Cahaya matahari terik menusuk mata Chunhua ketika ia perlahan membuka kelopak. Tercium udara kering, bercampur bau debu dan amis samar darah yang sudah lama mengering.
Ia sempat membeku. Apakah tadi semua hanya mimpi?
“Apakah kamu terluka?” Suara lembut memecah kesunyian.
Chunhua menoleh. Seorang pemuda berdiri tak jauh, keringat menetes dari pelipisnya, wajahnya teduh namun gugup.
“Apakah kamu bertemu penyintas lain?” tanyanya lagi.
Chunhua mengerjap, bingung.
Pandangannya kabur sesaat, lalu fokus.
Reruntuhan dinding setengah roboh di belakangnya, puing bata berserakan, cahaya memantul panas di atas logam berkarat. Angin meniupkan tirai debu tipis.
“Aku kembali?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Hei, bisa berdiri? Butuh bantuan?” Pemuda itu kembali bertanya dan mengulurkan tangan.
Chunhua menatapnya lama, sebelum akhirnya meraih tangannya. Jemari pemuda itu hangat, kuat, menopangnya untuk duduk.
“Si Yan?” Chunhua ragu.
Mata pemuda itu terbelalak. “Ah! Kamu tahu namaku?” Pipi Si Yan memerah, matanya berbinar. Apakah aku benar-benar terkenal sampai gadis cantik ini tahu namaku?
Chunhua hanya mengangguk pelan, membenarkan.
“Aku tidak pernah melihatmu, kamu bukan dari pangkalan Shu?” tanya Si Yan penasaran.
Chunhua menggeleng. “Kota Mo.”
Si Yan terperanjat. “Kota Mo? Bagaimana kamu bisa selamat dari gelombang zombi?” ujarnya, sebelum buru-buru meralat. “Maksudku—selamat itu bagus! Hanya saja…”
“Aku pergi sebelum gelombang zombi,” jawab Chunhua singkat. Suaranya datar, seakan itu cukup menjelaskan.
“Oh, begitu…” Si Yan tersenyum lega. “Kalau begitu kamu sangat beruntung!” Ia merogoh tas lusuh di bahunya dan mengeluarkan sebatang kecil cokelat. “Kamu di sini untuk persediaan?”
Chunhua menerima cokelat itu. Bungkus kertasnya lecek, agak lengket karena panas. Ia mengupasnya perlahan, lalu mematahkan sekeping. Rasa manis pahit yang seharusnya tidak terasa. Hanya hambar di lidahnya. Namun, bibirnya tetap mengucap lirih, “Terima kasih.”
“Sama-sama,” sahut Si Yan ceria. “Kota Mo sudah hilang… kemana kamu akan pergi? Apakah pangkalan Shu?”
Chunhua mengangguk, menelan potongan terakhir cokelat itu.
“Bagus! Mungkin kamu bisa pergi bersama—”
“Si Yan, dengan siapa kamu bicara?” Suara berat memotong kalimatnya.
Langkah kaki terdengar menghentak di atas puing, logam beradu menimbulkan denting tajam.
Dari balik bangunan setengah roboh, seorang pria berwajah dingin muncul. Pedangnya berlumur darah hitam yang menetes, menebar bau busuk khas zombi.
“Chang Yi!” Si Yan melambaikan tangan lega. “Kamu sudah selesai?”
Chang Yi hanya mengangguk, lalu menoleh. Tatapannya jatuh pada Chunhua. Dingin dan tajam.
“Ini adalah—” Si Yan baru hendak menjelaskan ketika bilah pedang berkilat teracung. Ujungnya kini menempel tepat di leher Chunhua.
Sejenak Chunhua lupa bernapas. Ia bisa mencium darah basi yang menempel di baja itu.
“Chang Yi, apa yang kamu lakukan!” Si Yan buru-buru maju, menekan lengan rekannya, wajahnya panik.
“Siapa kamu?” suara Chang Yi dingin, penuh curiga.
“Chunhua,” jawab Chunhua tenang. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, menantang.
Alis Chang Yi berkerut, semakin tidak senang. “Siapa Chunhua?”
Si Yan memandang bergantian antara senyum penuh tantangan itu dan wajah masam Chang Yi. Seketika ia merasa letih.
Tampaknya, Chang Yi akhirnya bertemu lawan seimbang.
Yang satu suka menggoda, yang lain terlalu mudah tersulut.
“Ini Chunhua, dia penyintas dari Kota Mo!” jelas Si Yan cepat, suaranya nyaris putus asa.
Tatapan Chang Yi mengeras. Bilah pedangnya bergerak lebih dekat, dingin logamnya menyentuh kulit Chunhua.
“Dia keluar kota sebelum gelombang zombi,” tambah Si Yan cepat-cepat, seperti hendak meredakan amarah yang tak pernah mudah padam.
Chang Yi menatap tajam, pandangannya menyapu Chunhua dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Gadis itu terlalu cantik dan bersih untuk seorang penyintas. Hanya kulitnya yang pucat membuatnya terlihat sedikit ganjil, tetapi denyut hidup masih ada.
Seharusnya dia manusia.
“Chang Yi, ayo singkirkan dulu pedangmu,” bujuk Si Yan, “ada darah zombi di pedangmu. Bagaimana jika itu menginfeksi Chunhua?”
Pedang itu masih berkilat di bawah cahaya, meneteskan darah hitam pekat. Bau busuknya menusuk hidung, bercampur debu panas yang beterbangan. Chunhua tetap tersenyum tipis, seolah sama sekali tak peduli.
Akhirnya, Chang Yi menghela napas pendek.
Dengan gerakan berat, ia menurunkan senjatanya. Namun, pandangannya tidak lepas dari wajah Chunhua.
Ia meraih pergelangan tangan gadis itu. Ujung jarinya menyentuh kulit halus, merasakan denyut nadi berirama. Dada Chunhua naik-turun perlahan, tenang seperti manusia biasa.
Chunhua tersenyum puas.
Akan tetapi, sekejap kemudian, dunia di sekelilingnya pecah.
Cahaya matahari memerah. Bau besi semakin pekat. Lantai yang kokoh seolah berubah menjadi tanah becek yang dipenuhi darah. Jeritan samar bergema dari jauh.
Dalam kedipan mata, Chunhua sudah berdiri di tengah medan sura.
Ratusan mayat tergeletak, potongan tubuh berserakan. Udara sesak oleh aroma anyir yang menusuk.
Chunhua terbelalak. Ngeri mencengkeram hatinya.
Ia mengusap bibirnya dengan lengan, meninggalkan noda merah segar. Tangannya bergetar.
Lalu dia menunduk dan darah dingin mengalir di nadinya.
Si Yan tergeletak di kakinya, lehernya koyak, darah masih memancar.
Chunhua tersentak, berdiri dengan napas terengah. Pandangannya memerah, kabur oleh rasa panik.
Tidak mungkin....
Dada Chunhua serasa dihantam, suasana berputar dan mencekik.
Dia membunuhnya.
Dia membunuh Si Yan.
Suara hatinya bergema, menghantam berulang-ulang sampai hampir memecah pikirannya. Kuku-kukunya masih berlumur darah segar.
“Chunhua… Si Yan…” Suara berat menggema dari sisi lain.
Chunhua menoleh dengan mata merah basah.
Chang Yi berdiri di sana, tubuhnya berlumuran darah. Namun, tatapan lelaki itu menusuk lurus ke arahnya, penuh keterkejutan.
Tiba-tiba, sesuatu yang samar, tetapi nyata—menyentuh bahunya.
Chunhua membeku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments