NovelToon NovelToon

Akad Yang Tak Kuinginkan

Malam Jahanam.

Malam itu kantor sudah sepi. Lantai tempat divisi keuangan berada hanya diterangi lampu neon putih pucat yang menyorot meja kerja penuh kertas. Di salah satu sudut, Jingga menahan kantuk. Gadis itu sudah menguap entah berapa kali. Matanya perih, lehernya kaku.

“Ayo, sedikit lagi, Jingga… kalau salah lagi bisa dipotong gaji. Mana cukup bayar listrik sama kontrakan kalau gaji tinggal setengah UMR,” gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri.

Tangannya cekatan mengetik, meski otaknya rasanya sudah seperti bubur. Laporan revisi yang diminta Savero, si bos besar yang terkenal perfeksionis dan jutek, harus selesai malam itu juga.

Jam di dinding berdetik lambat. Jarum panjang sudah melewati angka sebelas. Kantor benar-benar sunyi. Hanya suara pendingin ruangan dan ketikan laptopnya yang terdengar.

Jingga menarik napas lega ketika file terakhir berhasil tersimpan. Ia menutup laptop, merapikan meja.

Tiba-tiba…

Brak!

Pintu lantai terbuka kasar.

Jingga sontak terlonjak. Jantungnya berdetak kencang. Ia buru-buru berdiri, menoleh ke arah pintu.

“Saya udah mau pulang kok, Pak. Maaf kelamaan!” serunya refleks, mengira itu satpam yang patroli.

Namun langkahnya terhenti. Betapa kagetnya ia melihat Savero Pradipta, Direktur Utama, bos besarnya, berdiri di sana. Tubuh pria itu bersandar di dinding, wajahnya kusut, dasinya longgar, kemejanya kusut. Napasnya berat, matanya merah separuh terpejam.

Jingga melongo.

“Pak Bos…?” suaranya ragu.

Savero menggeram rendah, tangannya meraih tembok untuk menopang tubuh. Kepalanya sedikit terhuyung.

“Pak…? Astaga, Bapak mabuk ya?” Jingga spontan menutup hidung. Bau alkohol menyengat tercium.

Ia panik. Harusnya lari saja cari satpam. Tapi sebelum sempat berbalik, tangan Savero tiba-tiba menyambar pergelangan tangannya. Cengkraman kuat meski goyah.

“Tolong… saya…” suaranya serak, nyaris tak jelas. Ia menarik-narik dasinya sendiri, seperti orang sesak nafas.

“Ya ampun… Bapak kenapa sih?” Jingga gelagapan. “Lepasin dulu tangannya, biar saya panggil satpam… “

“Jangan… jangan satpam…” desis Savero, memaksakan langkah.

Jingga bingung setengah mati. Naluri pertamanya ingin kabur. Tapi melihat Savero nyaris roboh, wajahnya pucat, napasnya panas, ia tak tega.

“Aduh… ya udah sini, saya bantu,” gumamnya, setengah mengeluh.

Dengan susah payah, ia memapah Savero menuju ruangan pribadi bos itu yang tak jauh dari sana. Tubuh pria itu berat, bahunya lebar, membuat Jingga hampir terseret.

Begitu sampai, ia merebahkan Savero di sofa.

Pria itu terus menarik dasinya, wajahnya memerah, keringat bercucuran.

“Sesak… panas…” gumamnya.

Jingga ragu. Ia menelan ludah. Tapi rasa iba mengalahkan. Dengan tangan gemetaran, ia membuka dasi dan kancing atas kemeja Savero. Bos yang hari-hari jangankan ia bisa sentuh kancingnya, melihat Savero lewat saja sudah cukup membuat jantung berhenti sebentar.

“Pak, tenang aja… napas pelan-pelan. Ya Tuhan, ribet banget, baru kali ini saya liat Bapak kayak gini,” katanya setengah bergumam, mencoba tetap ceria meski jantungnya berdebar tak karuan.

Namun saat tubuh Savero sedikit tenang, matanya melirik ke arah Jingga yang membungkuk. Pandangan kabur itu menangkap lekuk dada Jingga di balik blus yang longgar.

