EP: 5

Pagi itu, Istana Azzarkh seperti terjaga dari tidur panjangnya. Lorong-lorong gelap yang biasanya hanya diterangi cahaya lentera hitam kini ramai oleh suara langkah para pelayan, dayang, dan penjaga. Tirai merah darah yang menjuntai di sepanjang dinding bergetar seiring angin dingin yang menyusup dari celah-celah batu. Suara gong berat sesekali dipukul, menggema seperti dentuman petir di ruang bawah tanah.

Hari ini, istana sibuk mempersiapkan penyambutan selir baru. Liora.

Di kamar barat, seorang gadis masih meringkuk di atas ranjang besar, tubuhnya dibalut selimut tebal. Napasnya teratur, wajahnya terlihat tenang, namun mimpi buruk yang semalam ia alami jelas masih membekas.

“Nona, nona?” suara lembut Vaelis memanggil dari sisi ranjang. Ia mengguncang bahu Liora perlahan.

Liora tak bergeming.

Vaelis melirik Dreya, panik. “Ia belum bangun.”

Dreya, yang lebih tegas, maju dan menepuk pipi Liora pelan. “Nona, bangunlah. Ini hari besar. Kau harus bersiap.”

Liora hanya menggumam, mencoba menarik selimut menutupi wajahnya.

Dreya kehilangan kesabaran. Ia mengguncang tubuh Liora keras-keras. “Nona! Bangun! Kalau terlambat, bukan hanya kau yang dihukum, kami pun ikut dibakar dalam api Azzarkh!”

Kata-kata itu membuat Liora terbelalak. Ia langsung duduk tegak, napas tersengal. “A–apa? Apa yang kau katakan?”

Vaelis menarik napas lega. “Syukurlah kau bangun. Jika tidak, Veyra pasti mencincang kami hidup-hidup.”

Liora mengucek matanya. “Veyra? oh, tunggu. Aku masih di sini, ya? Ini bukan mimpi?”

Kedua dayang saling pandang, wajah mereka tegang. Dreya hanya berujar singkat, “Kau harus segera bersiap. Upacara penyambutan dimulai sebentar lagi. Itu perintah Raja.”

Kata “Raja” membuat tubuh Liora merinding. Bayangan Azrakel semalam, mata gelap, suara berat, dan sentuhan sedingin es, kembali menguasai pikirannya. Ia menelan ludah. “Kalau aku menolak… apa yang terjadi?”

Vaelis menunduk, suaranya lirih. “Kepalamu akan dipajang di gerbang istana.”

Liora terdiam, wajahnya pucat. Tak ada jalan keluar.

Beberapa pelayan masuk membawa baki berisi kain sutra hitam, perhiasan, dan alat rias. Mereka membungkuk dalam, tidak berani menatap Liora langsung. Salah seorang pelayan berkata lirih, “Izinkan kami mempersiapkan Nona.”

Liora menegang. “Apa… mereka harus membuka pakaianku?”

Vaelis mencoba menenangkan. “Itu sudah menjadi aturan. Semua selir dirias oleh pelayan. Kau tak perlu merasa malu.”

“Malu?” Liora hampir memekik. “Itu tubuhku! Aku bisa melakukannya sendiri!”

Dreya mendengus. “Jangan membuang waktu. Aturan istana tidak bisa diubah hanya karena rasa malumu.”

Namun tatapan keras Liora membuat para pelayan berhenti, bingung. Akhirnya, ia berdiri dan berkata cepat, “Aku akan memakaikan pakaianku sendiri. Kalau tidak, aku tidak akan melangkah sejengkal pun.”

Keheningan menekan ruangan. Dreya menutup mata, pasrah. “Baiklah. Lakukan cepat, sebelum Veyra masuk dan melihat.”

Dengan tangan gemetar, Liora menanggalkan pakaian tidurnya lalu mengenakan gaun putih panjang yang sudah disiapkan. Kainnya lembut, berkilau samar seperti tenunan cahaya bulan, namun dingin saat menempel di kulit. Setelah itu, pelayan mulai merias wajahnya.

“Jangan terlalu tebal,” bisik Liora gugup. “Aku tak ingin terlihat seperti mayat yang dipoles.”

Para pelayan hanya menunduk, bekerja dengan teliti. Kuas halus menari di wajahnya, menutup lelah, menyembunyikan bekas air mata.

Ketika ia membuka mata dan menatap ke cermin, Liora terdiam.

Bayangan yang kembali menatapnya tampak asing, cantik, dingin, dan rapuh. Rambutnya disanggul tinggi, dihiasi tusuk emas berbentuk sayap gagak. Bibirnya merah pucat, matanya dipertegas, memberi kesan anggun sekaligus menyeramkan.

Vaelis menahan napas. “Nona… kau terlihat seperti dewi yang lahir dari kegelapan.”

Liora hanya menelan ludah. Ia merasa seperti boneka, dipoles untuk dipamerkan.

Suara gong berat terdengar dari kejauhan. Itu tanda agar semua orang menuju aula besar.

“Sudah waktunya,” kata Dreya datar.

Dua pelayan membuka pintu besar kamar. Udara dingin menyusup masuk, membawa aroma tanah basah dan kemenyan. Liora berdiri, lututnya gemetar. Dreya menopangnya, sementara Vaelis berjalan di depan.

Lorong istana dipenuhi arwah bangsawan dan pelayan yang menunduk saat mereka lewat. Bayangan wajah pucat, mata hampa, tubuh sebagian transparan. Namun ada pula yang terlihat hampir manusiawi, mengenakan pakaian mewah, kepala tegak.

Liora berbisik takut. “Mereka… semua hantu?”

“Roh,” jawab Vaelis singkat.

Liora menggigil. “Kenapa ada yang cantik dan berkilau, tapi ada juga yang lusuh… menyeramkan?”

“Di Azzarkh,” Dreya menjelaskan pelan, “bahkan setelah mati, derajat tetap ada. Ada bangsawan, ada rakyat jelata. Kau akan segera melihat sendiri… hierarki di dunia ini jauh lebih kejam daripada dunia manusia.”

Liora menunduk. Ia tak ingin lagi melihat tatapan kosong para roh itu.

Mereka tiba di depan aula agung. Dua pintu raksasa dari besi hitam berdiri menjulang, dijaga prajurit bertubuh besar dengan pedang merah menyala.

Dreya maju, memberi isyarat. Pintu bergeser perlahan, menimbulkan suara berderit mengerikan.

Di dalam, aula dipenuhi kabut tipis. Obor hitam menyala di sepanjang dinding, cahayanya redup namun cukup untuk memperlihatkan puluhan pejabat Azzarkh yang berdiri berjejer. Mereka semua mengenakan jubah hitam, wajah kaku, mata dingin.

Di ujung ruangan, singgasana menjulang tinggi. Di atasnya duduk Azrakel, rambut panjang hitam tergerai, topeng besi menutupi separuh wajah, mata gelap menatap lurus. Aura dinginnya menyelimuti ruangan, membuat semua orang bergetar.

Di sampingnya, duduk seorang wanita bergaun merah menyala dengan mahkota berkilau. Dialah selir pertama. Wajahnya cantik, namun sorot matanya menusuk seperti belati.

Seorang ajudan kerajaan melangkah maju, suaranya bergema. “Hari ini, Yang Mulia Azrakel akan memberikan gelar kepada selir baru istana. Pengantin yang datang dari dunia manusia, Liora.”

Suara lirih kekaguman terdengar dari barisan roh yang hadir.

“Cantik sekali…” bisik salah seorang.

“Lebih indah daripada selir-selir sebelumnya,” gumam yang lain.

“Seakan daging hidup bercampur dengan bayangan…”

Liora melangkah masuk, didampingi Vaelis dan Dreya. Namun baru beberapa langkah, tubuhnya melemas. Lututnya bergetar hebat. Ia berhenti, wajahnya pucat pasi.

“Apa yang terjadi?” bisik Dreya panik.

“Lututku… tak bisa bergerak,” desis Liora. “Aku… terlalu takut.”

Semua mata tertuju pada mereka. Hening menekan aula.

Suara Azrakel menggelegar. “Kenapa berhenti?”

Vaelis segera bersujud. “Ampun, Yang Mulia. Kaki Nona Liora lemah. Ia masih asing dengan dunia ini.”

Azrakel menatap tajam, lalu berkata singkat, “Bawa dia kemari.”

Dengan susah payah, Dreya dan Vaelis menopang Liora hingga ia berdiri di hadapan singgasana.

Namun Liora, yang tak tahu tata cara istana, lupa membungkuk. Ia hanya berdiri kaku, menatap Raja dan selir pertama dengan mata ketakutan.

Desis terdengar dari barisan pejabat. “Lancang!” seru seorang wanita paruh baya. “Seorang selir rendah berani tidak memberi hormat kepada Raja.”

Sosok itu maju selangkah. Wajahnya keras, sorot matanya tajam.

“Nyonya Malvera,” bisik Dreya ketakutan.

Liora makin panik, tak tahu harus berbuat apa.

Namun tiba-tiba, Veyra maju dari barisan pelayan. Ia membungkuk dalam.

“Ampun, Yang Mulia. Selir baru belum sempat diajari tata cara istana. Tanggung jawab ada pada saya.”

“Bukankah tugasmu mengajarinya?” cecar Nyonya Malvera.

Veyra menahan napas, lalu menjawab.

“Saya ingin memberi waktu agar Nona Liora beristirahat sebelum upacara. Saya takut ia kelelahan.”

Suasana memanas. Namun tiba-tiba suara selir pertama terdengar, lembut tapi tegas.

“Cukup, Nyonya Malvera. Jangan merusak hari baik ini. Biarkan titah Raja yang berbicara.”

Semua terdiam.

Azrakel mengangkat tangannya. Ajudan segera membaca titah.

“Mulai hari ini, pengantin dari dunia manusia akan dikenal sebagai Selir An Yu, selir termuda Raja Azzarkh. Ia akan menempati kediaman Paviliun Yasha di sayap barat. Veyra bertanggung jawab atasnya. Lima pelayan dan dua dayang akan diberikan untuk melayaninya. Titah Raja, tak seorang pun boleh melanggarnya.”

Seluruh aula berlutut. “Hormat pada Yang Mulia!”

Liora terpaksa ikut menunduk, meski tangannya gemetar. Ia tak paham semua kata yang terucap, namun ia tahu satu hal mulai hari ini, nasibnya terkunci di istana kegelapan.

*******

Selamat membaca semoga suka ya, support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya, terima kasih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!