Bab 5: Game on!

“Sekarang gua ngerti kenapa banyak banget yang demen dia,” ujar Selina pelan sambil memperhatikan dosen yang dipuja-puja mahasiswi di depan kelas.

“Hah? Kenapa?” tanya Megan langsung menoleh ke arah Selina.

“He’s such a flirt,” pungkas Selina, matanya tidak lepas dari gerak-gerik sang dosen. “Liat deh… cara dia senyum ke tiap orang yang nanya. That smile is dangerous.”

“Dia cuma ramah, Sel. Jangan baper,” ucap Megan singkat masih sibuk mencatat materi.

“Ramah? Oh… please. Kayaknya kalian bingung antara ramah dan flirty.” Selina menyeringai nakal, lalu mengangkat alisnya. “Terus kenapa banyak yang baper kalau sekedar ramah? Itu skill, Meg, bukan ramah lagi,” lanjut Selina.

Dalam empat kali pertemuan di kelasnya Baskara, dia tidak pernah berhenti membaca sikap dosennya itu. Dia rasa, si dosen ini bukan hanya sekedar ramah, tapi seperti sedang bermain peran. Tidak sekali atau dua kali Selina menangguhi Baskara tiba-tiba terlihat seperti sosok yang berbeda—lebih dingin, tapi sepertinya tidak ada yang sadar.

Tak jarang juga, Baskara melirik ke arahnya di tengah-tengah materi, seakan memastikan sesuatu pada dirinya. Selina jadi merasa seperti seorang buronan undercover yang sedang diperhatikan gerak-geriknya. Tapi… apakah Selina diam saja? Tentu tidak. Dia malah makin menantang dosen itu. Yang jelas, setiap pertemuan bukan kelas biasa bagi Selina—itu semacam game.

Selina bersandar di kursinya, memainkan ujung pulpen dengan ekspresi penuh misteri. “Lo harus sadar. This is real life flirt in action. Dan sayangnya…” dia melirik sekilas ke arah Baskara yang tengah menunduk ke arah buku catatan mahasiswi di depannya, menjelaskan sesuatu. “…gua juga mulai ngerti kenapa semua orang kejebak sama pesonanya.”

Tessa yang dari tadi mendengarkan Selina, hanya bisa tertawa kecil—menganggap Selina sudah sedikit gila karena kebanyakan nonton drama.

Megan mengdengus pelan sambil menggelengkan kepalanya. “Termasuk lo?”

Selina menoleh ke arah Megan dengan kecepatan kilat, matanya melebar—dia terkesiap. “F*ck no! Gua punya target sendir,” dia berteriak tapi berbisik kemudian menyeringai penuh arti saat mengangkat topik ‘target’nya sendiri.

Tessa semakin penasaran, fokusnya hilang dan langsung mendekat pada Selina. “Siapa?” bisiknya.

“Gua pernah cerita kan? Si pemilik bar itu,” jawab Selina tanpa rasa bersalah. Dia mendapatkan toyoran kecil dari Tessa.

“Lo beneran gila, Sel,” tukas Tessa. Dia masih belum terima kalau Selina mengambil paruh waktu di bar itu, sedangkan Megan… sepertinya dia sudah kehabisan cara untuk mecegahnya.

“Selina Lakeisha.”

Senyumannya langsung hilang ketika sebuah suara dalam bariton yang tegas memecah konsentrasinya. Reflek seluruh mata di kelas menengok ke arahnya. Selina sendiri hampir menjatuhkan ponselnya. Tatapan Baskara jatuh tepat menyorot mata. Selina langsung membenarkan cara duduk; tegak dan rapi.

“Bisa jelaskan singkat tentang peristiwa The Boston Tea Party?” suaranya netral, tapi Selina bisa merasakan dia sedang ditantang.

“Ah—ya, Pak.” Selina cepat-cepat merapikan pikirannya. Jantung berdetak kencang, merasa tertantang. Dia tersenyum tipis, sadar kalau Baskara sedang ngeujinya. Haha… untung saja dia sudah membaca materi sebelum kelas dimulai. Dengan nada percaya diri, dia menjawab, “Singkatnya, peristiwa ini merupakan protes dari warga kolini terhadap kesewenang-wenangan Inggris—tentang pajak teh—agar mereka tidak perlu membayar pajak teh tersebut ketika sampai di pelabuhan Boston.”

Selina menatap mata Baskara, dia terlihat puas dengan jawaban yang diberikan. Baskara mengangguk, berjalan maju hampir mendekati kursi Selina.

“Okay… good. Lalu, bagaimana mereka melakukan protes itu?” tanya Baskara lagi, kini tatapannya semakin tajam—menantang. Selina tersenyum simpul, mengetahui permainan Baskara.

“The American colonists disguised themselves as Mohawks Indians… dan membuang semua muatan teh dari tiga kapal ke laut.”

Jangan ada yang nantang Selina. Dia bisa membaca semua permainan yang sengaja dilakukan untuk menjatuhkan dirinya. Dia terlalu pintar dan licik.

Beberapa mahasiswa menoleh, terkesan dengan jawabannya.

“Good. Nice elaboration. Saya lihat kamu daritadi tidak memperhatikan kelas…” ujar Baskara terpotong.

“Oh, don’t worry, Sir. I can multitask,” ujar Selina sambil menatap mata tajam itu. Matanya bisa menangkap nafas dosen itu sedikit tercekat.

1:0 untuk Selina.

Baskara tersenyum tipis—tidak jelas apakah itu sekedar penghargaan profesional atau sesuatu yang lain. Bagi Selina, sinyal itu cukup untuk membuat kepalanya berputar.

“See?” bisiknya ke Megan dan Tessa, tanpa melepas pandangan dari Baskara. “Dangerous.”

Megan menghela nafasnya, nyaris menyerah. Tessa memukul lengannya pelan “Lo barusan motong omongan dia, anjir Sel!” bisik Tessa, ikut merasakan takut untuk Selina. Tapi orangnya malah tenang dan tidak merasa bersalah.

Saat kelas hampir berakhir, Baskara kembali berbicara, matanya menyusuri ruang kelas. “Untuk yang presentasi munggu depan, saya harap kalian bisa lebih matang lagi ya. Kalau masih ada yang belum paham materi hari ini, bisa ditanyakan sekarang.”

Tidak ada yang angkat tangan. Tapi sebelum menutup kelas, matanya berhenti sepersekian detik lebih lama di arah Selina. “Atau kalian bisa temui saya setelah kelas.”

Selina tercekat. Oh, the game is on, batinnya.

Kelas bubar dengan riuh suara kursi yang digeser dan percakapan mahasiswa. Mahasiswa berhamburan keluar, beberapa ada yang masih ngobrol tentang tugas kelas berikutnya, ada juga yang buru-buru keluar.

Selina sengaja melambatkan gerakannya. Dia berpura-pura sibuk merapikan buku catatan, matanya sesekali melirik ke meja dosen. Baskara masih duduk, menutup laptopnya sambil menunggu sesuatu.

“Selina.”

Suara itu membuatnya berhenti berpura-pura memasuki barang ke dalam tas. “Ya, Pak?”

“Bisa ke sini sebentar?” Nadanya datar, tapi ada tekanan halus dari suara itu.

Selina melangkah ke depan, menjinjing tasnya—diikuti Megan dan Tessa yang keluar kelas duluan. “Ada apa, Pak?” tanyanya dengan nada yang ikutan ramah, padahal tadi di kelas dia baru saja memotong ucapan dosen itu, yang jelas kurang sopan.

“Tolong buatkan folder di google drive untuk kalian ngumpulin semua tugas-tugas dari saya. Pastikan setiap tugas dimasukan ke dalam folder yang benar. Saya percaya kamu cukup… teliti.” Tatapannya menahan, tidak cepat berpaling.

Selina mengangguk, padahal dalam hatinya dia ngedumel. Masa seorang dosen tidak bisa membuat google drive sendiri. Harusnya beliau yang ngasih akses itu. Ah… nasib jadi suruhan dosen begini.

Dia tersenyum tipis, “Teliti sih, Pak… tapi biasanya saya lebih suka kalau ada reward.”

Seketika udara di antara mereka menegang. Baskara menatapnya lebih lama, lalu menarik nafas pelan. “Reward saya… nilai kamu tidak bermasalah.”

Selina tertawa kecil, matanya penuh tangangan. “Fair enough, Pak.”

Ia berbalik badan dan berjalan keluar ruangan. Baskara memperhatikan punggungnya dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran pengawasan, waspada, sekaligus yang lebih personal.

Saat pintu kelas tertutup dan meninggalkan keheningan dalam kelas, Baskara langsung membuang nafas berat. Jari tangan menyapu rambutnya. Ia menatap kosong ke arah buku presensi tepat pada nama Selina Lakeisha.

Dia terlalu berani.

Kalimat itu langsung muncul di kepalanya. Senyuman tipis Selina, kata-kata yang menantangnya—semua itu tidak terasa seperti hanya iseng, tapi sengaja.

Baskara bersandar di pungkung kursi, merapikan kacamata di ujung hidungnya. Matanya masih fokus pada nama itu. Nama yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya—di kelas maupun di bar. Apakah dia adalah bentuk karma untuknya? Seumur hidupnya, dia belum pernah sekalipun bertemu dengan orang yang berpotensi dapat menyusun puzzle rahasia miliknya. Dia harus tetap berhati-hati. Selina bagaikan api kecil yang tiap saat bisa membesar.

Berapa lama lagi dia akan connect the dot between Baskara dan Leonhard…

Pikiran itu membuat rahangnya menegang. Ada perasaan terjebak antara menjadi dosen Baskara yang selalu tenang dan ramah, atau menjadi Leonhard yang sudah lebih dulu membaca permainan Selina.

Dia berdiri, memasukkan laptop ke dalam tas sebelum berjalan keluar kelas. Langkahnya tegap seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi dalam dirinya, sudah tahu kalau gadis itu sedang mengujinya. Cepat atau lambat… akan ada satu pihak yang kalah.

...🥂🥂🥂...

Malam itu, Leonhard—bukan lagi Baskara—berdiri di balik meja bar dengan kaos polos hitam yang ketat membentuk otot tubuhnya. Tatapannya dingin dan tajam, jauh dari sosok ramah yang tersenyum di kelas tadi siang.

Gelas demi gelas diisi, tangannya cekatan, orang yang lihat pun pasti langsung paham dia seorang profesional. Tetapi di sela-sela tuangan minuman itu, bayangan Selina terus muncul dalam pikirannya. Cara gadis itu menatapnya di kelas sedikit berbeda saat mereka bertemu di bar ini. Selina sebagai mahasiswi di kelas, selalu menatapnya dengan tatapan menantang—entah apa yang sebenarnya dia carai dari seorang Baskara. Sedangkan di bar, dia selalu menatap Leonhard dengan tatapan penuh godaan… tapi terlihat kecurigaan di dalamnya.

Leonhard meletakkan segelas cocktail pada pelanggan di depannya. Matanya menatap kosong lorong masuk. Dia tahu, cepat atau lambat, Selina akan muncul. Pertanyaannya cukup besar, apakah dia siap menghadapi gadis itu atau… justru akan terbakar perlahan oleh api yang sedang dinyalakannya sendiri?

“Now… talk. Masalah lo sama Selina apa?” tanya Prima yang membuyarkan lamunan. Dia sudah duduk di depannya, bertopang dagu dengan mata berbinar mencari sebuah gossip.

Leonhard membalikkan badanya untuk mencuci gelas bekas yang hampir tertumpuk. Dari awal Prima menyaksikan adegan Selina dengan Leonhard minggu lalu, ia bisa merasakan ketengan di anatar mereka. Mekara saling tarik-ulur yang membuatnya semakin gemas. Sejak itu dia terus menanyakan soal Selina pada Leonhard, sejak itu pula Leonhard belum mau membuka mulutnya.

“Lo harus kasih tau gua, kalau ada apa-apa gua bisa nutupinnya gampang!” seru Prima, matanya memperhatikan punggung bidang itu. Leonhard kembali ke depan mena bar, sekilas melirik Prima yang masih dengan posisinya.

“Jadi…?”

Leonhard menghentikan kegiatannya sejenak. Menatap Prima datar, sangat malas untuk membahas soal ini. “She’s one of my students,” gumam Leonhard, kemudian memijat pelipisnya. Sampai detik ini, dia juga masih belum percaya kebenaran itu.

Prima hampir loncat dari duduknya, tangannya menepuk meja sedikit keras sampai membuat beberapa pengunjung menengok ke arah mereka.

“Town down!” desis Leonhard.

“Sejak kapan lo tau itu?” bisik Prima agar pembicaraan mereka tidak didengar—dia masih kaget.

“I don’t know… the second I met her was in my class,” jawab Leonhard jujur, nadanya terdengar sedikit frustasi dan berangin.

Prima mengubur wajahnya dengan tangan, menjambak kecil rambutnya seakan otaknya gagal menerima fakta. “Gila. Leon this is crazy! Jadi… lo udah flirting sama mahasiswa lo sendiri!”

Leonhard langsung menoleh tajam, tatapannya dingin. “Watch you words. You think that was flirting? Selera lo buruk banget.”

Prima mendengus keras, masih tidak percaya. “Lo bisa ngeles seribu kali, tapi gua liat dengan mata kepala gua sendiri gimana cara lo natap dia. Itu bukan tatapan dosen ke mahasiswanya.”

“Karena gua bukan Baskara kalau di bar. You know that. I’m Leonhard, dan gua bukan seorang dosen.” Leonhard menggeram pelan, rahangnya mengeras.

Prima diam, menatap Leonhard sebelum melemparnya dengan pertanyaan lain. “Ah… so, you admitted…”

Leonhard mengernyitkan jidat. “Admit what?”

“Lo bilang… lo bukan Baskara. Jadi, tatapan itu… dari seorang ‘Leonhard’ untuk Selina?” tanya Prima sambil menyeringai dan tatapan menggoda, dua jarinya diangkat membetuk tanda kutip untuk nama Leonhard.

“She’s a trouble. Gua gak berniat main-main sama trouble itu,” imbuh Baskara, menuangkan Whiskey ke gelas untuknya. Dia butuh sesuatu untuk mengubur emosinya. Dia hampir meneguk habis Whiskey yang membakar tenggorokannya.

“Yeah, right.” Prima menyilangkan tangan di dada, mencondongkan tubuh ke depan. “Tapi… lo keliatan restless tiap kali nyebut nama dia. Bahkan gua bisa baca ekspresi lo, Leon.”

Leonhard menahan nafas, kemudian membuangnya kasar, sambil menuangkan kembali Whiskey ke gelasnya. “Stop calling me Leon.” Dia menenggak Whiskey itu. “Restless bukan berarti gua pengen dia. Artinya, gua harus hati-hati,” sambungnya.

Prima menatapnya lama, lalu tersenyum miring. “Jangan-jangan lo udah kebakar, cuma masih denial.”

Leonhard berdecak kesal. “Jaga mulut lo. Gak ada yang denial di sini. Lo harus tau dia terlalu peka dan suka nantang. Sekali gua lengah, dia bisa dapet celah. Then, she can easily burn the line between me and her. That’s not gonna happen,” suaranya tegas tapi getir di ujung.

Prima terdiam sejenak. Apa yang dikatakan Leonhard ada benarnya. Kalau Selina dapat celah, semua rahasia bisa terbongkar. Prima menegakkan tubuhnya. Cahaya matanya kini terlihat lebih serius. “Lo bisa kan handle dia sendiri? Soalnya gua yakin, dia terlalu cerdas untuk permainan ini.”

Leonhard berdehem pelan, matanya membakar habis lorong masuk bar. “I can handle her just fine.”

Prima mendesah berat, mengangkat tangannya. Dia menyerah. “Fine. Tapi lo harus inget, lo bukan satu-satunya yang bisa baca orang. Selina… she’s a hunter. Kalo dia udah pasang mata ke lo, she won’t stop. Gua juga yakin dia udah mulai mainin game-nya.”

Leonhard menatap dalam mata Prima. Dia sudah tau soal itu, makanya dia harus tetap siaga. Sebelum ia sempat membalas, orang yang menjadi topik malam ini sudah berdiri di depan lorong.

Selina berjalan santai, rambutnya diikat seperti malam itu yang menunjukkan garis lehernya. Oh… she’s on the game. Bibirnya tertarik dalam senyuman—dia terlalu percaya diri untuk ukuran seseorang yang baru terjebak ke sarang singa.

“Malam, bos,” sapa Selina ringan. Dia juga menengok ke arah Prima dengan senyuman.

Prima melirik Leonhard cepat. “Told you,” bisiknya.

Terpopuler

Comments

Acap Amir

Acap Amir

Keren abis

2025-09-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!