Bab 3 – Sarapan yang Membakar Api

Matahari pagi menyelinap dari celah tirai jendela kamar utama, menebarkan cahaya hangat ke dalam ruangan. Burung-burung di taman depan mulai berkicau, tanda hari baru sudah dimulai. Namun di dalam kamar mewah itu, keheningan masih membungkus.

Di ranjang empuk dengan seprai sutra, Luna masih tertidur pulas. Rambut hitam panjangnya terurai acak, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Meski wajahnya cantik, ada bayangan malas yang begitu jelas.

Di sisi lain, seorang pria sudah berdiri rapi di depan cermin besar. Samudra, sang suami, mengenakan jas abu-abu elegan. Dasi biru tua sudah terikat sempurna di lehernya. Ia menatap pantulan dirinya, lalu menghela napas panjang.

Sejak awal pernikahan mereka dua tahun lalu, satu hal yang selalu sama, Luna tidak pernah bangun pagi. Ia tidak pernah menyiapkan sarapan, tidak pernah melipatkan dasi, bahkan tidak pernah sekadar menyeduh kopi untuk suaminya. Semua kebutuhan rumah tangga diserahkan pada ART.

Samudra sudah lelah menaruh harapan. Bahkan jika ia sengaja membangunkan Luna, perempuan itu akan tetap enggan beranjak dari ranjang.

“Ya sudahlah,” gumamnya lirih. Ia meraih tas kerjanya. “Percuma.”

Tanpa membangunkan istrinya, Samudra keluar dari kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ia menuruni tangga besar menuju lantai bawah. Sepatu kulitnya beradu pelan dengan anak tangga marmer. Aroma makanan hangat menyambutnya. Ia sedikit mengernyit, ini hal yang jarang. Biasanya, di pagi hari hanya ada roti dingin atau makanan yang dipanaskan ART.

Sesampainya di ruang makan, matanya langsung menangkap sosok gadis muda yang sedang sibuk menata hidangan. Rambutnya dikepang sederhana, tubuhnya dibalut gaun rumah polos berwarna pastel. Wajah itu terlihat segar meski tanpa make up.

Senja.

Samudra sempat tertegun. Ingatannya melayang pada kejadian dini hari tadi, pelukan salah sangka yang membuatnya malu sekaligus canggung.

Senja pun terkejut melihat kehadiran Samudra. Tangannya yang sedang menaruh mangkuk sup di meja hampir gemetar. Ia buru-buru menunduk, tidak berani menatap langsung. Pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat.

“Selamat pagi, Mas Samudra,” sapanya pelan.

Samudra berdeham, berusaha menyembunyikan keterkejutan. “Pagi, Senja. Kamu... bangun sepagi ini?”

Senja mengangguk sopan. “Iya. Aku sudah terbiasa, Mas. Sejak di rumah, setiap hari aku yang menyiapkan sarapan untuk Ayah.”

Samudra berjalan mendekat, menatap meja yang kini penuh dengan hidangan sederhana tapi terlihat menggugah selera. Ada nasi hangat, sup bening dengan potongan sayur, dan telur dadar.

“Jadi... kamu yang menyiapkan ini semua?”

“Tidak ada salahnya aku membantu,” jawab Senja lembut, masih menunduk. “Toh aku tinggal di sini, setidaknya aku bisa melakukan sesuatu.”

Samudra terdiam. Dalam benaknya, tanpa sadar ia membandingkan Senja dengan Luna. Dua perempuan yang sama-sama cantik, sama-sama memiliki sorot lembut di mata mereka. Tapi mengapa Senja bisa bangun pagi, menyiapkan sarapan, sementara istrinya sendiri tidak pernah?

Ia segera menggeleng pelan. "Tidak. Tidak pantas aku membandingkan. Apalagi... dengan adik iparku sendiri."

Samudra duduk di kursi utama, meletakkan tas kerjanya di samping. Senja kembali ke meja dapur, menyeduh kopi panas untuknya. Aroma kopi segar segera memenuhi ruangan.

“Ini kopinya, Mas,” ucap Senja, meletakkan cangkir di meja makan. Ia hendak kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaannya. Namun suara Samudra menghentikannya.

“Senja.”

Gadis itu berhenti, menoleh pelan. “Iya, Mas?”

“Temani Mas sarapan.”

Senja langsung panik. Ia menggeleng cepat. “Tidak, Mas. Aku takut Kak Luna marah. Lagipula, aku tidak lapar.”

Namun Samudra tersenyum samar, tidak mendengarkan penolakannya. Ia menarik kursi di sampingnya. “Duduklah. Mas tidak suka makan sendiri.”

“Ka...”

“Duduk.” Suaranya tegas, membuat Senja terdiam.

Akhirnya, dengan langkah ragu, Senja mendekat dan duduk di kursi sampingnya. Ia merasa sungkan, tapi tak bisa menolak lebih jauh.

Mereka mulai sarapan bersama. Sesekali Samudra menanyakan hal-hal ringan tentang kebiasaan Senja di rumah, tentang makanan yang biasa ia masak untuk ayahnya. Senja menjawab seperlunya, sopan dan singkat. Meski canggung, ada ketenangan aneh yang menyelimuti meja makan pagi itu.

Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Dari arah tangga, terdengar suara langkah hak tinggi yang beradu dengan marmer. Tak lama kemudian, muncullah sosok Luna. Rambutnya sudah disisir rapi, wajahnya terpoles make up sempurna. Gaun modis membungkus tubuhnya, tas branded menggantung di lengannya.

Pemandangan yang tidak biasa. Luna bangun pagi.

Namun saat matanya menatap ke meja makan, langkahnya berhenti mendadak. Kedua matanya membelalak, wajahnya memerah.

Suaminya, Samudra sedang duduk sarapan... bersama Senja.

Amarah seketika menyambar. “SENJA!” teriak Luna lantang.

Senja tersentak, tubuhnya menegang. Ia belum sempat berdiri ketika Luna sudah menghampiri, menarik lengannya dengan kasar.

“Berani-beraninya kamu duduk semeja dengan suamiku!” bentak Luna.

“Ka- Kak Luna, aku...”

“Diam!” Luna mendorong Senja keras hingga tubuh gadis itu jatuh terjerembab ke lantai marmer. Punggungnya menghantam keras, rasa sakit menjalar ke pinggang.

“LUNA!” suara Samudra menggelegar, mengejutkan keduanya.

Samudra segera bangkit, menghampiri Senja dan menolongnya berdiri. Tangannya menahan lengan adik iparnya yang gemetar. Sorot matanya penuh kekhawatiran.

Sementara itu, wajah Luna semakin merah melihat suaminya lebih dulu menolong Senja. Namun sebelum ia menjerit lagi, ia menangkap ekspresi marah di wajah Samudra. Amarah itu bukan main-main.

Cepat-cepat Luna mengubah sikap. Ia mendekat, tersenyum manis seolah-olah yang baru saja terjadi hanyalah salah paham kecil. “Sayang... maaf. Aku tidak sengaja. Aku kira tadi ada perempuan asing yang mendekatimu. Aku khawatir... makanya refleks begitu.”

Samudra menatapnya tajam. “Luna...”

Luna langsung bergelayut manja di lengan suaminya, mencoba meredakan. “Maaf ya, jangan marah. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ia bahkan meraih tangan Senja, pura-pura mengusapnya. “Maaf juga, Senja. Kakak salah paham.”

Senja hanya diam, menunduk sambil menahan sakit di pinggang.

Samudra menarik napas panjang. “Lain kali, jangan gegabah. Aku mengenalmu sebagai perempuan lembut, Luna. Jangan tunjukkan sisi lain yang tidak perlu.”

Luna tersenyum manis, mengangguk. “Iya, Sayang. Aku janji.”

Setelah ketegangan mereda, Samudra duduk kembali. Ia menatap istrinya yang kini sudah duduk di kursi lain, bergaya seolah tak ada yang terjadi.

“Ngomong-ngomong, Luna... kenapa kamu bangun pagi? Tidak biasanya.”

Luna tersenyum, memainkan rambutnya. “Aku ada janji dengan geng arisan. Mereka sudah menunggu. Jadi aku harus rapi lebih awal.”

Samudra mengernyit tipis. “Arisan lagi?”

“Sayang...” Luna menggenggam tangannya manja. “Boleh aku minta tambahan uang? Ada barang bagus yang harus aku beli.”

Samudra terdiam sejenak, lalu merogoh dompetnya. Ia mengeluarkan satu kartu tambahan, menyerahkannya pada Luna. “Gunakan dengan bijak.”

Luna mencium pipinya sekilas. “Terima kasih, Sayang. Kamu memang suami terbaik.”

“Kalau begitu, ayo aku antar sekalian. Kantorku searah.”

Luna buru-buru menggeleng. “Tidak usah. Aku takut kamu terlambat kerja. Aku bisa naik mobil sendiri.”

Samudra menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah.”

Tak lama kemudian, ia pamit meninggalkan rumah lebih dulu.

Begitu pintu rumah menutup dan mobil Samudra melaju pergi, Luna yang masih duduk manis di kursinya perlahan menoleh ke arah Senja.

Wajah manisnya berubah dingin. Senyumnya lenyap, berganti tatapan tajam penuh kebencian. Ia berdiri, melangkah mendekati Senja yang masih memunguti pecahan gelas kecil di lantai.

Dengan suara rendah namun menusuk, Luna berbisik di telinga adik tirinya.

“Dengar baik-baik, Senja. Jangan pernah coba mendekati suamiku. Sekali lagi aku lihat kamu duduk semeja dengannya, aku pastikan hidupmu akan lebih sengsara dari neraka. Mengerti?”

Senja menelan ludah, menunduk dalam, tak berani melawan. Pinggangnya masih sakit, namun lebih sakit lagi rasanya melihat kebencian yang begitu nyata di mata Luna.

Hari itu, Senja semakin yakin, bahwa rumah besar ini bukanlah tempat tinggal... melainkan penjara yang dipenuhi api.

Episodes
1 Bab 1 – Rumah untuk Senja
2 Bab 2 – Pelukan di Dapur
3 Bab 3 – Sarapan yang Membakar Api
4 Bab 4 - Pekerjaan yang Tak Pernah Usai
5 Bab 5 - Senyum Palsu di Balik Luka
6 Bab 6 – Dalam Gelap dan Hujan
7 Bab 7 – Luka Pagi Itu
8 Bab 8 – Saat Sakit, Saat Terlupakan
9 Bab 9 - Kehangatan di balik hujan
10 Bab 10 - Permainan Cinta
11 Bab 11 - Pagi yang mengubah
12 Bab 12 - Tuntutan Ibu
13 Bab 13 - Kepulangan pahit
14 Bab 14 - Hampir ketahuan
15 Bab 15 - Pengakuan
16 Bab 16 - Kejamnya Luna
17 Bab 17 - Tepi Danau
18 Bab 18 - Tuduhan
19 Bab 19 - Retak
20 Bab 20 - Manipulasi
21 Bab 21 - Godaan yang ditolak
22 Bab 22: Sandiwara Pagi hari
23 Bab 23 - Reuni menyakitkan
24 Bab 24 - Belum menyerah
25 Bab 25 - Pelukan di bawah bulan
26 Bab 26 - Kenyataan pahit
27 Bab 27 - Kebangkitan dendam
28 Bab 28 - Permainan dimulai
29 Bab 29 - Rahasia di balik rahasia
30 Bab 30 - Percakapan di ruang kerja
31 Bab 31 - Pesta keluarga
32 Bab 32 - Ditinggal
33 Bab 33 - Lamaran
34 Bab 34 - Setuju
35 Bab 35 - Akad nikah
36 Bab 36 - Malam pertama
37 Bab 37 - Pagi pertama
38 Bab 38 - Honeymoon
39 Bab 39 - Kemarahan di kantor
40 Bab 40 - Samudra vs Luna
41 Bab 41 - Permainan dalam permainan
42 Bab 42 - Kedatangan ibu
43 Bab 43 - Pingsan
44 Bab 44 - Antara bahagia dan kehancuran
45 Bab 45 - Tertipu
46 Bab 46 - Bukti dan harapan
47 Bab 47 - Kebebasan
48 Bab 46 - Nyidam
49 Bab 49 - Hari ketujuh.
50 Bab 50 - Penyesalan Luna
51 Bab 51 - Pertemuan
52 Bab 52 - konfrontasi akhir
53 Bab 53 - Kehidupan baru
54 Bab 54 - Kelahiran
Episodes

Updated 54 Episodes

1
Bab 1 – Rumah untuk Senja
2
Bab 2 – Pelukan di Dapur
3
Bab 3 – Sarapan yang Membakar Api
4
Bab 4 - Pekerjaan yang Tak Pernah Usai
5
Bab 5 - Senyum Palsu di Balik Luka
6
Bab 6 – Dalam Gelap dan Hujan
7
Bab 7 – Luka Pagi Itu
8
Bab 8 – Saat Sakit, Saat Terlupakan
9
Bab 9 - Kehangatan di balik hujan
10
Bab 10 - Permainan Cinta
11
Bab 11 - Pagi yang mengubah
12
Bab 12 - Tuntutan Ibu
13
Bab 13 - Kepulangan pahit
14
Bab 14 - Hampir ketahuan
15
Bab 15 - Pengakuan
16
Bab 16 - Kejamnya Luna
17
Bab 17 - Tepi Danau
18
Bab 18 - Tuduhan
19
Bab 19 - Retak
20
Bab 20 - Manipulasi
21
Bab 21 - Godaan yang ditolak
22
Bab 22: Sandiwara Pagi hari
23
Bab 23 - Reuni menyakitkan
24
Bab 24 - Belum menyerah
25
Bab 25 - Pelukan di bawah bulan
26
Bab 26 - Kenyataan pahit
27
Bab 27 - Kebangkitan dendam
28
Bab 28 - Permainan dimulai
29
Bab 29 - Rahasia di balik rahasia
30
Bab 30 - Percakapan di ruang kerja
31
Bab 31 - Pesta keluarga
32
Bab 32 - Ditinggal
33
Bab 33 - Lamaran
34
Bab 34 - Setuju
35
Bab 35 - Akad nikah
36
Bab 36 - Malam pertama
37
Bab 37 - Pagi pertama
38
Bab 38 - Honeymoon
39
Bab 39 - Kemarahan di kantor
40
Bab 40 - Samudra vs Luna
41
Bab 41 - Permainan dalam permainan
42
Bab 42 - Kedatangan ibu
43
Bab 43 - Pingsan
44
Bab 44 - Antara bahagia dan kehancuran
45
Bab 45 - Tertipu
46
Bab 46 - Bukti dan harapan
47
Bab 47 - Kebebasan
48
Bab 46 - Nyidam
49
Bab 49 - Hari ketujuh.
50
Bab 50 - Penyesalan Luna
51
Bab 51 - Pertemuan
52
Bab 52 - konfrontasi akhir
53
Bab 53 - Kehidupan baru
54
Bab 54 - Kelahiran

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!