“Makasih, Pak.”
Selina mengembalikan helm ojol yang tadi dia pakai sambil tersenyum kepada sang driver. Setelah motor ojol itu pergi, angin malam ikut berhembus kencang ke arahnya.
Ah… harusnya dia memakai baju lengan panjang, tapi sudah lah.
Selina melangkahkan kakinya keluar dari halaman Ind*mart, menuju sebuah gang yang dia temukan tadi siang—dia sedang berjalan-jalan mengitari kota untuk mencari tempat hang out. Saat itu, di daerah dekat gang sedang macet karena terjadi kecelakaan. Mobilnya berhenti tepat di depan gang itu. Matanya menangkap sebuah ruko kecil seperti warung makan.
“Kayaknya kita belum pernah ke situ,” cetus Selina, tangannya menekat tombol kontrol kaca mobil untuk melihat gang itu lebih jelas.
“Sel, kepala lo jangan keluar-keluar nanti ketabrak!” tegur Tessa dari kursi belakang.
Selina pun nurut, kemudian hanya melihatnya dari dalam mobil. “Ke sana yuk,” ajaknya.
Tessa, Megan, dan Vikram langsung menengok ke arah gang yang ditunjuk. “Jangan ah! Gua denger di sana tempatnya geng motor,” ujar Tessa, mukanya cemberut.
“Emang iya?” tanya Selina kepada Vikram—dia laki-laki, mungkin tahu sesuatu. Vikram mengangkat bahunya dan matanya kembali ke depan.
“Berita yang seliweran sih gitu,” jelas Vikram yang sama sekali tidak menjawab, kakinya menekan pedal gas perlahan melewati gang itu.
Selina berdehem… pikirannya masih terganggu dengan ruko yang terlihat sangat estetik, seperti sebuah warung makan hidden gem. “Emang… pernah ada kasus ya?” tanyanya masih penasaran.
“Cerita orang sih begitu…” celetuk Megan dari kursi belakang. Selina melirik ke arah Vikram yang kelihatan tidak tenang, seperti dia tahu sesuatu tapi tidak bisa memberikan penjelasan atau sekedar informasi.
Di sini lah dia… malam hari… sendirian untuk mencari tahu. Selina berharap dia akan aman. Dia memeluk erat tas selempangnya di depan dada sebagai bentuk proteksi, walaupun jalan raya ramai, tapi gang itu terlihat sepi. Kakinya terus melangkah mendekati ruko kecil yang dilihatnya.
Eh?
Bukan warung makan? Fasadnya benar-benar seperti warung makan kecil tapi tidak ada pengunjung yang makan di sana. Dia memberanikan diri untuk masuk warung itu. Tidak ada orang… dia mengecek setiap sudut ruko dan membaca spanduk menu yang tertempel di depannya ‘Warung Bakso dan Mie Ayam 88’.
Oh…?
Apa sudah tutup ya? Tapi kenapa rolling door masih terbuka dan lampunya menyala.
Tiba-tiba ada orang yang keluar dari kulkas showcase cooler.
Iya… kuklas minuman itu ternyata pintu.
Pria berbadan ramping dan tinggi, kaget melihat keberadaan Selina, begitu juga dengan Selina. Kemudian, dia buru-buru menutup pintu kulkas. Mata Selina masih memperhatikan kulkas itu.
“Uhm… ada yang bisa dibantu?” tanya pria itu, suaranya sedikit bergetar.
Selina diam sebentar, sebelum menunjuk kulkas itu. “Itu… ada ruangan lagi?”
Pria tadi mengikuti gerakan tangan Selina. Raut mukanya terlihat sedikit panik. “Oh… itu kulkas penyimpanan,” jawabnya cepat.
Selina mengerutkan keningnya. “Masa sih? Kok… keliatannya kayak ruangan? Lampunya warna-warni gitu,” cecer Selina.
Oh, Selina. Harusnya dia punya sedikit tasa takut saat menginjakkan kakinya di tempat yang asing seperti ini. Tapi jiwa berpetualang dan rasa penasarannya sangat tinggi yang membuat dia tidak bisa membiarkan itu semua walaupun dia ada di dalam bahaya.
Pria itu tersenyum kaku, maju satu langkah menjuh dari pintu kulkas. “Design aja—biar keliatan keren,” ujarnya sambil terkekeh canggung.
Tentu saja Selina tidak percaya. Pria itu meraba-raba saku celananya seperti mencari sesuatu yang bisa menyelamatkanya dari situasi ini. Selina berjalan mendekat pintu itu, pria tadi langsung menghadangnya.
“Maaf khusus staff yang boleh masuk,” tukasnya tegas. Terlihat gagah sambil menelan ludah menghilangkan kepanikannya.
Mata Selina masih terpaku ke kulkas itu, jantungnya berdegup dengan cepat. Dia merasa tertantang.
Gila… kulkas bisa jadi pintu ke ruangan lain? Kalau yang viral itu kan nembus ke bar… ini kalau bukan bar, apa dong?
Batinnya berspekulasi mengenai ruangan misterius itu. Suasana sempat hening dan terdengar dentuman… musik? Itu yang didengar Selina.
“Kamu staff?” tanyanya hati-hati dan mencoba membaca wajah pria itu.
Pria itu mengangguk cepat. “Iya… habis ngecek barang.”
Selina berjalan mendekat… sedikit berjinjit dan mencondongkan mulutnya ke telinga sang pria. “Kalau cuma staff… kamu gak bakal panik cuma gara-gara kulkas,” ucapnya dengan nada rendah hampir terdengar seperti berbisik.
Mereka sama-sama mengunci tatapan. Pria di depannya terlihat semakin gelisah. Sampai akhirnya suara berat dari belakang membuat Selina dan pria itu menoleh bersamaan.
“Ada masalah di sini?”
Badannya besar dan berotot. Tinggi… lebih tinggi dari pria tadi. Ada tato di lengan kirinya. Pakaiannya rapi seperti habis menghadiri sebuah acara. Wajahnya… Selina tidak bisa bohong kalau dia begitu tampan—rahang tajam, bibir se*xy, alis lumayan tebal, hidung mancung. Yang paling penting… wangi. Dia wangi sekali. Wanginya sangat menggoda kaum hawa.
Selina mengambil langkah mundur. Jujur saja… dia baru menemukan pria tampan selama dia kuliah di kota ini. Well, ini selara dia.
Kedua pria itu saling bertatapan. Mereka sama-sama memberi sinyal lewat mata. Selina hanya bisa menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan. Seperti ya pria berotot itu pemiliknya. Kemudian pria berbadan ramping kembali membuka pintu kulkas dan masuk ke dalam ruangan, sedangkan Selina masih berhadapan dengan pria berotot di depannya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria berotot. Nadanya sedikit kasar dan datar, tapi se*xy membuat Selina membasahkan lidahnya—gugup.
“Oh… saya kebetulan lewat, terus liat ada tempat makan ini—tapi sepi. Saya pikir udah tutup,” jawab Selina. Kalimatnya sedikit mutar-mutar.
Pikiran Selina saat ini adalah dia sedang berusaha fokus pada mukanya. Rasanya berat—matanya ingin menggeledah tiap sudut tubuh pria di depannya.
“Mau makan?”
“Well… kalau masih buka…”
Niat awalnya bukan untuk makan, tapi ingin mencari tahu tempat apa ini. Dia ingin mematahkan rumor-rumor yang beredar tentang geng motor itu.
Kemudian pria berotot itu mengangguk pelan, tangannya mempersilahkan Selina untuk jalan. Selina bingung—mengangkat kedua alisnya.
“Ikuti saya,” ujarnya. Saat dia berjalan melalui Selina, aroma woody bercampur amber dan sedikit hint spicy langsung memanjakan hidungnya.
“Damn… wangi berduit nih,” celetuk Selina, suaranya lebih kecil agar terdengar.
“Kenapa?” Tiba-tiba pria itu menengok ke belakang dengan tangan yang sudah memegang hendle pintu.
Mata Selina terbelalak kaget, “Oh—nggak…”
Pria itu mengabaikan Selina dan membuka lebar pintu. Lorong itu menunjukkanjalan menuju ruangan bercahaya merah. Selina terus mengikuti langkah pria berotot itu sampai masuk ke sebuah… bar.
Selina terkekeh kecil. “Cuma bar… kenapa staff kamu nutup-nutupin sih. Oh—jangan bilang… ini bar ilegal?” tangan kosongnya langsung menutup mulut yang menganga. Selina berani menatap mata si pria di bawah cahaya merah yang menyelimuti ruangan itu. Si pria itu hanya menatapnya, ekspresi tidak bisa dibaca, dan langsung berjalan menuju meja bar.
Selina membuntuti, matanya melirik ke sekeliling ruangan tersembunyi itu. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi sepertinya ini juga bukan bar umum layaknya bar di luaran sana. Dahinya mengernyit dan bibirnya dimajukan.
“Kok sepi? Biasanya bar rame?” tanya Selina memecah keheningan mereka. Pria itu melirik jam tangannya.
“Masih jam setengah sembilan,” ujarnya ringan dan meninggalkan Selina yang masih kebingungan.
Ini night bar? Hidden night bar? Biasanya jam delapan malam juga sudah buka, tapi kok…? Atau… jangan-jangan di sini memang tempat geng motor itu? Ah… tapi terlalu mewah gak sih? Tapi bisa aja…
Pikiran itu berputar di kepalanya. Sedangan pria yang tadi sudah berada di depan mena bar. Matanya fokus pada Selina yang terlihat sangat tenang memasuki tempat asing itu. Dilihatnya dari atas sampai bawah, pakaian Selina sangat tidak aman untuk seorang wanita berjalan malam sendirian di daerah bar—mesh seer crop top warna hitam dan jeans ketat. Dia kemudian berdehem mengejutkan Selina.
“Di sini seriusan jualan bakso dan mie ayam?” Pertanyaan Selina membuat rahang pria itu sedikit mengeras. Selina duduk di kursi tinggi sambil mencondongkan badannya ke meja. Matanya tidak lepas dari mata pria di depannya.
Pria itu tidak langsung menjawab, tangannya mengambil sebuah botol dan gelas—menuangkan minuman di depan Selina.
“Apple juice?” Selina mengernyit melihat lebel yang masih tertempel pada botol itu. Pria itu mendongakkan kepalanya.
“Saya gak tau kamu minor atau bukan,” pungkasnya singkat dan datar dengan tangannya yang menyodorkan gelas ke arah Selina.
Lagi-lagi Selina tertawa, tangannya menerima gelas tersebut. “I’m old enough for alcohol,” ujarnya. Matanya melirik gelas itu, kemudian melirik mata si pria dengan tatapan genit.
Percayalah lah, kalau Megan bilang Selina punya kepribadian yang unik, dia juga kadang suka genit. Bukan maksud untuk menggandeng banyak pria, tapi dia suka melihat reaksinya.
Pria itu hanya menatapnya datar tanpa ekspresi, tapi dengan wajahnya saja cukup untuk hiburan bagu Selina. “Kalau begitu, kamu bisa pesan sendiri nanti,” nadanya dingin, lalu menaruh botol itu kembali di rak belakang.
Selina pura-pura manyun, tangannya menggoyang-goyangkan gelas isi jus apel itu. “Gak seru…” gumamnya sambil menyeruput sedikit. Rasa manis khas dari jus apel membilas dahaga yang dari tadi dia tahan.
Well, setidaknya warna jus apel ini mirip dengan Whiskey.
Mata Selina terus memperhatikan gerak-geriknya. Ada aura misterius yang terlalu kuat keluar dari pria ini—tenang, tapi juga seperti menyimpan sesuatu.
“What’s your name?” tanya Selina, nadanya ringan.
Pria itu menoleh, menatapnya lumayan lama tanpa jawaban. Baru setelah Selina hendak membuka mulut lagi, dia berucap pelan, “Kamu gak perlu tau.”
Selina hampir tersedak jus apel di mulutnya. “I don’t think so… kita udah ngobrol banyak tapi belum tau nama and I think… it’s a bit rude. Isn’t it?”
Pria itu tersenyum samar—merasa sedikit tertarik dengan Selina. Tanganya mengambil kotak tisu untuk Selina yang sibuk mengelap pinggiran mulutnya dari jus yang manis itu.
Senyuman samar itu enah kenapa, malah bikin Selina semakin terpancing. Dia mencondongkan lagi tubuhnya ke meja bar dengan bertopang dagu.
“Playing hard to get, nih ceritanya?” ujarnya dengan tatapan yang masih terkunci pada setiap pergerakan si pria.
Pria itu berhenti sejenak, tangannya memegang gelas yang baru. Tatapnnya singkat, dingin—seolah-oleh berkata ‘jangan main-main sama saya’.
“Tinggalin rasa penasaranmu itu, bahaya,” ucapnya datar, tangannya mengambil botol Whiskey dan menuangkan ke gelas tadi.
Alih-alih mundur, Selina justru merasa tertantang. “Terdengar seru,” balasnya sambil menyodorkan gelas yang sudah kosong—meminta pria itu untuk mengisi gelasnya dengan Whiskey.
Pria itu mengambil gelasnya dan mengganti gelas itu dengan yang sudah berisi Whiskey. Selina tersenyum sumringah, langsung menyeruput minumannya.
“So… what’s your name?” tanyanya lagi, masih belum menyerah. Pria itu membuang nafas pelan, sambil mengingkirkan gelas kotor ke tempat cucian.
“Leonhard,” ucapnya tipis, hampir tidak terdengar.
“Leonard?”
“Leonhard.”
Nada suaranya sedikit lebih tegas dari sebelumnya—Selina agak kaget, tapi dia suka.
“Wow… okay, Mr. Leonhard,” ledek Selina sambil menekan ucapannya, senyumnya masih melekat di bibir. “I’m Selina, by the way.”
Leonhard tidak mendanggapi. Tangannya sibuk mengelap permukaan bar dengan gerakan tenang. Justru itu yang membuat Selina semakin tertarik, seperti dia gatal untuk menerobos dinding dingin itu.
“Kamu seharusnya pulang. Tempat ini bukan tempat main,” ujar Leonhard sedikit ketus mengusirnya dari bar itu. Selina cemberut, meneguk habis sisa Whiskey di gelasnya.
“Kenapa? Bukannya sebentar lagi bar ini buka—” Kalimatnya terputus saat satu pikiran muncul di otaknya, dia terkesiap. “Don’t tell me the whole geng motor thing itu beneran ada?” sambungnya dengan nada yang meninggi.
Leonhard hanya menutar bola matanya, dan mengambil gelas bekas Selina. “Jangan gila.”
Kemudian dia berjalan mendekati Selina. Selina sudah mengambil ancang-ancang pembelaan diri, tapi ternyata Leonhard hanya mengulurkan tangannya ke arah keluar.
“Pulang. Minumanmu saya yang atur.”
Selina tidak lagi berdebat, dia langsung dari kursi tinggi itu. Matanya menginci pada tatapan tajam yang diberikan Leonhard, kemudian dia tersenyum manis. “Thank you, then. See you,” ujarnya sambil melambai kecil. Dia berjalan mundur, masih melihat reaksi dari Leonhard yang sama sekali tidak terbaca.
Leonhard memutar badannya, meninggalkan Selina yang masih sibuk melambai. Dia mengeluarkan nafas berat yang panjang sembari memijat pelipis yang terasa berat. Kejadian hari ini sangat mengejutkan.
Selina mendengus pelan, “Gila… cuek bangat,” batinya sambil melangkah keluar.
Selina baru melangkahkan kakinya ke trotoar, dia melihat seseorang turun dari motor besar berwarna biru-putih. Mukanya tidak terlihat karena masih tertutup helm, tapi saat orang itu mengetahui keberadaan Selina, dia tampak terkejut. Selina memiringkan kelapanya sedikit. Sepertinya… dia pernah lihat motor itu, tapi dimana…?
Saat dia mau menghampiri, ponselnya berdering—menunjukkan nama Megan di layar. Dia tersenyum lebar, langsung lupa dengan orang tadi.
Dering ketiga, langsung diangkat panggilam teleponnya.
“Tebak. Gua abis darimana?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments