Matahari telah merayap lebih tinggi, menyinari halaman dalam istana Samudra Jaya. Cahaya keemasan memantul di dinding batu putih, sementara langkah-langkah dayang dan abdi dalem berseliweran membawa baki, kendi, dan gulungan kain. Dari luar, istana tampak penuh keteraturan, namun di balik tembok tinggi itu, bayangan intrik semakin memanjang.
Putri Dyah Anindya berjalan perlahan di koridor yang menghubungkan balairung dengan taman kenanga. Wulan berjalan di belakangnya, membawa kipas dari bulu merak. Senyum Dyah tampak lembut, tetapi matanya menyimpan kerisauan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Wulan,” ucapnya lirih, “pernahkah kau merasa… udara di istana ini semakin berat dari hari ke hari?” Dayang muda itu menunduk dalam-dalam, memilih kata dengan hati-hati. “Ampun, Gusti… hamba pun merasakannya. Bisik-bisik tentang suksesi makin sering terdengar di dapur dan bilik-bilik dayang. Nama Raden Raksa disebut lebih banyak daripada nama Gusti sendiri.” Dyah menghela napas, lalu berhenti sejenak. Tatapannya jatuh pada bayangan pohon sawo kecik yang menari di lantai koridor. “Mereka tidak salah jika menilai Raksa gagah di medan perang. Namun apakah kegagahan semata cukup untuk memimpin hati rakyat?”
Sebelum Wulan sempat menjawab, langkah tegap terdengar dari arah berlawanan. Aruna Maheswara muncul, wajahnya teduh meski sorot matanya tetap tajam. Ia segera menunduk memberi hormat.
“Daulat, Gusti Putri. Hamba datang membawa laporan,” ucapnya. Dyah mengangguk, memberi isyarat agar ia bicara.
“Semalam, beberapa prajurit penjaga gerbang barat mendapati sekelompok orang asing mencoba menyusup. Mereka mengaku pedagang, namun tidak membawa barang dagangan. Hamba khawatir, ini bukan sekadar percobaan masuk biasa.”
Dyah menegang. “Apakah mereka berhasil ditangkap?”
“Sebagian, Gusti,” jawab Aruna. “Namun dua orang berhasil melarikan diri. Hamba yakin mereka bukan pedagang, melainkan utusan yang dikirim untuk mengintai. Entah dari kerajaan tetangga… atau justru dari pihak dalam sendiri.” Wulan spontan menutup mulutnya, terkejut. Sementara Dyah menunduk, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Aruna menyentuh tepat pada ketakutannya bahwa ancaman bukan hanya datang dari luar, melainkan juga dari darah sendiri.
“Aruna,” suara Dyah merendah, “aku ingin kau menjaga pengawasan lebih ketat. Jangan ada celah sedikit pun. Bahkan di dalam istana ini sekalipun, aku merasa mata-mata berkeliaran.”
Aruna mengangguk mantap. “Perintah Gusti adalah titah. Hamba akan melipatgandakan penjagaan.”
“Apakah ayahanda sudah mengetahui tentang para pedagang itu?” tanya putri Dyah tanpa mengalihkan pandangannya dari paviliun adik tirinya.
“Ampun gusti, paduka raja sedang membahas mengenai beliau yang tengah ingin bersemedi dengan mahapatih Nirmala Wisesa,” jawab Aruna, putri Dyah menoleh cepat ke arah mengawal setianya itu.
“Semedi? Untuk apa?” tanya Putri Dyah yang mengernyitkan keningnya. Aruna menarik nafas dalam berusaha berhati-hati dalam memberikan jawaban.
“Paduka Raja ingin bersemedi untuk meminta petunjuk pada Sang Hyang Agung tentang siapa yang akan mengemban tugas memimpin Samudra Jaya,” jawab Aruna dengan pelan. Putri Dyah mengembuskan nafasnya, dia tahu memutuskan siapa penerus tahta kerajaan tidak bisa sembarangan karena ini menyangkut masa depan kerajaan.
“Kau benar Aruna, tidak bisa sembarangan keturunan Raja mampu meneruskan memimpin sebuah kerajaan. Jika dia kuat dimedan tempur belum tentu juga dia bisa memimpin rakyatnya. Aku tidak mau rakyatku hidup dalam penderitaan, lalu kapan ayahanda akan pergi bersemedi?”tanya putri Dyah.
“Ampun gusti, hamba belum bisa memastikan,” jawab Aruna. Kapan pun itu putri Dyah hanya ingin pilihan terbaik untuk kerajaannya—Samudra Jaya.
Di paviliun timur, Raden Raksa berdiri di depan cermin besar berbingkai emas. Pakaian perangnya dilepas, digantikan kain sutra tipis yang membungkus tubuh tegapnya. Sangkara menyiapkan sabuk, sementara Jaya Rudra masih memeriksa gulungan catatan.
“Paduka,” ujar Rudra, “dari utusan timur, sudah ada jawaban. Mereka siap mendukung, asal paduka berjanji memberi kedudukan setelah tahta berpindah.”
Raksa menyunggingkan senyum tipis. “Mereka hanya butuh janji, Rudra. Janji itu murah. Tahta jauh lebih berharga.”
Sangkara menunduk dalam. “Lalu bagaimana dengan Gusti Putri Dyah? Rakyat masih menyanjungnya.” Tatapan Raksa berubah dingin. Ia meraih sebilah keris pendek di meja, lalu memutarnya perlahan. “Dyah… ia hanyalah bayangan manis yang disukai rakyat kecil. Namun rakyat selalu mudah digiring. Cukup dengan ketakutan, cukup dengan kekuatan. Mereka akan menunduk.” Ia berhenti, lalu menatap keluar jendela, ke arah taman kenanga di mana Dyah tadi berjalan. “Tapi untuk saat ini… biarkan ia merasa aman. Bayangan tak perlu terburu-buru. Pada waktunya, bayangan akan menelan cahaya.” Dia melempar keris itu kearah papan kayu yang biasa dia pakai untuk berlatih panah lalu tersenyum miring. Tiba-tiba seorang prajurit istana datang dengan tergopoh-gopoh.
“Daulat gusti raden, pedagang yang akan menemui gusti semalam telah tertangkap,”
“Apaaa.....?! Siapa.....siapa yang telah berani menangkap orang-orangku katakan!” bentak Raksa sambil mencengkeram leher prajurit itu.
“A-Ampun ra-raden, prajurit dari panglima Aruna yang telah menangkapnya semalam,” Mendengar nama Aruna, Raksa mengepalkan tangannya. Raksa berdiri tegak, sorot matanya menyala bagaikan api yang siap melalap apa saja. Cengkeramannya di leher sang prajurit membuat wajah lelaki itu pucat pasi, nyaris kehilangan napas. Sangkara buru-buru melangkah maju, menunduk, mencoba menenangkan tuannya.
“Paduka, mohon tenang. Jangan sampai amarah paduka terlihat oleh orang yang tidak seharusnya.” Raksa melepaskan cengkeraman itu dengan kasar, hingga sang prajurit terhuyung jatuh ke lantai. Nafasnya tersengal, namun ia tetap menunduk, tidak berani menatap wajah tuannya.
“Aruna…” Raksa meludah ke tanah, penuh jijik. “Selalu saja dia berdiri di jalanku. Ia sok setia, sok suci, seakan-akan hanya dirinya yang layak menjaga istana ini.” Rudra yang sejak tadi diam, menutup gulungan catatan lalu berkata hati-hati, “Paduka, ini jelas akan menyulitkan. Jika utusan itu diperiksa, bisa jadi jejak pertemuan mereka dengan kita akan tercium.” Kening Raksa berkerut, rahangnya mengeras. “Aruna berani menodongkan tombak ke arahku dari balik bayang-bayang. Ia lupa, darah prajurit seperti dia hanyalah alat. Dan alat, Rudra… bisa patah.”
Sangkara menunduk makin dalam. “Ampun, Paduka. Hamba siap menjalankan apa pun perintah paduka. Jika paduka ingin, orang-orang Aruna bisa dilenyapkan tanpa jejak.” Raksa berjalan mondar-mandir, kain sutra yang melilit pinggangnya berayun mengikuti langkah cepatnya. Sorot matanya tajam, penuh pikiran yang berputar. Ia berhenti di depan jendela, memandang taman kenanga yang tenang seolah tidak tahu ada badai yang mulai menggelegar di dalam paviliun timur.
“Belum saatnya,” katanya pelan tapi penuh tekanan. “Membunuh Aruna secara terang-terangan hanya akan membuat rakyat dan prajurit mengutukku. Dia masih dianggap pahlawan di mata banyak orang. Tidak… aku tidak akan memberi mereka alasan untuk menentangku.”
Rudra mengangguk pelan. “Lalu apa yang hendak paduka lakukan?” Raksa menoleh, senyum miring kembali mengembang di wajahnya. “Bila tidak bisa menebas kepalanya dengan pedang, aku akan menusuk hatinya dengan keraguan. Biarkan dia tersandung oleh kehormatan yang ia banggakan. Prajurit setia itu… akan hancur oleh tangannya sendiri.” Sangkara tersenyum samar, memahami arah pikiran tuannya. Namun sebelum ia sempat menimpali, Raksa kembali menatap prajurit yang masih gemetar di lantai.
“Katakan pada semua orang di luar sana, aku tidak tahu-menahu soal pedagang itu. Jika ada yang bertanya, sebut mereka hanyalah pengembara tanpa izin. Mengerti?”
“A-Ampun, daulat Gusti Raden… hamba mengerti,” jawab si prajurit terbata, lalu segera merangkak mundur keluar ruangan. Keheningan menyelimuti paviliun setelahnya. Hanya suara burung perkutut dari taman yang terdengar samar. Raksa menghela napas panjang, namun matanya tetap menyimpan bara.
“Aruna boleh saja mengira dirinya menang,” gumamnya rendah, seakan berbicara pada bayangan sendiri. “Tapi ia lupa, istana ini bukan hanya tentang pedang dan kesetiaan. Ini tentang kuasa… dan aku, Raksa, akan menuntutnya hingga tak tersisa.” Sangkara dan Rudra saling pandang, sadar betul bahwa badai yang dipendam tuannya hanya menunggu waktu untuk meledak.
****
Menjelang siang, Raja Harjaya memasuki balairung utama untuk mendengarkan laporan para pejabat istana. Suasana tampak wajar, namun sorot mata para bangsawan berbeda-beda—ada yang teduh, ada pula yang penuh perhitungan. Di antara mereka, beberapa bisikan mengalir seperti ular yang menyelinap di rerumputan. Patih Nirmala berdiri di sisi kanan raja, matanya tajam mengamati setiap gerak. Ia tahu, balairung bukan lagi tempat musyawarah, melainkan medan perang yang senyap.
Raja Harjaya membuka suara, “Samudra Jaya berada di persimpangan jalan. Aku ingin semua pejabat mendukung keputusan yang kelak akan kuambil setelah bertapa. Masa depan kerajaan ini bukan hanya milikku, melainkan milik seluruh rakyat.” Beberapa bangsawan menunduk hormat, namun ada pula yang hanya mengangguk seadanya. Dari tempat duduknya, Raksa menatap lurus tanpa berkedip. Senyum samar menghiasi bibirnya, senyum yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti—bahwa badai sedang menunggu untuk meledak.
Dan di sudut ruangan, Putri Dyah duduk anggun, wajahnya teduh, namun dalam hatinya doa mengalir deras. Ia tahu, jalannya akan penuh duri. Tapi ia juga tahu, takdir Samudra Jaya sedang menantinya. Bayangan sudah bergerak. Dan permainan baru saja dimulai.
****
Sementara itu di keputren, lebih tepatnya di paviliun milik selir kedua—Ken Suryawati bisik-bisik tentang penangkapan orang-orang dari utusan pendukung raden Raksa sudah sampai ke telinganya, tapi wanita cantik itu masih menanggapinya dengan tenang.
“Gusti apa tidak sebaiknya minta Raden Raksa untuk membebaskan mereka, bisa jadi nanti mereka malah membongkar semuanya,” kata nyi Rengganis dayang utama yang selama puluhan tahun mendampinginya.
