Bab 5 - Senyum Palsu di Balik Luka

Suasana kamar mendadak sunyi hanya diisi oleh suara detak jam dinding yang berdentang perlahan. Senja masih terbaring lemah di ranjang besar milik Samudra. Wajahnya pucat, napasnya pelan, bulu matanya bergetar sesekali seakan mencoba membuka mata tapi gagal.

Samudra duduk di tepi ranjang, tubuh tegapnya sedikit membungkuk. Matanya menatap tajam pada gadis yang sedang tidak sadarkan diri itu. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, perasaan tak tenang yang sulit ia jelaskan.

Tak lama, suara langkah tergesa-gesa terdengar di lorong. “Tuan, dokter sudah datang,” ujar Bi Ipah yang muncul di ambang pintu bersama seorang pria paruh baya berjas putih.

“Cepat periksa dia, Dok.” Samudra bangkit, memberi ruang. “Dia pingsan tiba-tiba.”

Dokter mengangguk, meletakkan tas medisnya di meja samping lalu menunduk memeriksa Senja. Stetoskop menempel di dada gadis itu, jarum suntik kecil berisi cairan vitamin dipersiapkan. Sesekali ia menekan pergelangan tangan Senja, menghitung denyut nadi, lalu membuka kelopak matanya dengan lampu senter kecil.

Samudra berdiri di sisi ranjang, kedua tangannya bersedekap tapi jantungnya berdegup keras. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya dengan nada tegas.

Dokter menghela napas. “Tubuhnya sangat lemah. Dia jelas kelelahan berat, ditambah tidak ada asupan makanan yang cukup. Tekanan darahnya turun, itulah sebabnya dia pingsan.”

“Kelelahan?” dahi Samudra berkerut. “Bagaimana bisa? Baru kemarin dia datang ke rumah ini.”

Bi Ipah yang berdiri di dekat pintu menunduk, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia tahu benar penyebab Senja pingsan. Bukan sekadar kelelahan biasa, tapi karena perintah kejam Nyonya Luna. Namun lidahnya kelu, seolah ada rantai tak kasatmata yang menahannya.

Samudra menoleh tajam. “Bi Ipah.”

Tubuh wanita paruh baya itu bergetar. “I… iya, Tuan?”

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Nada suara Samudra dalam dan tegas, tak memberi ruang untuk mengelak. “Kenapa Senja bisa sampai tidak makan dan kelelahan begini? Kau kan di rumah seharian.”

Bi Ipah menggigit bibir. Ingin sekali ia mengucapkan kebenaran bahwa Nyonya Luna lah yang menyuruh Senja bekerja tanpa henti dan melarangnya makan. Tapi bayangan wajah garang Luna terlintas. Ancaman keras itu menggema di telinganya: ‘Sekali kau membela dia, kau akan menyesal seumur hidup.’

“Bicara, Bi!” suara Samudra meninggi. “Aku butuh penjelasan.”

Belum sempat Bi Ipah membuka suara, terdengar suara ketukan hak tinggi di lantai marmer. Aroma parfum mewah menyusup masuk, dan pintu kamar terbuka.

“Sayang…” Luna muncul dengan wajah cantik dan senyum penuh kasih. Rambutnya tersanggul rapi, bibirnya berlipstik lembut. “Apa yang terjadi di sini?”

Samudra menoleh, rahangnya mengeras. “Kau baru pulang?”

“Iya,” Luna melangkah masuk, matanya berpura-pura terkejut melihat Senja di ranjang. “Astaga! Senja? Ada apa dengan adikku?” Suaranya penuh nada khawatir, meski matanya hanya memandang sekilas.

“Dia pingsan,” jawab Samudra singkat. “Dokter bilang dia kelelahan dan kurang makan.”

Wajah Luna seketika dipenuhi ekspresi iba. “Oh, kasihan sekali… Kenapa bisa begitu, Senja?” Ia menoleh pada Bi Ipah, pura-pura kebingungan.

Bi Ipah menunduk makin dalam. Ia bisa merasakan tatapan tajam Luna yang seperti pisau mengancam dari balik senyum manis itu. Jantungnya makin berdegup kencang.

“Bi Ipah.” Samudra kembali mendesak. “Jawab pertanyaanku tadi.”

Luna berbalik menatap Bi Ipah, senyumnya tetap merekah, tapi matanya berkilat ganas. Sebuah ancaman jelas tersirat: Jangan coba-coba buka mulut.

Bi Ipah tercekat. “S-saya… saya tidak tahu, Tuan. Mungkin… mungkin Nak Senja terlalu lelah beres-beres rumah. Dia kan belum terbiasa.”

Samudra terdiam, wajahnya muram. “Hanya itu?”

“I-iya, Tuan.” Bi Ipah menunduk dalam-dalam, berharap Samudra tidak lagi bertanya.

Dokter selesai memberikan suntikan vitamin. “Dia akan sadar sebentar lagi. Tapi ingat, jangan biarkan dia kelelahan lagi. Pastikan makannya teratur.”

Samudra mengangguk. “Terima kasih, Dok.”

“Kalau begitu saya permisi.” Dokter berkemas, menunduk sopan, lalu keluar.

Keheningan menyelimuti kamar. Samudra duduk kembali di sisi ranjang. Tepat saat itu, kelopak mata Senja bergetar, perlahan terbuka.

“Senja…” Samudra mencondongkan tubuh, suaranya lebih lembut. “Kau sudah sadar?”

Senja mengerjap pelan. Pandangan matanya masih buram, tapi ia bisa melihat wajah kakak iparnya yang begitu dekat. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya lemah.

“Jangan dipaksa.” Samudra menyentuh bahunya, menahan gerakan. “Aku bantu.” Dengan hati-hati ia menopang tubuh mungil itu hingga bisa duduk bersandar di bantal.

Senja menunduk gugup, menyadari betapa dekat jarak mereka. Pipi pucatnya bersemu sedikit merah. “Maaf… merepotkan.”

“Tidak usah minta maaf.” Samudra menatapnya dalam. “Yang penting sekarang kau makan dulu.” Ia menoleh pada Bi Ipah. “Bi, siapkan makanan hangat untuk Senja. Sup ayam atau apa saja yang mudah dicerna.”

“I-iya, Tuan,” jawab Bi Ipah buru-buru lalu keluar kamar.

Luna yang berdiri di dekat pintu menggenggam erat tangannya sendiri, kukunya hampir menusuk telapak. Matanya menatap tajam adegan itu, suaminya begitu perhatian pada Senja. Rasa panas menjalari dadanya. Namun di wajahnya, senyum lembut masih terukir.

“Sayang,” suara Luna terdengar manis, penuh kelembutan. “Kau pasti lelah sepulang kerja. Biar aku saja yang merawat Senja. Kau istirahatlah di kamarmu.”

Samudra mengerutkan dahi. “Aku tidak apa-apa.”

“Tolonglah…” Luna mendekat, menyentuh lengan suaminya dengan penuh kemanjaan. “Aku kakaknya, tentu lebih tepat kalau aku yang menjaga. Kau kan besok harus kerja lagi. Aku janji akan merawatnya dengan baik.”

Tatapan Samudra melembut sedikit, meski keraguan masih ada. Akhirnya ia mengangguk. “Baiklah. Aku percayakan padamu. Tapi jangan biarkan dia kelaparan lagi.”

Luna tersenyum manis, matanya berbinar seolah penuh kasih. “Tentu, Sayang. Aku akan pastikan dia baik-baik saja.”

Samudra berdiri, menepuk pelan tangan Senja. “Istirahatlah. Jangan pikirkan apa-apa dulu.” Setelah itu, ia meninggalkan kamar.

Begitu pintu tertutup, senyum manis Luna lenyap. Tatapannya berbalik tajam penuh kebencian. Ia mendekat ke sisi ranjang, membungkuk hingga wajahnya dekat dengan Senja.

“Dengar baik-baik,” bisiknya dingin. “Kalau kau berani buka mulut pada Samudra tentang apa pun… ingat Ayahmu.”

Senja menegang, matanya melebar.

“Aku bisa pastikan dia tidak akan pernah sembuh. Bahkan mungkin… tidak akan lama lagi hidupnya.” Luna menyeringai. “Jadi tutup mulutmu rapat-rapat, adikku tersayang.”

Air mata menggenang di mata Senja. Ia hanya bisa menggenggam erat selimut, tubuhnya bergetar. Dalam hati ia tahu, ancaman itu bukan sekadar omong kosong.

Luna berdiri kembali, merapikan gaunnya lalu memasang kembali wajah lembutnya. Tepat saat Bi Ipah kembali membawa semangkuk sup ayam hangat.

“Ini, Nak Senja… makanlah,” ujar Bi Ipah.

Luna tersenyum manis pada suaminya yang tak lagi ada di ruangan. “Terima kasih, Bi. Aku akan menyuapi adikku sendiri. Kau bisa kembali bekerja.”

Bi Ipah terdiam, menatap Senja dengan sorot iba. Namun ia tak berani melawan. Perlahan ia keluar, meninggalkan Senja dalam genggaman Luna yang tersenyum palsu.

Di balik senyum itu, tersimpan janji kejam, hidup Senja di rumah ini akan selalu jadi neraka.

