EP: 4

Seketika terdengar bunyi duk…duk…duk... langkah kaki berat, lambat, tapi setiap hentakan seperti bergema langsung dari perut bumi. Jantung Liora melompat sampai ke tenggorokan. Tubuhnya menegang, matanya menatap ke arah suara itu.

Darah seakan berhenti mengalir di nadi ketika ia melihat sosok itu berjalan keluar dari kegelapan. Tingginya menjulang, bahunya lebar, tubuhnya dibalut jubah hitam panjang yang melayang seperti kabut pekat. Rambut hitam tergerai hingga melewati punggung, berkilau samar oleh cahaya api obor. Separuh wajahnya tertutup topeng besi berukir, hitam legam, bergurat seperti retakan lava neraka. Dari balik celah topeng, sepasang mata hitam kelam menatap lurus padanya. Mata itu tidak memantulkan cahaya, seperti lubang tak berdasar, tempat cahaya mati dan jiwa tenggelam.

Udara di ruangan mendadak turun beberapa derajat. Nafas Liora keluar tipis, hampir membentuk kabut. Ia merapatkan tubuhnya pada ranjang, seolah sprei tipis mampu melindunginya dari makhluk yang baru saja tiba.

“Jadi kau sudah sadar.”

Suara itu. Berat, dalam, datar. Seperti gema dari ruang kosong. Seperti bisikan kematian. Getarannya menusuk dada, membuat jantung Liora bergetar sakit.

Mulutnya ingin berteriak, tapi suaranya patah di tenggorokan. Yang keluar hanya gumaman parau. “Si… siapa kau…?”

Makhluk itu mendekat. Setiap langkahnya membuat lantai bergetar, membuat udara semakin berat menekan tubuh Liora. Di sudut ruangan, dua dayang, Vaelis dan Dreya, sudah tersungkur bersujud, tubuh mereka gemetar hebat. Mereka menahan napas, tak berani mengangkat kepala.

Makhluk itu berhenti di tepi ranjang. Ia mengangkat tangannya, jemari pucat dingin meraih pipi Liora. Sentuhan itu bagai es membakar kulit. Liora menahan napas, matanya membesar, tubuhnya kaku ketakutan.

“Jangan sia-siakan air matamu,” bisiknya.

Kata-kata itu lirih, tapi bagi Liora terasa seperti desis ular di liang telinganya. Tubuhnya bergetar, air mata justru makin deras jatuh ke pipinya. Ia ingin menyingkir, tapi tidak mampu menggerakkan tubuhnya.

“A… apa yang kau inginkan dariku?” suara Liora pecah, hampir tak terdengar.

“Namaku Azrakel,” jawabnya, berat dan lambat. “Raja Azzarkh. Penguasa ribuan jiwa. Hakim gerbang kematian. Aku adalah alasan roh-roh terkutuk menjerit sepanjang malam.”

Liora membeku. Kata-kata itu menggema di kepalanya, menusuk hatinya. Nafasnya tercekat, tubuhnya kehilangan tenaga. Ia menunduk, menatap ranjang, tak sanggup menantang tatapan hitam itu lebih lama.

Azrakel menatapnya dalam diam. Udara seolah terhenti beberapa saat, lalu ia berbalik perlahan. Suara jubahnya menyeret lantai terdengar seperti desir kain kafan.

“Istirahatlah. Besok kau tak akan punya waktu untuk berbaring.”

Kalimat itu lebih menyerupai ancaman. Liora menggenggam erat sprei, bibirnya gemetar tanpa suara.

Sebelum keluar, Azrakel berhenti di depan Vaelis dan Dreya. “Jaga dia. Jika sesuatu terjadi pada pengantin ini… darah kalian yang akan menggantikannya.”

“Baik, Yang Mulia…” jawab mereka serempak, suara mereka hampir tak terdengar.

Pintu besar berukir tengkorak menutup dengan dentuman berat. Gema suaranya bergetar di dinding kamar, lalu perlahan hilang.

Keheningan menguasai ruangan. Liora masih terbaring kaku. Matanya basah, wajahnya pucat pasi. Nafasnya terengah, dadanya naik turun cepat.

Vaelis perlahan merangkak mendekat, lalu menunduk di samping ranjang. “Nona… tolong tenangkan diri. Jangan menangis terlalu keras. Dinding istana ini… mendengar.”

Liora mengangkat wajahnya, menatap Vaelis dengan mata basah. “Dia… dia itu apa? Aku… di mana aku ini?” suaranya pecah.

Dreya, yang masih berlutut di sudut ruangan, menjawab pelan, suaranya bergetar. “Itu Yang Mulia Azrakel. Raja Azzarkh. Kau… berada di alam baka, Nona. Gerbang tempat semua roh harus melewati pengadilan.”

Liora menutup mulut dengan telapak tangannya. Tubuhnya terguncang hebat. “A… alam baka…? Jadi aku sudah… mati?”

Vaelis buru-buru menggeleng, wajahnya panik. “Tidak, Nona. Kau masih hidup. Itu sebabnya keberadaanmu di sini… menggemparkan. Manusia hidup jarang bertahan lebih dari beberapa jam di Azzarkh. Tapi… Yang Mulia memilihmu.”

Liora menunduk, air matanya jatuh lagi, membasahi sprei. “Kenapa aku…? Kenapa harus aku…”

Tak ada jawaban dari kedua dayang itu. Mereka hanya menunduk, tubuh mereka gemetar.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Tok! Tok! Suaranya berat, keras, membuat nyali Liora makin ciut.

Pintu terbuka. Sosok wanita tua masuk, mengenakan jubah panjang kelabu dengan kerah tinggi. Rambutnya putih keperakan, terikat kencang. Wajahnya kurus, keriput dalam, tapi matanya tajam berkilat, menusuk seperti pisau. Langkahnya lambat tapi pasti, dan udara di ruangan seolah semakin pekat setiap kali ia bergerak.

“Nyonya Veyra…” bisik Vaelis lirih, segera menunduk.

Liora menatap sosok itu, tubuhnya gemetar. “Si… siapa dia…?” bisiknya.

“Nyonya Veyra,” jawab Dreya cepat, wajahnya pucat. “Kepala pelayan istana Azzarkh. Tadi sebelum nona sadar dia sudah datang untuk melihat nona.”

Liora segera menunduk dalam-dalam, tidak berani membuka suara.

Dua pelayan lain masuk dari balik pintu, membawa nampan besar. Saat penutup diangkat, terlihat nasi putih dengan lauk daging yang masih mengepulkan asap. Aroma kuat memenuhi ruangan.

“Ini makan malammu,” kata Veyra dingin.

Liora menatap makanan itu dengan ragu. Tubuhnya lemas, perutnya kosong, tapi rasa takut membuat tenggorokannya kering. Ia meraih sendok dengan tangan bergetar.

“Makanlah,” lanjut Veyra. “Kau harus kuat menghadapi upacara pengangkatan besok. Di hadapan seluruh roh Azzarkh, kau akan diberi gelar oleh Raja.”

Sendok di tangan Liora jatuh bergetar mengenai piring. “Upacara…? Gelar…?” suaranya nyaris tidak terdengar, penuh ketakutan.

Tatapan Veyra menajam. “Tak seorang pun menolak kehendak Raja. Ingat itu, manusia.”

Liora menggigit bibirnya sampai berdarah. Ia tidak sanggup berkata apa pun. Air matanya kembali jatuh, bercampur dengan makanan yang belum tersentuh.

Veyra menatapnya sekali lagi, lalu berbalik. Langkahnya bergema keras, meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang. Pintu menutup perlahan di belakangnya, menyisakan kesunyian mencekam.

Malam merayap lambat. Obor di dinding berkedip redup, seolah hampir padam. Liora terbaring di ranjang, tubuhnya melingkar, memeluk dirinya sendiri. Bahunya terguncang, isakannya tertahan di tenggorokan.

Ia menatap ke langit-langit kamar, ukiran-ukiran tengkorak dan sayap hitam menatap balik padanya. Dari luar jendela tinggi, langit Azzarkh memancarkan cahaya merah darah, bulan raksasa menggantung seperti mata iblis.

Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan wajah pucat Azrakel muncul, mata hitam itu menelannya, suaranya bergema di telinga, aku adalah alasan roh-roh pendosa itu menjerit setiap malam.

Liora menutup telinganya dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat. “Tidak… tidak… tolong… jangan…” bisiknya lirih.

Vaelis dan Dreya hanya bisa menatapnya dengan iba, tak mampu menolong. Mereka tahu, takdir sudah terkunci.

Malam itu, di kamar gelap yang dingin, tangis Liora bercampur dengan bisikan roh yang samar terdengar dari dinding istana. Bisikan panjang, jeritan tertahan, tangisan abadi.

Dan di sanalah, di ranjang pengantin yang seharusnya suci, Liora menyadari, hidupnya yang dulu telah berakhir. Ia kini adalah milik Raja Kegelapan.

*****

Salam dari author untuk kalian semua. selamat membaca karya baru author ya, semoga kalian suka. jangan lupa like, komen dan vote ya. terima kasih....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!