“Jangan terburu-buru mbok, kalau utusan-utusan itu dibebaskan pihak istana tentu akan curiga. Biarkan semua berjalan sesuai dengan alurnya,” kata Ken Suryawati tenang. Ken Suryawati duduk bersandar anggun di kursi berukir gading, jemarinya memainkan untaian melati yang baru saja dipetik dari taman keputren. Dari balik tirai sutra tipis, cahaya pagi masuk dan memantulkan kilau lembut pada wajahnya yang masih memancarkan kecantikan meski usianya tak lagi muda.
Nyi Rengganis menunduk, suaranya lirih namun penuh kekhawatiran. “Ampun, Gusti… hamba khawatir jika mereka dipaksa bicara, nama Raden Raksa bisa disebut-sebut. Itu akan membawa bahaya bukan hanya bagi beliau, tapi juga bagi Gusti sendiri.” Ken Suryawati tersenyum tipis, senyum yang sulit ditebak antara keyakinan atau sekadar menyembunyikan kegelisahan. “Mbok Rengganis… dalam permainan besar seperti ini, tak semua bidak bisa diselamatkan. Ada kalanya kita harus merelakan sebagian, demi menjaga jalan bagi yang lebih utama. Raksa sudah cukup cerdik, ia tahu apa yang harus diperbuat.”
“Namun, Gusti…” Nyi Rengganis menunduk makin dalam, “Patih Nirmala bukan orang yang mudah dikelabui. Jika ia mencium gelagat sedikit saja, semua bisa berbalik.” Ken Suryawati berhenti memainkan melati di tangannya, lalu berdiri dan berjalan perlahan ke arah jendela. Dari sana, terlihat bendera Samudra Jaya berkibar, sementara prajurit berlatih tombak di halaman kesatriyan. Matanya tajam, penuh perhitungan.
“Justru itu, Mbok,” ucapnya pelan. “Patih Nirmala terlalu sibuk menjaga Putri Dyah. Baginya, Dyah adalah cahaya yang harus terus dipelihara. Maka biarlah matanya tertutup oleh cahaya itu, sementara bayangan Raksa tumbuh dalam diam.” Nyi Rengganis menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Gusti selalu berpikir jauh… namun hamba takut, jika cahaya dan bayangan itu bertemu, siapa yang akan terbakar?” Ken Suryawati menoleh, tatapannya dingin namun anggun. “Biarlah api menentukan, Mbok. Aku hanya menyiapkan minyaknya.” Ia kembali duduk, kali ini lebih tegak, lalu memandang melati yang tadi hampir hancur di tangannya. “Dan ingatlah… bunga yang paling harum, selalu lahir dari tanah yang pernah menelan darah.” Di luar paviliun, terdengar sayup-sayup gamelan bertalu. Kehidupan istana berjalan seperti biasa, namun di balik tembok tinggi keputren, bisikan-bisikan kecil mulai menyalakan bara yang kelak akan membakar Samudra Jaya.
***
Di dalam taman kaputren, permaisuri Dyah kusumawati tengah berjalan-jalan berdua dengan raja Harjaya mereka bersantai sambil membahas keputusan suaminya untuk bertapa brata. Angin sore berhembus lembut membawa harum bunga tanjung yang sedang mekar. Permaisuri Dyah Kusumawati melangkah perlahan di sisi Raja Harjaya. Kedua insan agung itu tampak tenang, seolah-olah hiruk pikuk dunia luar tidak pernah menyentuh hati mereka. Padahal, di balik ketenangan itu, banyak perkara yang sedang bergolak dalam istana. Dyah Kusumawati menoleh pelan ke arah suaminya. “Kanda,” ucapnya lembut, suaranya seperti desir air di telaga, “benarkah tekad kakanda untuk menempuh tapa brata sudah bulat? Apakah tak ada jalan lain selain bertapa memohon petunjuk?”
Raja Harjaya menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke arah langit sore yang memerah. “Dinda, jalan ini bukan sekadar pilihan. Kerajaan Samudra Jaya sedang berada di persimpangan. Dua putra mahkota, dua darah yang sama-sama mengalir dari tubuhku, tetapi arah mereka begitu berbeda. Bila aku salah memilih, bukan hanya tahta yang goyah, melainkan seluruh kerajaan bisa runtuh.” Permaisuri menundukkan wajahnya, jemarinya menggenggam ujung selendang sutranya dengan sedikit gelisah. “Namun, apakah kakanda yakin para dewa akan memberi tanda yang jelas? Terkadang petunjuk yang datang hanya berupa isyarat samar. Bila tafsirnya keliru, apa yang akan terjadi pada negeri ini?”
Raja tersenyum tipis, ada ketegasan dalam tatapannya. “Karena itu aku harus benar-benar membersihkan diri. Hanya dengan hati yang beninglah petunjuk itu bisa terbaca. Aku percaya, selama niatku tulus demi rakyat Samudra Jaya, para leluhur dan Sang Hyang Jagatnata tidak akan membiarkan kerajaan ini jatuh ke tangan yang salah.” Hening sejenak menyelubungi keduanya. Hanya gemericik air pancuran di tengah taman yang terdengar. Dyah Kusumawati akhirnya menghela napas, mencoba menerima kebulatan tekad suaminya.
“Baiklah, kanda. Jika itu jalan yang kakanda tempuh, hamba hanya bisa mendukung dengan doa. Namun…,” suara permaisuri merendah, ada keraguan yang terselip, “bagaimana dengan kabar orang asing yang berhasil ditangkap oleh prajurit Aruna? Apakah tidak sebaiknya perkara itu juga kakanda timbang sebelum kakanda berangkat bertapa?” Mata Raja Harjaya menyipit, sorotnya berubah serius. “Aku sudah mendengar laporan itu. Orang asing itu mengaku hanya seorang pengelana, tetapi caranya menyusup begitu mencurigakan. Di negeri sebesar Samudra Jaya, tidak ada satu pun langkah yang lepas dari pengamatan. Aku yakin kedatangannya bukan kebetulan.”
Dyah Kusumawati menatap penuh rasa ingin tahu. “Apakah kakanda sudah menanyakan maksud dan tujuan sesungguhnya?”
“Sudah,” jawab Raja dengan nada berat. “Namun lidahnya pandai berkelit. Dia bicara seperti orang yang tahu banyak tentang istana ini, seakan-akan sudah lama mengamati. Itu yang membuatku resah. Bisa jadi dia utusan dari kerajaan seberang, atau barangkali hanya bidak yang dikirim untuk menguji kewaspadaan kita.” Permaisuri menggigit bibirnya, ada ketakutan yang sulit ia sembunyikan. “Jika benar demikian, bukankah ini bisa menjadi tanda bahwa musuh sedang mengintai? Lalu, bagaimana dengan keselamatan kakanda bila meninggalkan istana dalam keadaan genting?” Raja Harjaya berhenti melangkah. Ia menatap permaisurinya dalam-dalam, seakan ingin menenangkan batin yang sedang bergolak. “Dinda, justru inilah ujian. Jika aku terus berada di istana, bayang-bayang itu akan semakin menjerat. Tetapi bila aku menyingkir sejenak, memohon petunjuk kepada alam, aku akan kembali dengan mata yang lebih jernih. Aku tak bisa memutuskan pewaris tahta hanya dengan mendengar bisik-bisik atau laporan prajurit. Aku butuh jawaban yang lebih tinggi.” Dyah Kusumawati terdiam, namun di dalam hatinya ada perasaan campur aduk kagum atas keteguhan sang suami, tapi juga takut akan badai yang mungkin datang ketika raja meninggalkan istana.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “izinkan hamba menjaga keputren dan seluruh permaisuri serta selir selama kakanda berdiam diri dalam tapa. Hamba tak ingin ada kekacauan yang membuat kakanda kehilangan ketenangan.”
Raja Harjaya mengangguk mantap. “Aku percaya kepadamu, dinda. Keputren ada dalam tanganmu, dan aku yakin engkau bisa menjaga keseimbangan. Aku hanya berharap, jangan sampai ada api yang membesar dari bara yang kecil. Karena sesungguhnya, bahaya terbesar justru sering lahir dari dalam, bukan dari luar.” Ucapan itu menggema di hati Dyah Kusumawati. Ia tahu maksud sang raja—tentang persaingan halus di antara para selir, juga bisik-bisik yang sudah mulai terdengar di lorong-lorong istana. Mereka melanjutkan langkah di antara bunga-bunga, sementara mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Suasana seakan damai, tetapi di baliknya, badai besar sedang bersiap menguji Samudra Jaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments