NovelToon NovelToon

Om Duda Genit

Awal Baru Di Kontrakan Baru

Naya akhirnya tiba di kontrakan barunya. Mobil pickup yang ia sewa berhenti tepat di depan pagar besi sederhana, catnya sudah agak mengelupas, khas rumah kontrakan yang tidak baru lagi.

“Bawa masuk semua ya, Pak,” ucap Naya sambil merapikan rambutnya yang tertiup oleh angin.

“Baik, Neng,” jawab bapak-bapak pengangkut barang dengan senyum ramah. Mereka segera mengangkat tumpukan kardus, koper, dan beberapa perabot sederhana milik Naya. Suara gesekan kardus dengan lantai teras terdengar bersahutan, menambah riuh suasana siang itu.

Naya berdiri di depan pintu kontrakan, matanya menelusuri tiap sudut halaman kecil itu. Rumputnya agak liar, dindingnya bercat putih kusam, tapi entah kenapa hati Naya terasa hangat setidaknya ini miliknya sekarang, tempat yang bisa ia sebut rumah.

Beberapa barang masih tersisa di teras, termasuk koper besar berwarna biru dan satu kardus yang isinya pakaian.

“Udah, ini biar saya aja yang bawa, Pak,” kata Naya cepat, melangkah mendekat sebelum para bapak itu sempat mengangkatnya lagi.

Bapak-bapak itu mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya dengan bercanda ringan sesama mereka. Naya menghela napas pelan, lalu jongkok untuk meraih gagang koper. Ia sempat bergumam pada dirinya sendiri, “Ya ampun, baru pindah aja udah kayak jadi tukang angkut.”

Tangannya sempat gemetar sedikit karena berat, tapi ia bertekad kuat menyelesaikan semuanya. Keringat mulai membasahi pelipisnya, meski angin sore agak sepoi-sepoi.

Sambil menyeret koper ke dalam rumah, Naya menyunggingkan senyum tipis. “Well, selamat datang di rumah baru, Nay.”

Setelah selesai menyeret koper biru masuk, Naya kembali ke teras. Masih ada satu kardus besar yang menunggu untuk diangkut. Ia meraih kardus itu, menahannya di pelukan, lalu berjalan sedikit terhuyung karena beratnya.

Begitu hendak melangkah masuk, matanya tanpa sengaja melirik ke arah seberang pagar ke rumah yang ada di samping kontrakannya. Rumah itu mewah sekali. Cat putihnya masih mengilap, pagar tinggi dengan ornamen elegan, bahkan halamannya luas lengkap dengan taman kecil. Kontras banget dengan kontrakannya yang sederhana dan agak kusam.

“Wih, tetangga gue sultan, nih,” gumam Naya setengah kagum, setengah minder.

Tapi kekaguman itu cuma sebentar, karena pandangannya tiba-tiba menangkap sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.

Di halaman rumah megah itu, seorang laki-laki sedang olahraga. Badannya tinggi, tegap, dengan otot yang jelas terbentuk. Dan, yang bikin Naya kaget, dia sama sekali nggak pakai baju. Keringatnya berkilau diterpa cahaya matahari, membuat otot-ototnya makin terlihat jelas.

Mata Naya langsung melebar. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena kardus berat di pelukannya, tapi karena pemandangan tak terduga itu.

Kemudian Naya buru-buru masuk ke dalam rumah. Baru melangkah dua tapak, tiba-tiba ia malah tersandung kakinya sendiri. Tubuhnya oleng ke depan, nyaris saja jatuh menabrak tumpukan kardus di dekat pintu.

Ia cepat-cepat berdiri tegak, menutup pintu, lalu menyandarkan punggungnya sebentar di sana. Pandangannya menyapu ruangan kontrakan sederhana itu dua kamar kecil, kardus masih menumpuk, plastik belanjaan berserakan di lantai.

