Pingsan

Tit…

Suara monitor mulai terdengar, semua orang menjadi kacau. Bahkan, Khansa langsung berdiri dan menghampiri nenek Imah.

Begitu juga dengan yang lainnya, semua berdiri mengeliling ranjang nenek Imah. Dengan Khansa yang berdiri bersebelahan menggenggam erat tangan nenek Imah.

Semua orang menangis melihat kondisi nenek Imah yang semakin lemah. Khansa sendiri bisa melihat, jika kini nenek Imah sudah tidak membuka matanya lagi.

“Mohon maaf semua, biarkan saya memeriksanya lebih dahulu,” ucap dokter yang baru saja tiba.

Ibu Ais memberikan jalan agar dokter bisa memeriksa kondisi nenek Imah. Khansa menutup mulutnya, menahan isak tangisnya agar tidak terdengar oleh orang lain.

Sayangnya, Zidan melihat itu. Tanpa sengaja Zidan memeluk pundak Khansa.

“Maaf, kami sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi takdir berkata lain, nyonya fatimah telah meninggal dunia di jam 04:15 pm.”

Kaki Khansa melemas, ia tidak bisa menahan tubuhnya. Dengan sigap, Zidan menahan tubuh Khansa agar tidak terjatuh.

Suara tangisan mulai terdengar sangat pilu di telinga Khansa. Sayangnya, ia sudah tidak memiliki kekuatan untuk menangis.

Pandangannya mulai kabur, Khansa memegang kepalanya sebelum dirinya benar-benar pingsan di pelukan Zidan.

“Khansa! Hey! Sa!” Zidan terus memanggil-manggil nama Khansa.

Semua orang melihat Khansa yang sudah tidak sadarkan diri. Semua orang tahu, jika Khansa sangat menyayangi nenek Imah. Tapi saat ini, ia harus kehilangannya.

“Zidan, bawa Khansa pulang lebih dulu. Biarkan mama dan yang lainnya mengurus ini. Mama harap kamu bisa mengerti,” ucap Ais dengan air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya.

“Benar nak, bawa istrimu pulang. Kami di sini yang akan mengurus nenekmu. Tunggu di rumah, setelah selesai kami akan menyusulmu bersama dengan jenazah bu Fatimah,” imbuh salah satu tetangga mereka.

Tidak ada pilihan lain, Zidan mengangguk lemah. Mengangkat tubuh Khansa yang kini sudah sah menjadi istrinya secara agama.

Zidan menggendong Khansa, melewati lorong rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Ia menatap wajah Khansa, matanya terpejam. Namun, air matanya terus mengalir keluar dari kelopak matanya.

Dengan sedikit susah payah, Zidan berhasil membuka pintu mobilnya. Menurunkan Khansa dengan hati-hati.

Bergegas Zidan masuk ke dalam mobil. Sebelum menjalankan mobilnya, Zidan memakaikan sabuk pengaman Khansa.

Zidan menatap sejenak wajah gadis di depannya yang kini sudah menjadi istrinya. Tangannya terangkat, menghapus sisa air mata Khansa.

Tiba-tiba saja Zidan merasa kikuk dengan apa yang sudah ia lakukan. Ia kembali memposisikan dirinya. Menyalakan mobilnya dan mulai menjalankannya menuju ke rumahnya— tepatnya rumah nenek Fatimah.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, karena jarak ke rumah sakit hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit.

Belum sempat Zidan membuka pintu mobil untuk keluar, ia mendengar suara isak tangis Khansa. Akhirnya, Zidan mengurungkan niatnya. Memilih mendekati Khansa, tidak lupa ia membuka sabuk pengamannya.

Saat ini, mereka berdua sudah berada di halaman rumah. Yang dimana, para tetangga mulai berdatangan. Sudah dipastikan jika semua orang sudah mengetahui kabar meninggalnya nenek Fatimah.

Ada beberapa bapak-bapak mulai menyusun kursi untuk para tetangga yang datang untuk berbelasungkawa.

“Khansa… Hey,” lirih Zidan yang menepuk-nepuk pelan pipi Khansa.

Khansa semakin terisak. Zidan bingung harus melakukan apa, mau tidak mau ia harus membawa Khansa masuk ke dalam rumahnya.

Semua orang menatap ke arah mereka berdua. Yang dimana Zidan sedang menggendong Khansa menuju ke kamarnya.

Tidak ada yang membicarakan kenapa Khansa bisa pingsan. Sudah dipastikan Khansa merasa sangat terpukul dengan kepergian nenek Imah.

“Lihatlah, Khansa pasti sangat terpukul dengan kabar ini. Sampai-sampai dia pingsan seperti itu.”

“Benar, wajar aja si. Semua orang juga tau jika selama ini Khansa yang paling dekat dengan bu Imah.”

“Iya ya, semua waktunya dia habiskan untuk menemani bu Imah. Dia juga sering menginap di rumah ini.”

“Bu, Khansa mah bukan sering lagi menginap di sini. Jika tidak salah, dalam satu minggu dia sudah mempunyai hari untuk tidur menemani bu Imah.”

“Iya benar, saya juga pernah beberapa kali ngeliat Khansa tidur di rumah ini.”

“Betul, apalagi jaraknya juga tidak jauh. Hanya berseberangan.”

Semua itu terdengar di telinga Zidan saat berjalan masuk ke dalam rumah. Ia menghela nafasnya sesaat sebelum kembali melangkahkan kakinya setelah berhenti sejenak.

Dengan sangat hati-hati Zidan membaringkan Khansa di atas kasur. Zidan duduk di tepi kasur sambil memegang tangan Khansa.

Saat Zidan akan menyentuh pipi Khansa, mata yang sebelumnya terpejam kini mulai terbuka perlahan. Zidan sedikit terkejut, menarik kembali tangannya. Mengurungkan niatnya untuk menyentuh pipi Khansa.

Khansa langsung terduduk, menatap tajam lurus kedepan.

“Khansa, lo baik-baik ajakan?” tanya Zidan yang menatap Khansa dengan sorot mata yang cemas.

Khansa menoleh ke arah Zidan, menatapnya dengan tatapan kosong. “Sa!” panggil Zidan lagi.

Kali ini, Zidan menyentuh pundak Khansa untuk menyadarkan Khansa.

“Semua ini hanya mimpi bukan?” lirih Khansa yang terdengar amat pilu.

Tangannya bergetar saat mengingat bagaimana dokter telah menyatakan nenek Fatimah telah pergi untuk selamanya.

Zidan yang melihat itu, meraih tangan Khansa. Menggenggamnya dengan erat. Entah kenapa melihat kondisi Khansa yang seperti ini membuat hatinya merasa gelisah.

Apalagi setelah Zidan mendengar bagaimana kedekatan Khansa dengan neneknya. Hati kecil Zidan tidak ingin melihat Khansa mengeluarkan air matanya.

“Hey! Tenanglah, biarkan nenek pergi dengan tenang. Ini semua sudah takdir, kita tidak bisa mencegah itu.” Zidan membawa Khansa ke dalam pelukannya.

Bukannya tenang, Khansa semakin terisak. Tubuhnya sedikit bergetar karena berusaha menahan diri agar tidak menangis. Nyatanya, Khansa tetap tidak bisa. Air matanya terus mengalir tanpa ia minta.

Tangannya sangat enggan hanya sekedar untuk membalas pelukan Zidan. Bukan karena Khansa tidak ingin, karena ia sudah sudah tidak memiliki tenaga menghadapi kenyataan yang sangat amat menyakitkan.

Sirine ambulan mulai terdengar di telinga mereka. Yang artinya, jenazah nenek Imah akan segera tiba.

...* * *...

“Sayang, biarkan nenek Imah pergi dengan tenang. Sekarang, kita pulang ya?” bujuk Farah pada putrinya.

Khansa masih terus saja menatap gundukan tanah, yang kini menjadi rumah baru untuk nenek Imah.

Semua orang menatap kasihan melihat Khansa yang benar-benar terpukul. Cuaca tiba-tiba mendung, seolah tau apa yang dirasakan oleh Khansa.

Melihat langit yang kian gelap, apalagi hari juga semakin gelap. Membuat semua orang perlahan meninggalkan tempat pemakaman.

Saat ini hanya tersisa Khansa dan kedua orang tuanya, Zidan bersama dengan Ais, ibunya.

“Sayang, haris semakin gelap. Akan lebih baik kita pulang ya? Malam ini kita masih ada acara doa bersama,” bujuk Tama.

Khansa masih tidak bergerak sama sekali, membuat mereka semua bingung bagaimana cara membujuk Khansa mau pulang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!