Terpopuler

Comments

Ariany Sudjana

Ariany Sudjana

di rumah ga ada cctv? sampai samudra begitu percaya sama Luna

2025-09-17

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 – Rumah untuk Senja
2 Bab 2 – Pelukan di Dapur
3 Bab 3 – Sarapan yang Membakar Api
4 Bab 4 - Pekerjaan yang Tak Pernah Usai
5 Bab 5 - Senyum Palsu di Balik Luka
6 Bab 6 – Dalam Gelap dan Hujan
7 Bab 7 – Luka Pagi Itu
8 Bab 8 – Saat Sakit, Saat Terlupakan
9 Bab 9 - Kehangatan di balik hujan
10 Bab 10 - Permainan Cinta
11 Bab 11 - Pagi yang mengubah
12 Bab 12 - Tuntutan Ibu
13 Bab 13 - Kepulangan pahit
14 Bab 14 - Hampir ketahuan
15 Bab 15 - Pengakuan
16 Bab 16 - Kejamnya Luna
17 Bab 17 - Tepi Danau
18 Bab 18 - Tuduhan
19 Bab 19 - Retak
20 Bab 20 - Manipulasi
21 Bab 21 - Godaan yang ditolak
22 Bab 22: Sandiwara Pagi hari
23 Bab 23 - Reuni menyakitkan
24 Bab 24 - Belum menyerah
25 Bab 25 - Pelukan di bawah bulan
26 Bab 26 - Kenyataan pahit
27 Bab 27 - Kebangkitan dendam
28 Bab 28 - Permainan dimulai
29 Bab 29 - Rahasia di balik rahasia
30 Bab 30 - Percakapan di ruang kerja
31 Bab 31 - Pesta keluarga
32 Bab 32 - Ditinggal
33 Bab 33 - Lamaran
34 Bab 34 - Setuju
35 Bab 35 - Akad nikah
36 Bab 36 - Malam pertama
37 Bab 37 - Pagi pertama
38 Bab 38 - Honeymoon
39 Bab 39 - Kemarahan di kantor
40 Bab 40 - Samudra vs Luna
41 Bab 41 - Permainan dalam permainan
42 Bab 42 - Kedatangan ibu
43 Bab 43 - Pingsan
44 Bab 44 - Antara bahagia dan kehancuran
45 Bab 45 - Tertipu
46 Bab 46 - Bukti dan harapan
47 Bab 47 - Kebebasan
48 Bab 46 - Nyidam
49 Bab 49 - Hari ketujuh.
50 Bab 50 - Penyesalan Luna
51 Bab 51 - Pertemuan
52 Bab 52 - konfrontasi akhir
53 Bab 53 - Kehidupan baru
54 Bab 54 - Kelahiran
Episodes

Updated 54 Episodes

1
Bab 1 – Rumah untuk Senja
2
Bab 2 – Pelukan di Dapur
3
Bab 3 – Sarapan yang Membakar Api
4
Bab 4 - Pekerjaan yang Tak Pernah Usai
5
Bab 5 - Senyum Palsu di Balik Luka
6
Bab 6 – Dalam Gelap dan Hujan
7
Bab 7 – Luka Pagi Itu
8
Bab 8 – Saat Sakit, Saat Terlupakan
9
Bab 9 - Kehangatan di balik hujan
10
Bab 10 - Permainan Cinta
11
Bab 11 - Pagi yang mengubah
12
Bab 12 - Tuntutan Ibu
13
Bab 13 - Kepulangan pahit
14
Bab 14 - Hampir ketahuan
15
Bab 15 - Pengakuan
16
Bab 16 - Kejamnya Luna
17
Bab 17 - Tepi Danau
18
Bab 18 - Tuduhan
19
Bab 19 - Retak
20
Bab 20 - Manipulasi
21
Bab 21 - Godaan yang ditolak
22
Bab 22: Sandiwara Pagi hari
23
Bab 23 - Reuni menyakitkan
24
Bab 24 - Belum menyerah
25
Bab 25 - Pelukan di bawah bulan
26
Bab 26 - Kenyataan pahit
27
Bab 27 - Kebangkitan dendam
28
Bab 28 - Permainan dimulai
29
Bab 29 - Rahasia di balik rahasia
30
Bab 30 - Percakapan di ruang kerja
31
Bab 31 - Pesta keluarga
32
Bab 32 - Ditinggal
33
Bab 33 - Lamaran
34
Bab 34 - Setuju
35
Bab 35 - Akad nikah
36
Bab 36 - Malam pertama
37
Bab 37 - Pagi pertama
38
Bab 38 - Honeymoon
39
Bab 39 - Kemarahan di kantor
40
Bab 40 - Samudra vs Luna
41
Bab 41 - Permainan dalam permainan
42
Bab 42 - Kedatangan ibu
43
Bab 43 - Pingsan
44
Bab 44 - Antara bahagia dan kehancuran
45
Bab 45 - Tertipu
46
Bab 46 - Bukti dan harapan
47
Bab 47 - Kebebasan
48
Bab 46 - Nyidam
49
Bab 49 - Hari ketujuh.
50
Bab 50 - Penyesalan Luna
51
Bab 51 - Pertemuan
52
Bab 52 - konfrontasi akhir
53
Bab 53 - Kehidupan baru
54
Bab 54 - Kelahiran

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!