Meski berantakan, ada sedikit rasa hangat yang merambat di dadanya. Rumah ini akan jadi tempat barunya, tempat ia mulai menata ulang hidup.

“Oke, sekarang tinggal beres-beres,” ucap Naya sambil menepuk-nepuk tangannya yang berdebu. Ia lalu merenggangkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan ke atas sampai terdengar bunyi krek kecil dari punggungnya. “Aduh… ini badan udah kayak nenek-nenek.”

Dengan sisa tenaga, ia mulai membuka kardus-kardus yang menumpuk di ruang tengah. Suara robekan lakban menemani setiap gerakannya. Satu per satu, barang-barangnya keluar: pakaian, buku-buku kuliah, rak lipat, sampai bantal guling yang sudah agak kempes.

Kontrakan itu sederhana. Ruang tamunya tidak terlalu luas, tapi cukup untuk ditaruh sofa kecil nanti. Dindingnya putih kusam, ada bercak sedikit di pojok, tapi menurut Naya masih oke. Yang penting, ada dua kamar tidur.

“Lumayan, bisa jadi kamar pribadi sama kamar tamu,” gumamnya sambil melirik pintu kayu yang berjejer di sisi kanan. Sesaat, ia membayangkan kalau suatu saat orang tuanya atau sahabatnya main ke sini, mereka bisa menginap dengan nyaman.

Naya lalu menyeret koper ke kamar pertama, yang ukurannya sedikit lebih besar. “Ini pasti jadi kamar gue. Nggak mungkin gue ngalah sama… siapa coba?” ujarnya sambil tertawa kecil pada dirinya sendiri.

Ia menepuk-nepuk kasur tipis yang sudah dibentangkan, kemudian mulai menyusun lemari lipat di sudut kamar. Tangannya sibuk, tapi pikirannya terus melayang. “Rasanya kayak mimpi. Akhirnya punya tempat tinggal sendiri. Meski sederhana, tapi ini punya gue. Bukan numpang lagi.”

Setelah beberapa saat, Naya kembali ke ruang tengah. Masih ada beberapa kardus yang harus dibongkar. Ia jongkok, membuka salah satunya yang penuh berisi piring plastik, mug favorit, dan wajan kecil.

“Aduh… kalau masak pakai ini, kira-kira bisa nggak ya jadi chef dadakan?” katanya sambil mengangkat wajan itu tinggi-tinggi, lalu terkekeh sendiri.

Keringat mulai menetes di pelipisnya, tapi Naya tetap semangat. Ia menyalakan kipas angin kecil yang dibawanya dari rumah lama, lalu duduk sebentar di lantai sambil menatap seisi kontrakan yang mulai lebih rapi.

“Not bad, Nay. Not bad at all,” ujarnya bangga, meski masih ada banyak barang berserakan di sekitarnya.

“Oke, sekarang tinggal buka kardus selanjutnya” ucap Naya sambil menepuk-nepuk kedua tangannya.

Dengan semangat setengah kendor, Naya mulai membuka kardus yang selanjutnya. Isinya? Ternyata pakaian yang asal dilipat. Celana jeans nyempil di antara daster, hoodie ketindihan handuk.

“Ya Allah, Nay… gaya packing lo tuh bener-bener kayak orang dikejar debt collector,” omelnya pada diri sendiri, sambil menumpuk baju-baju itu di atas kasur tipis di ruang tengah.

Ia lalu berjalan ke kamar pertama, kamar yang lebih besar. Cat putihnya sudah agak pudar, tapi jendelanya lebar dan cahaya sore bisa masuk dengan lembut. Naya berdiri sebentar, tangannya bertolak pinggang. “Oke, ini fix jadi kamar gue. Harus, nggak bisa ditawar.”

Dengan susah payah, ia menyeret kasur ke dalam kamar. Bunyi gesekan kasur dengan lantai membuatnya meringis. “Kalo ada CCTV di sini, pasti gue keliatan kayak gladiator adu kuat sama kasur.”

Setelah kasur beres, ia merakit lemari lipat di sudut kamar. Sekali dua kali, jarinya kejepit besi rangka. “Aww! Ih, sakit banget sumpah. Nih lemari kayaknya dendam deh sama gue.” Tapi begitu lemari berdiri tegak, Naya menepuknya bangga. “Yess! Lemari pertama di rumah baru, resmi milik gue!”

Puas dengan kamar, ia kembali ke ruang tengah. Masih ada empat kardus tersisa. Kardus berisi alat dapur: piring plastik warna-warni, mug dengan gambar kartun yang udah agak pudar, serta wajan kecil.

“Kitchen set minimalis ala mahasiswa mandiri,” ujarnya sambil mengangkat piring plastik seperti mempersembahkan harta karun. Ia bawa semua itu ke dapur kecil yang menempel di ruang belakang. Dapurnya sederhana, cuma ada kompor satu tungku dan wastafel mungil. Tapi Naya tersenyum. “Oke, setidaknya cukup buat bikin indomie… eh, nggak boleh indomie. Oke, cukup buat bikin tumis kangkung.”

Kardus ketiga penuh dengan buku-buku kuliah. Naya mengangkatnya pelan-pelan karena lumayan berat. “Ya ampun, kenapa sih gue nggak jadi anak jurusan tari aja? Biar bawaan cuma baju latihan.” Ia menaruh semua buku itu di meja kecil dekat jendela, niatnya jadi pojok belajar.

Sementara kardus terakhir ternyata berisi barang-barang kecil: boneka beruang lusuh pemberian sahabatnya, bingkai foto lama, dan beberapa hiasan dinding. Begitu melihat boneka itu, wajah Naya langsung melunak. “Kamu ikut juga ya, BiBi,” katanya sambil menaruh boneka di atas kasur.

Setelah hampir dua jam berkutat, kontrakan kecil itu mulai tampak lebih hidup. Kamar sudah tertata, dapur lumayan rapi, dan ruang tengah tidak lagi penuh kardus.

Naya akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke kasur. “Hufttt…” napasnya keluar panjang. Ia menatap langit-langit, membiarkan kipas angin kecil meniup wajahnya.

“Selamat datang di babak baru hidup lo, Nay,” gumamnya pelan. Senyumnya muncul, tipis tapi tulus. Meski lelah, ada rasa bangga yang tidak bisa ia jelaskan.

Malam itu, di kontrakan sederhana dengan dua kamar dan cat dinding kusam, Naya merasa seolah baru membuka lembaran baru yang penuh kemungkinan.

Gombalan Jam Tujuh Pagi

Di luar, pagi mulai merekah. Embun menempel manja di ujung dedaunan, berkilau terkena sinar matahari yang malu-malu menembus celah tirai. Suara kicauan burung terdengar begitu merdu, seakan jadi musik pembuka hari yang baru.

Naya terbangun dengan mata yang masih berat. Ia duduk perlahan di atas kasurnya yang masih berantakan, lalu bengong beberapa detik sambil menatap langit-langit. Tangannya meraih gelas di meja samping, meneguk air putih hingga tandas, merasakan kesegarannya mengalir di tenggorokan.

“Huft… untung hari ini libur. Bisa istirahat sekalian beres-beres rumah,” gumamnya, suara serak khas orang baru bangun.

Ia meregangkan tubuhnya, menguap lebar sambil mengacak-acak rambut sendiri. Pandangan matanya jatuh pada tumpukan kardus yang masih memenuhi kamar yang masih belum ia rapihin. Sejenak ia menghela napas panjang. “Aduh, masih banyak banget yang harus diberesin. Kayak lagi perang sama kardus,” keluhnya sambil tersenyum kecut.

Perlahan, Naya berdiri, membuka jendela kamarnya. Udara pagi yang sejuk langsung menyapa wajahnya, membuatnya merasa sedikit lebih segar. Hari itu akan ia mulai dengan segudang pekerjaan rumah, tapi entah kenapa, ia merasa cukup bersemangat.

Kemudian Naya berjalan gontai menuju kamar mandi. Begitu masuk, ia langsung mengambil sikat gigi, menyalakan keran, dan mulai menggosok giginya sambil sesekali melirik wajahnya yang masih terlihat setengah mengantuk di cermin. Busa pasta gigi memenuhi mulutnya, membuatnya menggumam seperti orang yang lagi ngomel-ngomel sendiri.

Setelah selesai, ia membasuh muka berkali-kali dengan air dingin hingga kulitnya terasa segar. “Ahh… lumayan, segeran dikit,” gumamnya sambil menepuk-nepuk pipinya pelan.

“Oke, saat ini gue beli sarapan dulu. Nanti baru deh belanja bahan-bahan masakan,” ucapnya, kali ini lebih bersemangat.

Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan penampilannya sebentar. Dengan cepat, tangannya meraih karet rambut dan mengikat rambutnya ke atas dalam gaya simple. Penampilannya sangat santai kaos longgar dan celana pendek cukup untuk sekadar keluar sebentar mencari makanan.

“Hmm… udah kayak anak kosan banget,” katanya sambil tersenyum miring melihat bayangannya sendiri. Ia lalu mengambil dompet kecil dan ponselnya, siap melangkah keluar untuk mencari sarapan.

Kemudian Naya melangkah keluar dari kontrakan kecilnya. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, ia menghirup dalam-dalam udara pagi yang masih segar. Hembusan angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang masih berembun. Senyumnya merekah tipis, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan.

Dengan langkah santai, ia berjalan menyusuri jalan menuju penjual sarapan yang letaknya tidak jauh dari kontrakan. Warung sederhana itu sudah dipenuhi aroma wangi nasi uduk yang khas, bercampur dengan gorengan hangat yang baru saja diangkat dari penggorengan. Suasana terasa begitu hidup; suara motor lalu-lalang, obrolan ibu-ibu yang sedang antre, serta anak-anak kecil yang berlarian membuat pagi itu terasa akrab.

“Permisi, Bu. Nasi uduknya masih ada?” sapa Naya ramah sambil mendekat ke meja dagangan.

“Masih, Neng. Mau berapa bungkus?” jawab ibu penjual, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah.

“Yaudah, bungkus satu ya, Bu,” ucap Naya cepat, tangannya merogoh dompet kecil.

“Oke, Neng, tunggu sebentar ya,” balas si ibu sambil mulai meracik pesanan dengan cekatan.

Sambil menunggu, Naya menoleh ke sekeliling. Matanya menangkap beberapa wajah tetangga baru ada bapak-bapak yang sedang menyeruput kopi di bangku panjang, ada juga anak-anak kecil yang berebut jajan di meja. Rasanya seperti masuk ke dunia baru yang penuh warna.

“Nengnya baru ya di sini? Soalnya baru lihat,” tanya ibu penjual sambil tetap sibuk melipat kertas nasi.

Naya terkekeh kecil, agak canggung. “Hehe, iya, Bu. Saya baru pindah kemarin. Jadi masih agak bingung-bingung juga.”

“Oalah… pantes. Ya semoga betah ya, Neng. Di sini orang-orangnya ramah kok,” kata ibu penjual sambil menyerahkan bungkusan nasi uduk.

“Terima kasih banyak ya, Bu,” jawab Naya sambil menerima bungkusan hangat itu dengan senyum lega.

Setelah itu, Naya berjalan santai menuju kontrakannya dengan bungkusan nasi uduk di tangan. Langkahnya pelan, sesekali ia membuka sedikit plastiknya lalu menghirup aroma gurih nasi uduk yang begitu menggoda.

“Wah, harum banget… jadi makin nggak sabar,” gumamnya sambil tersenyum kecil, perutnya langsung ikut bernyanyi minta diisi.

Namun, saking asyiknya menghirup aroma sarapan, Naya tidak memperhatikan jalan di depannya. Bruk! Tubuhnya menabrak seseorang cukup keras hingga bungkusan nasi uduk di tangannya hampir terlepas.

“Eh! Maaf, maaf!” seru Naya refleks, buru-buru menegakkan tubuh sambil memeluk erat bungkusan sarapannya agar tidak jatuh.

Perlahan ia mendongakkan kepala, dan matanya langsung berhadapan dengan sosok laki-laki tinggi yang tampak akan bersiap lari pagi. Kaos tipis tanpa lengan melekat di tubuh atletisnya, keringat tipis masih menempel di kulit, dan earphone menggantung di lehernya. Wajahnya tampak serius tapi segar, seperti orang yang memang terbiasa olahraga.

Cowok itu awalnya hanya menepuk celana trainingnya yang sempat kena sedikit debu akibat tabrakan, tapi kemudian pandangannya jatuh pada Naya. Matanya bergerak dari atas ke bawah dengan santai, seolah sedang menilai penampilan gadis itu.

Kaos sederhana warna putih yang Naya kenakan menempel pas di tubuhnya, dipadu dengan celana pendek selutut. Rambutnya yang dikuncir seadanya membuat wajah polosnya makin jelas terlihat.

Senyum miring muncul di sudut bibir laki-laki itu, senyum genit khas pria dewasa yang tahu persis caranya membuat lawan bicara salah tingkah. Dengan tatapan penuh percaya diri, ia menatap langsung ke mata Naya.

“Hmm… nggak nyangka, tetangga baru ternyata manis juga,” ucapnya pelan, suaranya berat dan dalam, membuat telinga Naya langsung panas.

Naya terdiam sepersekian detik, matanya berkedip cepat. “E-eh, apa?” tanyanya gugup sambil memeluk erat bungkusan nasi uduk di dadanya, seperti tameng.

Laki-laki itu hanya terkekeh kecil, lalu mengusap pelipisnya yang berkeringat. Dan menatap bungkusan nasi uduk di tangan Naya, lalu senyumnya muncul, tipis tapi jelas-jelas usil.

“Hati-hati, cantik,” suaranya berat, agak serak seksi, tapi ada nada usil yang bikin bulu kuduk Naya meremang. “Sayang banget kalau sampai jatuh… soalnya yang manis bukan cuma sarapannya, tapi juga yang bawa.”

Naya otomatis membeku. Wajahnya panas seketika. Ya Tuhan… ini om apaan sih? Gombal jam tujuh pagi?!

Pria itu terkekeh, mengangkat bahu santai. “Receh nggak apa-apa. Yang penting berhasil bikin kamu senyum, kan?”

Naya cuma mendengus, lalu buru-buru jalan cepat melewatinya. Tapi sebelum benar-benar jogging, pria itu masih sempat nyeletuk sambil melirik ke arah Naya.

“Eh, jangan sering-sering senyum gitu, ya. Bisa-bisa saya males lari pagi, maunya lari ke hati kamu aja.”

Naya hampir tersedak napasnya sendiri. Ia langsung kabur ke kontrakan dengan wajah merah padam.

Tetangga Baru, Masalah Baru?

Naya buru-buru membuka pintu kontrakan, hampir saja kunci di tangannya jatuh karena panik. Begitu berhasil masuk, ia langsung menutup pintu rapat-rapat, lalu menjatuhkan diri ke lantai ruang tamu dengan napas masih terengah.

“Ihh, sumpah ya… masih ada aja orang yang begituan,” gerutunya sambil memeluk plastik nasi uduk erat-erat. Bulu kuduknya merinding, bukan karena takut, tapi karena geli campur kesal.

Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Astaga, Nay… baru pindah sehari, udah dapet tetangga genit model gitu. Kayak di drama-drama aja.”

Naya lalu menoleh ke plastik di tangannya, menghela napas panjang. “Untung aja nasi uduk gue selamet. Kalo sampai jatuh… bisa makin parah tuh modusnya.”

Perutnya tiba-tiba berbunyi kencang. Ia menepuk-nepuk perutnya sambil mendecak. “Duh, drama pagi-pagi begini bikin lapar dua kali lipat.”

Dengan cepat, Naya membuka plastik nasi uduk, aroma gurih langsung menyeruak. Ia meraih sendok sekali pakai, lalu menyuap sambil masih mengomel sendiri.

“Gila… itu om-om beneran pede banget sih. Mana gombalnya receh pula. Ihhh, merinding!”

Naya menyendok suapan terakhir nasi uduk, lalu bersandar di dinding sambil mengelus perut. “em… enak banget, parah. Fix! Ini bakal jadi langganan gue tiap pagi,” gumamnya dengan wajah puas.

Begitu sadar bungkus plastik dan sendok sekali pakai masih berserakan, Naya bangkit malas-malasan. “Oke, saatnya jadi anak kontrakan rajin.” Ia membawa semua sampah ke dapur, membuang ke tempatnya, lalu menyeka meja dengan tisu seadanya. Setelah dapur rapi lagi, Naya menghela napas panjang. “Yess… rumah kecil, perut kenyang, hidup pun tenang.”

Sementara itu, di luar, langkah kaki Arga terdengar mantap menyusuri jalan kompleks. Keringat tipis membasahi pelipisnya, kaos training yang dikenakan pun melekat di tubuh tegapnya. Meski napasnya teratur karena terbiasa lari, pikirannya melayang.

Ingatan tentang gadis di rumah sebelah muncul begitu saja. Gadis itu Naya.

Sore kemarin, saat Arga sedang angkat beban kecil di halaman rumahnya, ia mendengar suara gaduh dari arah kontrakan sebelah. Penasaran, ia menoleh. Di sana, Naya tampak sedang berjuang mengangkat sebuah kardus besar. Langkahnya goyah, wajahnya serius, tapi justru terlihat kocak karena bibirnya mengomel sendiri.

Arga hanya berdiri, menatapnya dalam diam. Senyum tipis sempat muncul di sudut bibirnya. “Gadis aneh,” batinnya waktu itu, lalu ia kembali ke latihannya tanpa banyak pikir.

Namun, pagi ini… lain cerita.

Barusan ia malah bertabrakan langsung dengan Naya. Wajah polosnya yang kaget, cara ia buru-buru minta maaf, bahkan ekspresi paniknya saat dipuji receh semua itu berputar di kepala Arga.

Ia tersenyum tipis di sela-sela larinya, kali ini lebih lama. “Lucu juga, tetangga baru,” gumamnya pelan, tapi wajahnya tetap dingin seperti biasa.

Langkah Arga makin mantap, tapi ada sesuatu di hatinya yang terasa ringan. Seperti ada hiburan kecil yang datang tiba-tiba di rutinitasnya yang monoton.

***

Siang itu, Naya bertekad menyelesaikan misi berikutnya: menata sisa barang-barang yang masih berantakan. Ia lalu menatap dapur kecil di pojok kontrakan dengan penuh semangat.

“Oke, dapur cantik, mari kita bikin kamu layak huni,” katanya sambil membuka kardus besar yang berisi alat masak.

Satu per satu, ia mengeluarkan piring plastik warna-warni, mug-mug dengan desain random, dan sendok garpu yang dikumpulkan sejak zaman kos dulu. “Hmm… piring biru buat makan sendiri, piring pink buat… ya nggak tahu, siapa tahu nanti ada tamu,” gumamnya sambil menyusunnya rapi di rak kecil dekat wastafel.

Wajan kecil yang mulai menghitam di bagian bawah juga ikut ia letakkan di kompor satu tungku. “Nih wajan, setia banget nemenin gue dari kos-kosan. Jangan pensiun dulu, ya.”

Begitu semua alat dapur rapi, Naya menepuk tangannya puas. “Yesss! Dapur sederhana ala chef kontrakan, sukses.”

Ia lalu kembali ke ruang tamu. Kardus lain sudah menunggu untuk dibongkar. Begitu dibuka, isinya bikin wajah Naya melembut beberapa bingkai foto kecil, boneka beruang lusuh, dan hiasan dinding sederhana.

Naya tersenyum saat memegang salah satu bingkai. Foto dirinya bersama sahabat SMA. “Aduh, kangen banget sama kalian,” gumamnya pelan. Ia menaruh bingkai itu di atas meja kecil. Satu bingkai lagi berisi foto keluarganya, yang akhirnya ia pasang di rak dinding.

“Lumayan, rumah jadi lebih hidup,” katanya sambil mundur beberapa langkah, menatap hasil karyanya.

Namun, matanya langsung berhenti di gorden ruang tamu yang kusam, warnanya sudah pudar, bahkan ada benang yang terurai di ujungnya. “Hmm… gini amat, ya. Bikin suasana rumah kayak horor.”

Tanpa pikir panjang, Naya mengambil gorden baru yang sudah ia beli dari pasar seminggu lalu. Warnanya krem lembut, sederhana tapi bersih. Ia membuka kursi lipat, lalu naik setengah hati-hati, setengah ngawur.

“Ya Allah, jangan sampe gue jatuh, baru juga pindah,” gumamnya sambil mengaitkan gorden baru ke rel. Sesekali ia harus meraih ujung kain yang susah dipasang, sampai tubuhnya hampir oleng.

Begitu gorden akhirnya terpasang, Naya turun sambil menghela napas lega. Ia menepuk-nepuk tangannya, lalu berdiri di tengah ruang tamu dengan wajah puas.

“Wah, beda banget! Ganti gorden jadi agak mendingan,” katanya, tersenyum lebar. Sinar matahari siang pun menembus lembut lewat kain gorden baru itu, membuat ruangan sederhana itu terasa lebih hangat.

Begitu semua rapi, Naya akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke kasur tipis di kamar. Punggungnya langsung protes, rasanya pegal-pegal setelah seharian bongkar barang.

“Ya ampun… pindahan tuh bener-bener olahraga gratis,” gumamnya sambil meregangkan tangan ke atas.

Ia sempat berniat cuma rebahan sebentar, tapi begitu pipinya nempel bantal, matanya langsung kalah. Dalam hitungan menit, napasnya mulai teratur, wajahnya tenang, dan dunia pun terasa menjauh.

Di luar kamar, waktu terus berjalan. Matahari mulai bergeser, menyorot lembut lewat gorden baru yang tadi ia pasang. Kontrakan itu jadi lebih hidup, meski penghuninya terlelap.

Dari balik jendela, samar-samar terdengar suara laki-laki beraktivitas di halaman sebelah. Suara hantaman bola basket ke lantai, ritmenya teratur, diselingi teriakan kecil, “Yes!” setiap kali bola masuk ke ring. Sesekali, terdengar pula tawa rendah yang seolah bercampur dengan hembusan angin sore.

Itu suara Arga tetangganya yang terlihat cuek tapi entah kenapa auranya selalu bikin penasaran.

Naya di kamar berguling pelan, mendengkur kecil tanpa sadar. Dalam mimpinya, ia sedang duduk di dapur barunya, makan mie goreng sambil nonton drama Korea favorit. Sementara di dunia nyata, suara pantulan bola dan hembusan angin sore jadi latar yang seakan menghubungkan dua dunia sederhana kamarnya yang tenang dan halaman tetangganya yang penuh energi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!