"Tamat riwayat gue ", cicit Maya pelan.
Dia berdiri kaku di depan pintu, sementara kedua orang tuanya menatapnya tanpa berkedip. Wajah mereka jelas sekali menunjukkan amarah bercampur kekecewaan.
Ibunya melangkah lebih dulu. “Kamu pulang jam segini, Maya? jam tiga pagi? dan bisa-bisanya kamu masih bercanda kayak gitu?,Kamu kira rumah ini hotel?!”
Maya mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. “Hotel mana ada yang gratis kayak gini, mah. Kalau ini hotel, aku udah disuruh bayar sewa tiap bulan.”
“Maya!” suara ayahnya membentak, membuat Maya sedikit tersentak.
Biasanya, ia selalu bisa mengelak dengan candaan, tapi malam ini berbeda. Sorot mata ayahnya lebih tajam dari biasanya, penuh dengan rasa marah yang ditahan-tahan.
“Berapa kali kami bilang? Jangan keluar malam, apalagi ke tempat-tempat nggak jelas begitu!” lanjut ayahnya.
Maya menghela napas keras, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa seakan ruangan itu hanya miliknya.
“Diskotik itu jelas kok, pah. Ada papan namanya gede banget di depan, nggak mungkin nggak jelas.”
Ibunya menepuk meja. “Maya! Kamu selalu saja membantah. Kamu pikir hidup itu hanya tentang bersenang-senang? Tentang kebebasanmu sendiri?”
Maya mendongak, tatapannya penuh perlawanan. “Terus hidup itu harus gimana, Mah? Bangun, sekolah, pulang, tidur, besok ngulang lagi? Aku bukan robot! Aku cuma pengin ngerasain hidup dengan cara aku sendiri!”
Keheningan menyusul. Hanya terdengar detak jam dinding yang terasa lambat.
Ayahnya berdiri, tubuhnya tegap, suaranya berat tapi bergetar menahan emosi.
“Maya, kamu pikir kami nggak ngerti? Kamu pikir kami nggak tahu kamu pengin bebas? Tapi kebebasan itu ada batasnya! Kalau kamu terus begini, kamu bukan cuma nyakitin diri sendiri… kamu juga bikin malu keluarga ini!”
Kata malu itu menancap dalam. Maya mendengus, lalu berdiri.
“Malu? Malu karena aku nggak jadi anak penurut kayak yang kalian mau? Maaf ya, aku bukan tipe anak yang bisa disetir seenaknya!” Maya menatap kearah Alin yang kini ikut menunduk.
Ibunya terdiam, terlihat tersinggung sekaligus sedih.
Maya menatap mereka sebentar, lalu berbalik menuju kamarnya. “Kalau buat kalian aku salah cuma karena aku pengin jadi diri sendiri, ya udah. Biarin aku salah.”
Pintu kamarnya dibanting keras, meninggalkan ruang tamu yang sunyi namun penuh bara.
......................
Begitu pintu kamar tertutup, terdengar suara langkah ringan. Alin muncul di ambang pintu, tangan di saku celana, tangan satunya terlihat menjinjing sebungkus keripik kentang. Wajahnya tenang tapi matanya sedikit menahan tawa.
“kak… lo mau cerita?, atau mau gue jagain lo biar nggak kebanyakan drama sendirian?”
Maya menatapnya, setengah kesal, setengah lega. “Ngapain lo kesini? ntar lo bangun kesiangan gue lagi yang dimarahin,”
Alin mendekat, duduk di ujung tempat tidur.
“Tenang… gue kesini nggak bakal komentar tentang ‘kebebasan’ lo itu kok. Tapi… kalau lo mau nangis atau ngomel, gue siap jadi penonton setia.”
Maya menggeleng, tapi sedikit senyum. “Tumben lo baik gitu, duta keripik aja mau dengerin curhatan gue?, banjir tuh ntar air mata,”
Alin mengangkat bahu. “Justru itu bakat terpendam gue. Sekarang, tarik napas… bayangin musik diskotiknya diubah jadi suara ayam jago. Dijamin langsung berkurang gregetnya.”
Maya tertawa kecil, menahan campuran emosi di dadanya. Malam itu, meski hatinya masih panas, hadirnya Alin membuatnya merasa tidak sepenuhnya sendirian.
...****************...
Pagi itu rumah terasa tegang. Maya turun dari kamar dengan rambut acak-acakan, masih memakai kaus longgar bekas tidurnya. Ia menemukan kedua orangtua nya tengah duduk di ruang makan, wajah mereka serius seakan sedang menunggu vonis.
Sementara Alin dia sudah berangkat kuliah sejak tadi.
“Duduk, Maya,” kata ayahnya singkat.
Maya mengangkat alis, mencomot gorengan di meja tanpa banyak pikir. “Wih, serius amat. Kayak sidang KPK aja.”
Ibunya menatapnya tajam. “Kamu pikir ini main-main, Maya? Kami sudah tidak bisa diam lagi.”
Maya berhenti mengunyah, lalu bersandar santai di kursi. “Oke, jadi vonisnya apa nih? Penjara seumur hidup karena aku pulang jam tiga pagi?”
Ayahnya mengetuk meja dengan keras. “Cukup, Maya! Mulai besok kamu masuk pesantren.”
Gorengan yang ada di mulut Maya hampir saja tersemprot. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata melebar. “Pesantren? Serius nih? Kalian bercanda kan? Aku tuh udah besar, bukan anak TK lagi. Masa iya udah segede ini masuk pesantren!”
Ibunya menggeleng, suaranya mantap. “Ini keputusan kami, Maya. Kamu terlalu liar. Kami nggak mau kamu rusak. Di pesantren, kamu akan belajar disiplin, agama, dan tahu batasan. Lagipula pesantren yang ini khusus untuk yang sudah seperti kamu ini",
Maya tertawa kecil, tapi tawa itu hambar. “Aduhh mah dsiplin? Batasan? Mah, pah… masa iya seorang Maya yang lebih cocok jadi pemandu karaoke ini bakal alih profesi jadi santri sih, plis not my style!”
Ayahnya menatap lurus ke matanya. “Kalau kamu tetap tinggal di rumah ini, kamu harus ikut aturan kami. Dan aturan kami sekarang adalah pesantren.”
Maya terdiam. Hatinya bergolak, antara marah, bingung, sekaligus takut. Ia tahu, sekali orang tuanya sudah bicara seperti ini, jarang sekali bisa digoyahkan.
Ia berdiri, kursinya bergeser keras di lantai. “Jadi gitu? Karena aku nggak sesuai sama bayangan anak ideal kalian, aku dibuang ke pesantren?”
Ibunya menghela napas panjang. “Kami nggak buang kamu, Maya. Kami selamatkan kamu.”
Maya menatap mereka dengan mata berair, meski ia buru-buru memalingkan wajah agar air mata itu tak terlihat. “Selamatkan? Atau sekadar bikin aku jadi boneka aturan?”
Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas kembali ke kamarnya, membanting pintu lebih keras dari semalam.
Di dalam kamar, Maya menendang tas ranselnya sendiri. Ia berbaring di kasur, menutup wajah dengan bantal. Untuk pertama kalinya, tawanya benar-benar hilang.
Diskotik, lampu, kebebasan semuanya seperti menjauh. Yang tersisa hanyalah tembok tinggi pesantren yang kini membayangi masa depannya.
Dengan cepat ia mengambil handphone nya. Melakukan panggilan pada Mika, orang yang mungkin bisa membantunya kali ini.
Panggilan tersambung,
" Hai May..... tumben lo telpon gue pagi-pagi gini, mau minta ceramah pagi lo", Mika terdengar santai dari sebrang sana.
"Mikaaaaaa.....tolongin gue, gue mau dimasukin ke pesantren gimana ini huhu", rengeknya begitu nyaring.
"What?!.. serius lo May?," Mika terdengar tidak percaya .
"Demi rumah spongebob, gue serius!gimana dong!",
"May..gue ga bisa lakuin apapun, saran gue untuk kali ini gak ada salahnya kan nurutin keinginan orang tua lo?, ya setidaknya masa depan lo lebih terarah. Daripada kayak sekarang lo luntang lantung gak tau arah gini", Ujar Mika mencoba memberi Maya saran.
"Ah! nyebelin lo!",
Maya berdiri, hatinya kembali panas sahabatnya justru lebih mendukung orang tua nya. Dengan perasan kesal ia mematikan panggilan itu sepihak.
Ia merenung,walaupun tidak terima tapi kata-kata Mika ada benarnya. Cepat-cepat ia menampik perasaan itu. Mengambil bantal dan menutupi wajahnya. Masuk Pesantren adalah hukuman terberat baginya.
✨️Bersambung✨️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Rian Ardiansyah
ihh keren bngtttt,di tungguu kelanjutan nyaaaa kak😍
2025-09-17
1