Pintu kamar terbanting keras, suara kunci berputar memutus semua jalan keluar.
Aurora menoleh cepat, napasnya terengah. Kamar itu luas dinding kaca memamerkan panorama malam kota, lampu-lampu berkilau bagaikan ribuan mata yang menyaksikan.
Namun di dalam, udara terasa dingin, terperangkap antara wangi kulit, kayu, dan bayangan pria yang kini berdiri menutup jalan.
Kairos bersandar sejenak pada pintu, jas hitamnya masih rapi, dasinya sedikit longgar. Tatapan abu-abunya jatuh tepat pada Aurora, tatapan yang menusuk hingga menembus lapisan keberanian gadis itu.
Aurora melangkah mundur, punggungnya hampir menyentuh meja panjang marmer. “Anda gila… anda tidak bisa menahan saya di sini,” suaranya pecah, tapi masih mencoba terdengar tegas.
Kairos tidak menjawab. Ia hanya berjalan perlahan, langkah sepatunya terdengar berat di lantai. Setiap langkahnya membuat jantung Aurora berpacu lebih cepat, seolah lantai itu sendiri bergetar karena kehadirannya.
“Signorina Ricci…” suara itu rendah, nyaris berbisik, tapi justru membuat bulu kuduk berdiri.
“Kau terlalu berani menantangku.”
Aurora menggenggam ujung meja, kukunya menancap pada permukaan dingin marmer. “Saya tidak takut pada anda Tuan Valente.”
“Oh ya?”
Kairos berhenti tepat di hadapannya. Tatapan abu-abu itu turun, memandang Aurora yang mencoba menegakkan dagu. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya—bukan ramah, tapi smirk yang penuh kuasa.
“Tidak takut?” tangannya terulur, menangkup dagu Aurora dengan paksa, membuat wajah gadis itu mendongak menatapnya. “Lalu kenapa matamu bergetar?”
Aurora menahan napas. Tatapannya ingin membakar, namun tubuhnya bergetar halus. Pengkhianatan kecil yang pasti terlihat jelas oleh Kairos.
“Anda monster,” desis Aurora.
Kairos menunduk sedikit, jarak wajah mereka hanya sejengkal. Nafasnya hangat, namun auranya bagai es yang menusuk.
“Monster yang bahkan… mungkin lebih baik dari keluargamu sendiri.”
Aurora mencoba menepis tangannya, tidak terlalu fokus dengan ucapan Kairos. Namun, sekeras apapun usahanya, genggaman itu terlalu kuat.
“Lepaskan saya…” bisik Aurora, kali ini suaranya terdengar lebih rapuh.
“Dalam mimpi mu!”
Deg!.
Kairos mendekat lebih jauh, tubuhnya hampir menutup ruang bernafas Aurora. Pria itu menatapnya lama, tatapan abu-abunya mengunci tanpa memberi ruang lari.
“Lihat dirimu, Aurora… gadis kecil dari keluarga bangkrut yang bahkan tidak mampu menjaga atap di atas kepalanya. Jangan berani menatapku dengan benci, seolah kau setara denganku.” Tekan Kairos dengan tatapan dan kalimat pedasnya.
“Keluarga Ricci hanyalah parasit menjijikkan yang bertahan hidup dari belas kasihan dan ingat, sekarang aku adalah satu-satunya alasan kalian belum terinjak habis.”
Aurora menutup mata sejenak, berusaha menahan air mata dan rasa takut yang bercampur.
Melihat wajah tertekan Aurora, Kairos akhirnya melepaskan dagu gadis itu, namun tangannya tidak menjauh.
Ia menepuk pelan pipi Aurora, sebuah gestur ringan yang justru terasa lebih mengintimidasi daripada cengkeraman keras.
“Mulailah terbiasa dengan kehidupan seperti ini,” suaranya dalam, dingin, namun ada nada samar yang sulit ditangkap. “Karena aku tidak akan membiarkanmu pergi.”
Aurora menelan ludah, tubuhnya masih menegang. Dalam diam, ia sadar satu hal, ia terperangkap dalam dunia Kairos, dunia yang kejam, dingin, namun anehnya menyedot dirinya semakin dalam.
Tanpa kata, Kairos berjalan menuju walk-in closet, mengambil sebuah handuk lembut yang tergantung rapi, lalu memberikannya kepada Aurora.
Matanya lalu mengisyaratkan ke arah kamar mandi, sebuah lompatan pandangan sederhana, namun penuh arti.
Gerakan itu lembut, sebuah kode yang seolah berkata.
“Pergilah, bersihkan diri.”
Aurora menatap handuk di tangannya, lalu menatap mata Kairos. Kebingungan merayap di wajahnya. Maksud pria itu apa? Tawaran? Sindiran? Atau perintah terselubung?.
Jantungnya berdetak kencang antara amarah dan rasa takut, ia mencoba mencari jawaban dalam pandangan itu.
Kairos menurunkan handuk, meletakkannya di sandaran sofa, namun tetap berdiri dekat. Suaranya keluar, rendah dan tenang, tidak sekeras komando sebelumnya.
“Mandi saja kalau kau mau merasa lebih manusia,” katanya, nada datar namun menyingkap maksud yang tak sepenuhnya ramah.
Aurora mengernyit, tidak bergerak sedikitpun seolah tubuhnya terkunci.
Kairos menatap Aurora beberapa saat lagi, satu alisnya terangkat, sebuah gestur kecil menunjukkan ia sedang kesal. Di wajahnya ada ketidaksabaran yang nyaris nyata. Aurora tetap duduk membeku, tidak ada gerakan.
“Baiklah sepertinya kamu memang senang dipaksa.”
Dia mendekat. Sekali gerak, kuat dan cepat tangan Kairos melingkar di bawah lutut dan punggung Aurora, gerakannya brutal, tanpa romantika lalu ia mengangkatnya ala bridal carry.
Aurora berteriak. “Hey, Tuan!, lepaskan saya!, Jangan seenaknya gini dong!.”
Gadis itu memukul bahu Kairos, meronta, namun upayanya hanya membuat kemeja Kairos berkerut. Bagi pria itu, seluruh perlawanan itu hanya riak kecil yang tak cukup mengganggu.
Langkahnya pasti, menempuh karpet mahal, membuka pintu kamar mandi dengan sikap seperti memindahkan barang yang merepotkan.
tbc🐼
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments