. Segala gerak-gerik bangsawan maupun tamu istana akan segera hamba laporkan. Siapa pun yang mencoba bermain api, pasti akan ketahuan.” Beberapa mantri saling pandang. Kata-kata Wiranata terdengar meyakinkan, tetapi ada nada samar yang tak bisa ditangkap dengan telinga biasa. Tapi bagi tumenggung Wiranegara itu bukan kata-kata yang biasa, ada maksud tersembunyi dalam kata-kata itu. Laki-laki itu mengernyitkan dahinya sambil menatap lekat rekan kerjanya itu, tapi tumenggung Wiranata masih duduk dengan tenang.
Patih Nirmala mengusap janggutnya, menghela napas panjang. “Aku tidak menuduh siapa pun. Namun jangan lupa, rakyat mencintai Gusti Putri Dyah. Bangsawan condong pada Raden Raksa. Bila ada tumenggung yang ikut berpihak, pecahnya Samudra Jaya hanyalah soal waktu.” Keheningan menyeruak. Suara burung perkutut di halaman terdengar begitu jelas. Wiranata menunduk, seakan mengakui betapa beratnya kekhawatiran sang Patih. Tapi dalam suaranya terselip keyakinan yang sulit ditolak. “Tuanku Mahapatih, jangan khawatir berlebihan. Selama prajurit masih setia pada panji kerajaan, siapa pun yang hendak mengguncang tahta tak akan bisa melangkah jauh.” Sorot mata Patih Nirmala menajam, meneliti setiap kata. Ucapan itu bisa berarti kesetiaan, bisa pula ancaman samar. Ia tahu Wiranata adalah tumenggung yang cerdas dan lihai memainkan kata. Namun sebagai pemimpin sidang, ia memilih menahan curiga itu dalam hati. “Semoga kata-katamu setulus yang terdengar, Wiranata. Karena bila tidak, Samudra Jaya sendiri yang akan menuntut balas.”
Tumenggung Wiranata tersenyum tipis, lalu menunduk dalam-dalam. “Hamba hanyalah abdi, Tuanku. Segala yang hamba lakukan demi kejayaan Samudra Jaya.” Tapi di balik kepalanya yang tertunduk, pikirannya berputar. Ia tahu Raden Raksa menunggu laporan. Setiap kalimat yang diucapkannya di pendapa barusan hanyalah topeng. Di luar dinding istana, ada rencana lain yang tengah dipersiapkan. Gamelan kecil ditabuh tanda sidang siang usai. Para mantri bubar perlahan, membisikkan pendapat mereka masing-masing. Patih Nirmala tetap duduk di kursinya, sorot matanya penuh awan keraguan. Sementara Tumenggung Wiranata melangkah keluar dengan langkah mantap, senyum samar masih menempel di bibirnya—senyum yang menyimpan rahasia sekaligus bahaya besar.
Tumenggung Wiranegara menatap tubuh tumenggung Wiranata yang berjalan menjauh, ada maksud yang tak biasa dari setiap kata-kata itu.
“Apa ini kenapa perasaanku jadi khawatir seperti ini?”gumam tumenggung Wiranegara dalam hati.
Tumenggung Wiranegara duduk di serambi pendapa sambil memandang halaman istana yang lengang. Angin sore berhembus pelan, membawa suara-suara samar dari prajurit yang berlatih di alun-alun. Namun pikirannya tak tenang. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa ada sesuatu yang tak wajar bergerak di balik dinding istana.
“Tumenggung tampak gelisah belakangan ini,” ujar seorang mantri muda yang datang menyampaikan laporan rutin. Wiranegara menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. “Bukan gelisah, hanya berhati-hati. Kadang, musuh terbesar justru tersembunyi di balik senyum yang tampak bersahabat.”
Mantri itu terdiam, tak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya menundukkan kepala lalu berpamitan. Setelah mantri itu pergi, Wiranegara memanggil seorang prajurit kepercayaannya.
“Bagaimana kabar dari balairung timur?” tanyanya perlahan.
“Masih sama, Gusti Tumenggung. Tumenggung Wiranata sering kali mengadakan pertemuan kecil dengan beberapa bangsawan muda. Katanya hanya membicarakan urusan tanah dan perdagangan, tetapi... ada yang aneh. Mereka selalu menutup rapat pertemuan itu, bahkan pelayan istana pun tak diizinkan masuk.” Wiranegara mengetukkan jari di lengan kursinya. “Begitulah... sejak dahulu aku mengenal Wiranata sebagai orang yang lihai berbahasa, namun jarang terlihat begitu sibuk dengan urusan kecil semacam itu. Apa ia tiba-tiba berubah? Atau ada maksud yang lebih dalam?” Ia terdiam beberapa lama, lalu bangkit berdiri. Tatapannya tajam menembus jauh ke arah balairung timur, seakan dinding dan tirai tak bisa menghalangi pandangannya.
“Pantaulah terus, tapi jangan sampai ia merasa diawasi. Biarkan ia percaya bahwa geraknya tak terlihat. Kadang seekor ular harus dibiarkan keluar dari lubangnya sebelum kita bisa menangkapnya,” katanya mantap. Prajurit itu mengangguk dalam-dalam lalu bergegas melaksanakan perintah. Sore semakin tua, dan bayangan pendapa mulai memanjang. Wiranegara berjalan perlahan menyusuri lorong istana. Dalam hatinya, ia merasakan kegelisahan yang semakin nyata. Ia tak ingin menuduh tanpa bukti, tetapi nalurinya sebagai seorang panglima sudah terasah puluhan tahun—ada sesuatu yang tengah direncanakan di balik diamnya Wiranata.
“Jika dibiarkan, bara kecil bisa menjelma api besar,” gumamnya lirih. “Dan api itu... bisa membakar Samudra Jaya dari dalam.”
Malam turun perlahan di istana Samudra Jaya. Cahaya lampu minyak berpendar temaram di ruangan dalam balairung kecil, tempat Mahapatih Nirmala Wisesa biasa beristirahat setelah seharian menerima laporan. Tirai tebal menutupi jendela, sementara suara prajurit jaga terdengar jauh di luar. Di sanalah Tumenggung Wiranegara datang dengan langkah hati-hati. Dua pengawal pintu dipandanginya dengan tajam sebelum ia berkata, “Tak seorang pun boleh masuk. Aku ingin bicara dengan Mahapatih seorang diri.”
Para pengawal itu saling pandang sejenak, lalu mengangguk patuh. Pintu pun ditutup rapat, meninggalkan dua orang itu dalam ruang yang hening. Nirmala Wisesa mengangkat wajahnya dari tumpukan naskah laporan. “Tumenggung Wiranegara... malam-malam begini kau datang, tentu ada hal penting.”
Wiranegara duduk tanpa banyak basa-basi. Tatapannya serius, suaranya ditahan rendah seolah takut dinding pun bisa mendengar. “Ampun, Patih Agung. Ada sesuatu yang terus mengusik pikiranku. Tentang salah satu rekan kita sendiri.” Nirmala menyipitkan mata, meletakkan gulungan naskah. “Katakanlah. Aku ingin mendengar.”
“Beberapa hari terakhir, Tumenggung Wiranata terlalu sering mengadakan pertemuan tertutup. Alasannya selalu urusan tanah atau perdagangan, tapi tak ada catatan resmi yang masuk ke meja pemerintahan. Lebih dari itu, ia seperti berhati-hati agar tak seorang pun mengetahui dengan siapa ia berunding.” Hening sejenak menyelimuti ruangan. Nirmala mengetukkan jarinya di meja kayu, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Apakah kau yakin, Wiranegara? Jangan sampai kecurigaan ini hanya lahir dari prasangka. Wiranata adalah salah satu pejabat lama yang dipercaya mendiang raja sebelumnya.”
“Benar, Patih,” jawab Wiranegara pelan, “justru karena itu aku khawatir. Kesetiaan seorang pejabat tua bisa saja goyah bila ada yang menjanjikan kekuasaan lebih. Aku tidak menuduh, hanya... mencium gelagat yang tak wajar.” Nirmala menarik napas panjang. Sorot matanya tegas, namun ada keraguan yang samar. “Kerajaan ini sudah cukup goyah tanpa kehadiran Baginda. Bila benar ada api yang hendak menyala dari dalam, kita harus waspada. Tapi langkah kita pun harus hati-hati. Fitnah bisa sama berbahayanya dengan pengkhianatan.” Wiranegara menundukkan kepala. “Itulah sebabnya aku bicara empat mata. Hanya Paduka yang perlu mengetahui ini dulu. Bila waktunya tiba, bukti akan menyingkap siapa kawan, siapa lawan.” Malam semakin larut, dan kedua tokoh itu terdiam sejenak. Hanya suara api lampu minyak yang berderik pelan, seakan menyimpan rahasia besar yang baru saja terucap.
***
Kegelisahan itu rupanya sampai pada raden Arya, dia meletakkan gulungan naskah yang baru setengah dibacanya. Angin sore yang menerobos jendela paviliun membawa aroma bunga kenanga, namun bagi Arya, harum itu tidak mampu menenangkan pikirannya.
“Apakah Samudra Jaya benar-benar sedang berada di ambang retak?” gumamnya pelan, menatap kosong ke arah halaman istana. Sejak ayahandanya berangkat menjalani tapa brata, ia merasakan kekosongan yang tidak mudah ditutupi. Mahapatih Nirmala Wisesa memang menjalankan tugasnya dengan bijak, namun Arya tahu, bayangan ambisi dan kepentingan pribadi mulai mengitari dinding istana. Seorang abdi tua, Ki Lodra, mendekat dengan langkah hati-hati. “Gusti Arya, apakah ada yang mengusik pikiran paduka?” tanyanya dengan suara rendah. Arya tersenyum tipis, walau wajahnya tetap diliputi resah. “Ki Lodra, kadang hamba merasa, Samudra Jaya ini bagaikan kapal besar yang berlayar di tengah lautan badai. Tiang layarnya kuat, tetapi setiap gelombang datang membawa ancaman baru.” Ki Lodra menunduk hormat. “Paduka bijak dalam membaca keadaan. Namun, kapal tetap butuh nakhoda yang teguh.”
“Benar,” jawab Arya lirih. “Dalam urusan politik dan perundingan, hamba bisa ikut menimbang. Tetapi jika kelak sampai pada medan perang… hamba masih seperti anak yang baru belajar berjalan.” Tatapannya sayu, seolah mengakui kelemahan diri.
Ki Lodra tersenyum bijak. “Setiap ksatria pernah menjadi murid, Gusti. Keberanian bukan hanya soal menghunus senjata, melainkan juga kesediaan belajar meski harus jatuh bangun. Selama hati paduka tulus untuk Samudra Jaya, jalan itu akan terbuka.” Arya termenung, lalu bangkit berdiri. Ia berjalan perlahan ke arah rak senjata tempat tombak pendek dan keris tersimpan. Jemarinya menyentuh gagang tombak itu, dingin namun menyalurkan semacam tekad.
“Ki Lodra,” ujarnya dengan suara mantap, “jika badai benar-benar datang, hamba tidak ingin hanya bersembunyi di balik kata-kata. Hamba ingin berdiri di antara mereka yang membela negeri ini. Meski masih belajar, hamba harus mulai melangkah.” Ki Lodra menunduk lebih dalam, matanya berkaca-kaca karena terharu. “Daulat Gusti, semoga tekad paduka menjadi cahaya yang menerangi jalan Samudra Jaya. Ingatlah, istana ini butuh lebih dari sekadar pedang; ia butuh hati yang tulus.” Raden Arya menarik napas panjang, lalu menatap ke arah langit senja yang perlahan berganti jingga. Dalam keheningan itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: sekalipun bayangan kelam menyelimuti Samudra Jaya, ia akan mencari cara agar cahaya tetap menyala.
***
Esok harinya raden Arya masuk ke dalam balairung menatap singgasana sang ayah yang sudah selama satu pekan kosong ditinggal pemiliknya. Kegundahan hatinya semoga saja tidak terjadi, mimpinya semalam tentang banjir bandang yang menimpa Samudra Jaya semakin membuatnya khawatir. Dia tidak ingin tahta Samudra Jaya berada ditangan yang salah. Ditengah lamunannya ada suara yang mengagetkannya.
“Wah...wah....waaah... Siapa ini, Raden Arya Wijayakusuma. Ada apa gerangan paduka kemari. Jangan katakan jika paduka juga mengincar tahta kerajaan, hah! Bisa apa kutubuku seperti paduka untuk memimpin kerajaan,” kata Raden Raksa memancing emosi Raden Arya.
“Tutup mulutmu Raksa, ayahanda masih hidup. Kau berkata seolah-olah akan mewarisi istana, Samudra Jaya akan hancur ditangan orang sepertimu,” ujar Raden Arya, mendengar kata-kata itu Raden Raksa tertawa. Balairung megah itu terasa dingin meski matahari pagi sudah mulai menyinari halaman istana. Dua sosok muda berdiri saling berhadapan di tengah ruangan yang lengang, hanya diapit oleh tiang-tiang kayu jati berukir yang menjulang kokoh. Raden Arya Wijayakusuma masih berdiri tegak dengan sorot mata tegas, sedangkan Raden Raksa menatapnya dengan senyum menyudut, penuh ejekan.
“Hahahaha… Kangmas Arya terlalu khawatir,” ujar Raksa, suaranya bergema ke seluruh sudut ruangan. “Apa kau pikir Samudra Jaya akan hancur hanya karena aku duduk di singgasana? Kau meremehkanku, padahal aku lah yang paling berhak menggantikan ayahanda.” Raden Arya mengepalkan tangannya, menahan bara yang hampir meletup. “Berhak? Apa yang membuatmu pantas, Raksa? Karena keberanianmu di medan perang? Jangan salah paham. Seorang raja bukan hanya pemimpin pasukan, tapi juga pemimpin hati rakyat. Kau pikir dengan pedang dan darah, rakyat akan tunduk selamanya?” Tatapan Raksa meruncing, senyum miringnya perlahan hilang. “Rakyat hanya butuh ketegasan, Kangmas. Bukan kata-kata manis, bukan mimpi indah yang hanya berakhir dalam gulungan naskah. Aku lah yang akan membuat mereka tunduk dengan kekuatan, agar kerajaan ini tak diguncang pemberontakan.” Arya melangkah maju, jarak di antara mereka semakin dekat. Suaranya rendah, namun penuh ketegasan. “Kau salah besar. Kekuasaan yang dibangun dari ketakutan akan runtuh dengan lebih cepat. Kau tidak belajar dari sejarah, Raksa. Apa kau lupa kerajaan tetangga yang hancur karena pemimpinnya menindas rakyat sendiri? Kau hanya akan menyalakan api pemberontakan dari dalam istana ini.” Sejenak Raksa terdiam, namun hanya untuk kemudian kembali tertawa—tawa yang terdengar lebih seperti peringatan daripada kegembiraan. “Sejarah? Ah, Kangmas Arya yang bijaksana rupanya masih suka berkhayal. Kau bicara tentang sejarah, padahal yang dicatat adalah kemenangan, bukan belas kasih. Orang hanya mengenang siapa yang menang, bukan bagaimana cara dia memimpin.”
Suasana balairung kian menegang. Suara langkah para pengawal yang berjaga di luar pintu terdengar samar, tapi tak seorang pun berani masuk. Mereka tahu, pertikaian dua putra mahkota ini bagaikan bara dalam sekam—berbahaya bila disentuh, namun tak mungkin dihentikan. Arya menghela napas, mencoba menahan amarah yang bergejolak. “Raksa, aku tidak ingin Samudra Jaya menjadi medan permainan ambisi. Kau boleh merasa dirimu kuat, tapi tanpa kebijaksanaan, kekuatan itu hanyalah pedang tanpa gagang—akan melukai siapa saja, termasuk dirimu sendiri.” Raksa menatapnya dalam-dalam, seolah menantang sekaligus menyembunyikan sesuatu di balik sorot matanya. “Kangmas, jangan kira aku tidak tahu. Banyak bangsawan sudah mulai merapat kepadaku. Mereka muak dengan kelemahan yang kau sebut kebijaksanaan itu. Pada akhirnya, bukan aku atau kau yang menentukan, tapi kekuatan arus yang memilih siapa yang layak di puncak. Dan percayalah… arus itu berpihak padaku.” Raden Arya terdiam sesaat, hatinya gelisah. Kata-kata Raksa bukan sekadar kesombongan belaka, tapi ada kebenaran yang sulit ia sangkal. Namun, ia tak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan adiknya. Dengan langkah mantap, ia memutar tubuhnya, melangkah pergi sambil berkata lirih namun jelas, “Kebenaran akan diuji oleh waktu, Raksa. Dan aku berdoa agar Samudra Jaya tidak harus menanggung akibat dari keserakahanmu.” Raksa hanya tersenyum dingin, matanya mengikuti langkah Arya hingga sosok kakaknya menghilang di balik pintu balairung. Senyum itu bukan lagi sekadar ejekan, melainkan pertanda ambisi yang semakin sulit dibendung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments