"Riana, aku sayang banget sama Mas Irfan, jadi nggak mungkin aku bisa menduakannya. Apalagi sama suamimu, jadi jangan berpikir yang macam-macam ya," ucap Liliana, mematahkan niat Riana untuk bicara lebih jauh.
Itu sudah ketiga kalinya Liliana mengatakan hal serupa selama mereka tinggal bersama. Riana ingin percaya. Ia ingin meyakini bahwa kakaknya tidak mungkin jatuh cinta pada Septian. Namun yang membuatnya gelisah justru sebaliknya, perasaan Septian.
Apakah Liliana masih bisa meyakinkannya dengan kalimat itu jika tahu bahwa suaminya diam-diam menyimpan rasa padanya?
"Riana, jangan diam terus," ujar Liliana sambil menimang bayinya yang kembali menangis.
Sekilas hati Riana ikut mereda. Ia sadar, inilah alasannya selalu memilih bungkam. Kakaknya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Apalagi Liliana kini seorang janda dengan bayi kecil. Kalau ia mengatakan kebenaran, bukankah itu hanya akan menimbulkan masalah, bahkan membuat kakaknya pergi dari rumah ini? Sebagai adik, mana mungkin Riana tega.
"Aku tahu, Kak… Kakak sangat mencintai Mas Irfan. Aku nggak cemburu, kok. Aku percaya Kakak pasti bisa menjaga batasan," ucap Riana selembut mungkin, meski di dalam hatinya ada luka yang masih mengaga.
Liliana tersenyum tipis, seakan merasa lega. "Terima kasih sudah percaya sama Kakak. Kamu itu harusnya fokus sama rumah tangga kamu sendiri, jangan terus mikirin hal-hal yang bikin negatif thinking."
Riana hanya mengangguk, meskipun hatinya tak terima. Bagaimana bisa ia fokus jika setiap kali Septian pulang, matanya selalu mencari Liliana? Bagaimana bisa ia tenang jika senyum yang dulu hanya miliknya, kini lebih sering terukir saat suaminya bicara dengan kakaknya?
Namun, sekarang Riana mencoba tetap tegar demi kebaikan bersama. Lagipula, ia akan pergi meninggalkan Septian, memberikan kesempatan pada lelaki itu untuk mengejar kebahagiaannya. Pemikiran ini memang bodoh sebenarnya, tapi bukankah ini lebih baik daripada ia terjebak di antara suami dan kakaknya?
"Biar aku gendong," ucap Riana sambil meminta bayi itu dari pelukan Liliana. Sang kakak menyerahkannya dengan lega, sementara Riana berusaha menenangkan Lira si kecil di pelukannya. Melihat Liliana mulai merebahkan diri, Riana memberanikan diri bertanya, "Kak, menurut Kakak… Mas Septian itu bagaimana?"
Liliana yang semula tampak rileks langsung tersentak. "Maksudnya bagaimana?"
"Ya, menurut Kakak, Mas Septian itu orangnya bagaimana?" tanya Riana lagi, dengan nada pelan agar bayi mungil itu tidak terbangun.
Liliana sempat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Semua wanita tahu kalau Septian itu idola di ibu kota. Tampan, kaya, kharismatik. Dia itu… sama seperti Mas Irfan dulu. Seandainya perusahaan Mas Irfan nggak kolaps sampai meninggalkan banyak hutang dan kini meninggal dunia, mungkin mereka berdua akan jadi pesaing terberat."
Riana paham betul ucapan itu. Ia masih ingat, ketika kuliah dulu Liliana memilih jurusan bisnis, di sanalah ia bertemu dengan Irfan dan juga Septian. Sementara dirinya menempuh jurusan kedokteran. Meski mereka yatim piatu, orang tua sudah menyiapkan tabungan pendidikan hingga mereka bisa meraih gelar sarjana.
Dari situlah benih cinta mulai tumbuh. Sayangnya, Liliana hanya menaruh hati pada Irfan hingga akhirnya menikah dengannya. Sedangkan Septian, setelah Liliana resmi menjadi istri Irfan, ia masih sering berkunjung ke rumah hingga akhirnya meminang Riana. Saat itu Riana sama sekali tidak curiga karena ia pun menyukai Septian. Namun kini, jika dipikir kembali semua itu terasa seperti kesalahan besar.
"Jadi menurut Kakak… Mas Septian itu sama seperti Mas Irfan?" Riana kembali bertanya, kali ini dengan hati-hati.
Liliana tersenyum samar, lalu menatap langit-langit kamar. "Iya, kurang lebih begitu. Hanya saja ada satu hal yang berbeda."
Riana menelan ludah, hatinya mencelos. "Berbeda bagaimana, Kak?"
Liliana menoleh pelan ke arah adiknya. Sorot matanya teduh, namun mengandung sesuatu yang sulit diterka. "Septian itu punya tatapan yang susah dijaga. Kadang… bikin orang salah paham. Termasuk aku."
Jantung Riana berhenti berdetak mendengar penuturan sang kakak. Namun, di menit selanjutnya tawa kecil Liliana membuyarkan semuanya.
"Hahah, aku bercanda, Riana. Lagian kamu ini kenapa sih nanyanya aneh-aneh? Sudahlah, ini sudah malam. Sepertinya Lira nyaman tidur sama kamu. Aku balik dulu ke kamar, nitip ya…" Liliana langsung bangkit dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.
"Ta… tapi, Kak," ucap Riana pelan, nyaris tak terdengar. Liliana sudah lenyap di balik pintu, menyisakan keheningan yang menekan dada.
Riana menatap wajah mungil Lira yang tenang dalam tidurnya. Jari-jarinya menyentuh lembut pipi bayi itu, seakan mencari sedikit penghiburan. "Lira… malam ini kamu tidur sama Tante, ya. Anggap saja… mungkin hari-hari terakhir kita bersama," bisiknya getir.
Perlahan ia merebahkan bayi itu di atas kasur, lalu ikut berbaring di sampingnya. Matanya terasa berat, hingga akhirnya ia terlelap dengan perasaan yang tak menentu.
***
Saat Adzan subuh baru saja berkumandang dan tangis Lira memecah keheningan. Riana terbangun dengan mata masih berat, lalu sigap meraih ponakannya. Ia menepuk-nepuk lembut punggung mungil itu dan memastikan apakah popoknya sudah penuh.
“Ponakan Tante haus ya? Ssst… ayo kita cari Mama dulu,” bisiknya pelan, berusaha menenangkan.
Namun, matanya menyapu seisi kamar tidak ada tanda-tanda keberadaan Liliana. Riana sempat mengecek suhu ranjang yang nyatanya begitu dingin, ia pun mengerutkan kening dan bertanya dalam hati, 'Apa Kak Liliana tidak kembali ke kamar semalam? Lalu di mana dia tidur?
Bayi itu menangis semakin keras, seolah ikut menambah kegelisahannya. Dengan langkah tergesa, Riana keluar, menelusuri lorong rumah. Hatinya diliputi rasa gundah yang semakin menekan.
Riana berhenti sejenak di depan dapur, dan kosong tidak ada tanda-tanda Liliana sedang menyiapkan susu atau apapun. Ruang tamu juga lengang, hanya cahaya lampu redup yang masih menyala sejak malam.
Rasa gundah itu berubah menjadi rasa takut yang sulit dijelaskan. Bayi kecil di gendongannya terus meronta, membuat Riana menempelkan pipi ke ubun-ubun mungil itu. “Tenang, Sayang… kita cari Mama ya,” bisiknya dengan suara bergetar.
Perlahan ia mendekati pintu kamar kakaknya. Nafasnya memburu. Jemarinya sempat ragu saat hendak mengetuk, namun akhirnya ia mendorong daun pintu itu perlahan.
Ciiiit—
Suara engsel berderit memecah keheningan, membuat jantungnya berdetak tak karuan. Dalam hati ia berdoa, semoga apa yang ia pikirkan tidak benar. Namun, ketika celah pintu semakin terbuka…
Riana terperangah melihat pemandangan di depan sana, seketika tubuhnya membeku. Ia hampir tak bisa bernapas. Tangannya yang memeluk Lira bergetar hebat, membuat bayi itu kembali menangis kencang. Tapi tangisan itu seakan lenyap di telinganya, kalah oleh suara hatinya yang remuk berulang kali.
Air mata mendesak keluar, namun tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak. Ia hanya bisa berdiri di ambang pintu, menatap kenyataan pahit yang selama ini ia takutkan akhirnya nyata di depan mata.
“Mas… Kak…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ghiffari Zaka
apa yg terjadi Riana???. dasar kakak yg yg punya akhlak kalian....enak2 kan tidur dlm 1 kamar dan Riana kalian jadikan pengasuh ....y CPT pergi Riana,ud gugat cerai aja suami km,dan tinggalkan mereka ingat karma akan ttp mereka terima karena SDH mempermainkan pernikahan dan melakukan penghianatan serta menyakiti hatimu....GK pp mereka akan terima karmanya.....😡😡😡
2025-09-23
0