Setelah obrolan di ruang makan itu, Maya benar-benar tidak bisa melangkahkan kakinya kemanapun. Orang tuanya seolah sudah mengantisipasi kalau Maya akan bertindak nekat dengan melarikan diri dari rumah.
Bahkan beberapa Art nya juga terlihat sibuk sedari tadi di kamarnya. Dipandu oleh sang ibu, mereka terlihat sedang membereskan barang yang akan dibawa ke pesantren.
Sementara itu Maya hanya duduk diatas Ranjang sembari menatap kesal ke arah mereka. Rasanya ingin sekali menendang nya satu persatu.
"Mah....mamah serius mau bawa aku ke pesantren?!", Maya berdiri dan mencoba merayu ibunya.
"Demi kebaikan kamu nak, mamah gak mau kamu terus hidup dilingkungan yang penuh dengan pergaulan bebas ", Ucap sang ibu tanpa menoleh ke arah sang anak.
"Aduh, mah kata siapa sih aku pergaulan bebas? yang Maya lakukan itu cuma sekedar menyalurkan hobi kok", Wajah Maya memelas.
Bu Rani berdiri menatap anaknya yang tengah memasang wajah sedih. Namun kali ini ia tidak akan masuk kedalam hasutan anak sulungnya itu.
"Maya! keputusan mamah dan papah udah valid ga bisa di nego lagi, titik", Setelah mengatakan itu bu Rani langsung berjalan keluar.
Sementara itu Maya mencak-mencak sendiri, susah sekali merayu orang tuanya. Beberapa Art nya terlihat menahan tawa saat melihat ekspresi Maya yang tidak seperti biasanya.
......................
Sementara itu Di ruang tamu, Pak Arman tengah duduk sembari menyeruput kopi pahitnya. Bu Rani datang dengan wajah lesunya. Ia berulang kali menghembuskan napas kasar,hingga akhirnya membuka suara.
"Pah.. apa ini keputusan yang benar ya buat Maya?", ucapnya lirih.
Pak Arman menarik napas panjang, " Maya itu sudah kelewatan mah, kalau kita gak ambil keputusan ini, kita gak tau gimana caranya buat bikin dia jadi anak yang seperti dulu lagi",
"Mungkin.....kita juga harus mendengarkan pendapat nya pah, dengan membiarkannya menjadi dancer seperti yang dia mau, mungkin saja Maya akan berubah", sahut bu Rani dengan hati-hati.
"Tidak mah! dancer itu gak cocok untuk lingkungan keluarga kita!keluarga ini terlalu terhormat untuk profesi seperti itu! papah tegaskan sekali lagi, Maya akan tetap aku masukkan ke Pesantren!", tegas pak Arman tak ingin dibantah.
Bu Rani menunduk tak mau membantah, suaminya adalah orang yang tidak suka dibantah. Setiap perkataannya adalah hal mutlak yang tak bisa dirubah.
"Lagipula pesantren itu merupakan pesantren terkenal di daerah pelosok desa mah, Maya gak akan bisa kabur dari sana", tambah pak Arman.
"Mamah ikut aja pah, semoga ini yang terbaik untuk Maya, apa papah kenal dengan pemiliknya?", Bu Rani berdiri sembari memijat bahu sang suami.
"Pemiliknya itu kiyai Bahar mah, teman masa sekolah papah, tenang aja papah udah nitip Maya ke dia, dan dia juga sudah menyanggupi", kali ini suara pak Arman lebih lembut.
Ditengah obrolan itu pintu terbuka lebar, Alin datang dengan wajah kusutnya. Ia mendengar semua percakapan orang tuanya. Hatinya panas ia ikut kesal, mendengar keputusan orangtua nya mengenai Maya.
"Alin, kamu sudah pulang nak", buk Rani menghampiri Alin yang masih diam tak bergerak.
"Dari dulu keinginan anak-anak dirumah ini emang gak penting kan pah", lirihnya sembari menatap ke arah pak Arman. Matanya terlihat berkaca-kaca, sekuat tenaga Alin menahan agar air matanya tidak jatuh.
Buk Rani menunduk,hatinya ikut sedih. Melihat putri bungsunya yang biasanya ceria justru kini terlihat berurai air mata.
Sementara itu Pak Arman terlihat pura-pura tidak mendengar, ia lebih sibuk dengan secangkir kopinya.
Alin yang kesal langsung beranjak meninggalkan kedua orang tuanya. Ia melangkah cepat kearah kamar sang kakak.
"Pasti kakak lagi sedih banget, setidaknya gue harus nemenin dia malam ini", pikirnya.
Pintu kamar dibuka perlahan, Alin masuk dengan cepat. Air matanya masih bergulir deras, namun baru saja ia melangkah bibirnya terbuka lebar melihat apa yang terjadi didalam kamar sang kakak.
Beberapa Art nya tengah jadi kanvas alami ditangan Kakaknya. Wajah-wajah itu terlihat dihiasi make up joker yang tebal bak seorang pantomim yang akan manggung.
Mbok Sarmi yang kini tengah dirias asal itu menatap Alin dengan memelas. Seolah meminta pertolongan agar Maya tidak kembali menghias wajahnya. Sementara itu Maya duduk sembari memegang kanvas make up dengan gaya tengilnya.
Alin spontan menutup mulutnya, menahan tawa yang hampir meledak. Air mata kesedihannya tadi seolah hilang begitu saja melihat tingkah aneh kakaknya.
“Kak! Ya Allah… ini apaan sih?!” seru Alin sambil menunjuk wajah Mbok Sarmi yang sudah penuh dengan bedak putih tebal dan lipstik merah yang melebar sampai ke pipi.
“Kenapa? Bagus kan? Joker versi Maya lebih kece daripada aslinya,” jawab Maya dengan wajah penuh percaya diri, tangannya masih lincah menggoreskan kuas ke pipi ART lain yang pasrah jadi korban.
Alin mendekat sambil setengah kesal, setengah geli. “Kak, serius… bukannya tadi kakak lagi marah sama Mamah sama Papah? Kok malah begini?”
Maya menghentikan gerakannya sejenak, lalu tersenyum miring. “Ya habis gimana Lin, daripada gue stress mikirin pesantren itu, mending gue bikin karya seni. Nih, lihat kanvas hidup gue,” ujarnya sambil menunjuk ART-ART yang sudah didandaninya.
ART yang lain menunduk menahan tawa, ada juga yang pipinya berkedut menahan malu.
Alin akhirnya ikut tertawa kecil, tapi tawanya masih bercampur sedih. Ia duduk di sebelah kakaknya lalu berbisik, “Kak… aku denger obrolan Papa sama Mama tadi. Mereka bener-bener serius mau masukin kakak ke pesantren.”
Wajah Maya mendadak berubah muram. Senyumnya hilang, ia meletakkan kuas make up itu di meja. “Gue tahu Lin… dan gue bener-bener gak bisa nerima itu. Rasanya kayak mereka gak pernah denger apa yang sebenarnya gue mau.”
Alin menggenggam tangan kakaknya erat. “Aku ngerti, Kak. Aku juga kesel sama Papa. Dari dulu, keinginan kita gak pernah dianggap.”
Maya menatap adiknya, matanya ikut berkaca-kaca. “Terus gue harus gimana, Lin? Kabur? Gue udah coba, tapi pasti ketahuan.”
Namun sebelum Alin sempat menjawab, terdengar suara ketukan keras dari luar pintu kamar. Suara berat Pak Arman terdengar menggema.
“Maya! Besok pagi kita berangkat. Jangan coba-coba bikin ulah lagi!”
Suara langkah kaki Pak Arman menjauh, meninggalkan ketegangan di kamar. Maya hanya bisa menghela napas panjang, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.
“Udahlah Lin, kayaknya gak ada lagi yang bisa gue lakuin. Besok gue Beneran dibawa ke pesantren…” ucapnya lirih, menatap kosong ke langit-langit kamar.
Alin ikut duduk di samping kakaknya, wajahnya masih terlihat murung. “Kak…”
Belum sempat Alin melanjutkan, Bu Rani masuk ke kamar. Dengan suara tegas tapi tetap lembut, ia memberi instruksi pada ART-ART yang masih terpaku di dalam.
“Kalian keluar dulu. Biarin Maya istirahat, besok kita berangkat pagi-pagi,” katanya.
Para ART itu segera menunduk sopan lalu bergegas keluar, sebagian masih menahan tawa kecil karena wajah mereka yang penuh make up joker. Begitu pintu tertutup, suasana kamar jadi lebih hening.
Maya bangkit setengah duduk, wajahnya masih kesal. “Lihat kan, Lin? Gue beneran gak punya pilihan. Semua orang di rumah ini ikut aturan Papa. Bahkan Mama juga gak bisa nolak.”
Alin menggenggam tangan kakaknya, kali ini lebih erat. “Iya Kak… tapi jangan nyerah dulu. Mungkin aja di pesantren nanti kakak nemuin sesuatu yang bisa bikin Papa sadar. Atau justru… kakak bisa nunjukin kalau hobi kakak itu bukan hal buruk.”
Maya memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. Antara marah, kecewa, dan takut bercampur jadi satu. Ia ingin melawan, tapi bayangan wajah tegas ayahnya membuatnya tak berani.
“Oke..gue bakal ikut ke pesantren dan bikin mereka nyesel karna udah bikin seorang Maya masuk ke penjara syari'ah", Ucap Maya penuh penekanan.
✨️Bersambung✨️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Tachibana Daisuke
Bikin syantik baca terus, ga sabar nunggu update selanjutnya!
2025-09-18
1