Dan tiba-tiba…

Dengan tenaga tersisa, Savero menarik tubuh Jingga ke arahnya.

“Pak! Apa-apaan?!” Jingga kaget, berusaha melepaskan diri.

Namun tubuh pria itu besar dan berat. Napas alkohol menyapu wajahnya. Tangan Savero meremas kasar, bibirnya memaksa.

“Lepasin! Jangan! Saya teriak, ya!” Jingga menjerit, tangannya memukul, bahkan mencoba jurus karate seadanya. Tapi cengkraman pria itu terlalu kuat.

Satpam di lantai bawah entah tertidur atau tak mendengar apa-apa. Kantor sunyi, hanya teriakan Jingga yang teredam oleh dinding ruangan.

“Astagaaa! Tolong!!” suaranya pecah.

Savero, dalam mabuknya, tak peduli. Ia menindih, mencabik, memperkosa habis-habisan. Jingga menangis, melawan sekuat tenaga, mencakar punggung pria itu hingga berdarah. Namun semua sia-sia.

Waktu berjalan lambat, seolah malam itu tak ada habisnya. Hingga akhirnya, beberapa jam kemudian, Savero terengah, separuh sadar.

Jingga tergeletak di sofa, tubuhnya hancur, blusnya kusut, rok dan dalamannya bercecer di lantai, hatinya remuk. Air mata mengalir tanpa henti. Ia menatap langit-langit ruangan, napas tersengal, tubuh sakit luar biasa.

Dengan sisa tenaga, ia merapikan diri seadanya, lalu melangkah tertatih keluar. Setiap langkah bagai belati menusuk harga dirinya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Satu hari setelah petaka itu…

Rumah kontrakan sederhana itu hanya disinari lampu lima watt yang menggantung redup di langit-langit. Lantainya sudah retak-retak, dindingnya kusam, dan sofa tua di ruang tamu tampak usang.

Ketukan keras di pintu mengejutkan keluarga kecil itu. Bu Sari buru-buru melepas celemek dan mengelap tangannya, sementara Pak Adiputra melangkah ke depan dengan wajah waspada.

Begitu pintu dibuka, berdiri tiga orang. Savero, dengan wajah kaku. Di sampingnya, seorang pria paruh baya berwibawa, Panca Pradipta, pemilik Pradipta Group sekaligus ayah Savero. Dan seorang wanita anggun yang wajahnya pucat pasi, ibu Savero.

“Permisi,” suara Panca berat dan dingin.

Pak Adiputra menahan napas, menatap tajam. Melihat tampilan ketiganya ia paham, mereka orang besar. “Ada perlu apa malam-malam begini?”

Panca menunduk sedikit. “Boleh kami masuk?”

Ada jeda sesaat sebelum Pak Adiputra akhirnya menggeser pintu. “Silakan.”

Ketiganya melangkah masuk. Ruangan sempit itu terasa makin padat dengan kehadiran mereka. Panca melirik sofa tua yang sudah sobek di salah satu sisinya. “Boleh kami duduk?” tanyanya singkat.

Pak Adiputra mengangguk kaku. “Silakan.”

Mereka duduk berhadapan, suasana hening menekan sebelum akhirnya Panca membuka suara.

“Kami tidak datang untuk membela Savero,” katanya pelan, tapi tegas. “Dia sudah mengaku. Dia bilang… apa yang terjadi dua malam lalu di kantor. Tentang… pemaksaan yang dilakukan Savero pada Jingga.”

Suasana langsung pecah.

Bu Sari terbelalak, tangannya gemetar, lalu ia menoleh pada Jingga yang baru muncul dari dapur dan syok melihat tamu yang datang. “Nak… benar?” suaranya bergetar, nyaris tak keluar.

Jingga langsung memeluk ibunya, air matanya menetes deras. “Iya, Bu… Dia memperkosa Jingga… Dia menghancurkan Jingga…”

Pak Adiputra berdiri, wajahnya merah padam. Tangannya mengepal keras, urat di leher menegang. “Apa karena anda orang besar, anda merasa berhak melakukan apa saja pada putri kami, hah?” ucapnya, jarinya lalu menunjuk. “Tunggu saja sampai saya lapor polisi!” Desisnya sebelum duduk kembali dan mengusap wajahnya frustasi.

Savero menunduk, tak ada bantahan.

Panca menghela napas, lalu menatap langsung pada Pak Adiputra dan Jingga. “Saya tahu ini tak termaafkan. Tapi melapor polisi hanya akan mempermalukan putrimu sendiri. Percayalah, media akan berisik, orang-orang akan menuding macam-macam. Pada akhirnya yang hancur… Jingga juga.”

Jingga menoleh cepat, suaranya lantang. “Saya korban! Saya enggak salah! Kenapa harus saya yang dipermalukan?!”

Bu Sari terisak, memeluk anaknya erat. “Nak… sabar dulu… mungkin ada jalan lain…”

“Enggak, Bu!” Jingga meronta kecil. “Saya harus lapor polisi! Biar semua tahu apa yang dia lakukan!”

Panca menatap tajam, lalu merogoh saku jasnya. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal, meletakkannya di atas meja kayu kecil. Bunyi jatuhnya berat, membuat semua orang terpaku.

“Apa-apaan ini?!” Jingga menatap amplop itu dengan jijik. “Kalian pikir harga diri saya bisa dibayar pakai uang?!”

Panca menatap sekeliling ruangan… cat dinding yang mengelupas, kipas tua yang hampir mati, sofa robek. “Kami hanya ingin sedikit meringankan beban. Kami tahu kalian… orang sederhana.”

Jingga menggeser amplop itu dengan kasar. “Saya bukan barang murahan! Uang kalian enggak akan pernah bisa beli harga diri saya!”

Pak Adiputra menatap amplop itu lama, wajahnya menegang. Tangannya gemetar, lalu perlahan ia menarik amplop itu ke sisinya. Bu Sari menutup wajahnya, menangis.

“Ayah!” Jingga terkejut, suaranya pecah. “Kenapa ayah terima?! Saya enggak butuh uang mereka!”

Suara Pak Adiputra bergetar, tapi tegas. “Kau pikir gampang, Jingga? Lihat rumah kita! Lihat dapur kita! Setengah gajimu saja sudah tak cukup buat makan sebulan. Mau apa? Lawan mereka? Hidup kita digilas habis-habisan?”

Jingga membeku, matanya membesar. Air matanya jatuh semakin deras.

Panca menghela napas lega, lalu menatap mereka dengan sorot mantap. “Satu-satunya jalan keluar adalah pernikahan. Hamil atau tidak hamil, Jingga tetap harus menikah dengan Savero. Itu menjaga nama baik, dan menyelamatkan kalian semua.”

Jingga menggeleng cepat, suaranya lirih tapi penuh perlawanan. “Tidak… Saya enggak mau…”

Namun Bu Sari menggenggam tangannya erat, memohon dengan mata sembab. “Nak… ikuti saja. Ibu mohon… demi kita…”

Pak Adiputra mengangguk kaku, masih menggenggam amplop itu. “Kamu dengarkan ibumu.”

Jingga memandang wajah kedua orang tuanya. Hatinya hancur. Ia ingin menjerit, tapi ia tahu ia tak pernah bisa menolak keinginan mereka.

Akhirnya, dengan suara nyaris patah, ia berbisik, “Baiklah…”

Savero menutup mata, rahangnya mengeras. Ibunya menangis lagi, sementara Panca bersandar ke belakang, lega bercampur kecewa pada anaknya, pada takdir yang membuat anaknya harus menikah bukan dengan perayaan, bukan juga dengan menantu dari kalangan mereka.

Dan malam itu, nasib Jingga sudah diputuskan… dengan paksa.

(Bersambung).

Note: Halo readers tercinta, bagi yang kemarin sudah membaca episode 1, mohon untuk membaca kembali dari awal ya, karena ada perubahan outline episode agar ceritanya berkesinambungan, terima kasih.

Sah Menikah, Tanpa Pesta, Tanpa Rasa.

"Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Nayara binti Adiputra dengan mas kawin satu set perhiasan berlian, dibayar tunai.”

Suara Savero terdengar datar, dingin.

“Bagaimana para saksi?” tanya penghulu.

“Sah.” jawab para saksi serempak.

Ayah dan ibu Savero langsung berdiri, tatapan ayahnya tajam, penuh kecewa, sebelum akhirnya melangkah keluar tanpa sepatah kata. Sementara orang tua Jingga hanya saling pandang, kaku dan kikuk.

“Kita pulang saja.” suara ayah Jingga terdengar hambar, lalu ia dan istrinya pergi, meninggalkan putri mereka begitu saja di rumah besar itu.

Tak ada foto, tak ada pesta, hanya akad yang tergesa. Pernikahan yang lebih menyerupai vonis.

Malamnya, kamar pengantin begitu hening. Jingga masih duduk di pinggir ranjang dengan kebaya yang belum sempat ia ganti. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh perlawanan.

“Siapa yang suruh kamu duduk di tempat tidur saya?” suara Savero memecah keheningan, nyaring dan menusuk.

Jingga mengangkat wajah, menatapnya dengan sinis. “Terus saya harus duduk di mana? Kursi kerja kamu? Tadi kamu larang. Sofa juga kamu larang. Jadi maunya anda saya duduk di lantai, begitu?”

Savero melangkah mendekat, rahangnya mengeras. “Jangan ge-er. Cuma karena akad tadi sah, bukan berarti kamu punya tempat di hidup saya. Pernikahan ini cuma karena keterpaksaan. Kalau bukan karena khilaf malam itu, sampai dunia kiamat pun aku nggak akan menikahi kamu!”

Jingga terkekeh, pelan tapi menusuk. “Tenang aja, Pak. Saya juga nggak pernah mimpiin nikah sama orang kayak Bapak. Cowok jutek, tempramen nggak kira-kira, perfeksionis lebay, gengsi setinggi menara. Duh, mimpi buruk banget hidup sama Bapak.”

“Jaga mulutmu, Jingga!” bentak Savero, matanya yang tajam melotot.

Jingga malah bersedekap, kepalanya terangkat menantang, dengan senyum tipis. “Kenapa? Kesindir? Fakta kan, Pak. Hidup saya berantakan gara-gara satu malam. Bapak mabuk, saya yang harus nanggung. Jadi jangan kebalik ya, yang seharusnya jangan ge-er itu Bapak, bukan saya.”

Savero terdiam sejenak, dadanya naik turun. Tangannya mengepal, tapi ia menoleh ke arah lain, memilih memijit pelipisnya. “Diam, Jingga. Saya nggak mau dengar ocehanmu.”

“Pas banget.” Jingga berdiri, melangkah ke sisi lain ranjang, lalu mengambil bantal. “Saya juga malas ngomong sama orang kayak Bapak. Tenang aja, ranjang Bapak aman. Saya tidur di sofa.”

Savero menoleh cepat. “Sofa itu… “

“… Nggak usah banyak larangan.” Jingga memotong, suaranya tajam. “Mulai malam ini, aturannya satu, kita tinggal serumah, tapi hidup masing-masing. Setuju atau nggak, terserah. Yang jelas, saya nggak sudi jadi istri Bapak yang nurut-nurut manis. Catat itu, Tuan Savero.”

Ia melempar bantal ke sofa, rebah dengan santai, seakan ruangan itu miliknya.

Savero berdiri mematung, tatapannya gelap. Ia ingin marah, tapi kata-kata Jingga terlalu telak untuk dibantah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pagi Hari Setelah Akad

Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar besar itu. Jingga duduk di kursi rias, menyisir rambut panjangnya sambil bersenandung kecil. Wajahnya terlihat segar, meski semalam emosinya sempat meledak.

Savero keluar dari kamar mandi, kemeja putih sudah menempel di tubuhnya, rambut masih sedikit basah. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Jingga, menatap pantulan perempuan itu di cermin.

“Kita harus bicara,” ucapnya datar.

Jingga berhenti menyisir, menoleh sedikit dengan senyum miring. “Waduh, pagi-pagi sudah pakai nada perintah. Jangan-jangan semalam belum puas ngomel ya, Pak Direktur?” suaranya ringan, jelas mengejek.

Savero tidak menanggapi candaan itu. Ia melangkah mendekat, jaraknya kini hanya beberapa meter dari Jingga. “Mulai hari ini, tidak ada satu orang pun yang boleh tahu kita sudah menikah. Di kantor, semuanya harus berjalan seperti biasa. Saya tetap Direktur Utama, kamu tetap staf keuangan. Mengerti?”

Jingga meletakkan sisirnya di meja, lalu menoleh penuh, menatap Savero dengan alis terangkat. “Rahasia negara banget, ya? Santai saja, Pak. Saya juga nggak mau orang tahu. Malu dong kalau ketahuan. Jadi tenang, bibir saya terkunci rapat, pakai segel super glue.”

Savero memicingkan mata, tidak yakin dengan sikap enteng perempuan itu. “Dan satu hal lagi,” lanjutnya dengan suara lebih dingin, “jangan pernah menganggap pernikahan ini mengikat apa pun. Kita open marriage. Saya bebas dengan siapa pun, kamu juga bebas.”

Butuh satu detik bagi Jingga untuk mencerna kata-kata itu. Lalu, alih-alih marah, ia justru tertawa renyah, lepas tanpa beban. “Hahaha! Serius, Pak? Jadi ini kayak nikah bohongan? Sah di atas kertas, tapi bebas di lapangan? Mantap! Saya suka perjanjian ini.”

Ekspresi Savero nyaris tak berubah, hanya dahinya yang sedikit berkerut. “Kamu malah senang?”

“Lha, kenapa enggak?” Jingga berdiri, meraih tas kerjanya dari sofa. “Artinya saya masih bisa sama Mahesa.” Ia menyebut nama itu dengan enteng, seolah sedang membicarakan teman lama.

Savero menoleh cepat. “Siapa itu Mahesa?”

Jingga langsung tergelak, ekspresinya cerah. “Ya Tuhan, Pak Direktur Utama nggak kenal? Padahal dia kerja di kantor juga. Asisten Manajer. Rajin banget orangnya, kalau saya pulang lembur suka dianterin ke halte. Baik hati pokoknya.”

Savero hanya menatap sekilas, lalu kembali sibuk merapikan dasinya. “Saya tidak peduli. Itu urusanmu.”

“Bagus,” jawab Jingga cepat, senyumnya makin lebar. “Berarti kita satu suara. Saya bebas, Bapak juga bebas. Partner in crime yang pura-pura asing tapi sah di mata hukum. Asyik juga ternyata hidup jadi istri Bapak.”

Savero menutup kancing terakhir di lengannya, matanya kembali menatap Jingga dengan sorot dingin. “Kamu benar-benar menyebalkan.”

Jingga sudah berdiri di ambang pintu, tapi sempat menoleh sambil mengangkat dagu. “Iya, tapi menyebalkan yang cantik.” Ia mengedipkan sebelah mata, lalu keluar sambil bersenandung riang.

Savero mematung beberapa detik, rahangnya mengeras. Perempuan itu benar-benar berisik. Dan sialnya, ia tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.

(Bersambung)...

Di Balik Cerianya Jingga.

Pagi itu, tepat sehari setelah akad, Jingga akhirnya kembali masuk kantor setelah beberapa hari cuti. Alasan cutinya kemarin sederhana saja: “ada urusan keluarga.” Tak ada yang tahu, kalau yang dimaksud adalah akad nikah yang dingin dengan bos besar perusahaan, yang seakan-akan mengeksekusi hidupnya.

Pagi itu, lift berhenti di lantai divisi keuangan. Jingga melangkah keluar dengan gaya santainya. Rambut panjangnya diikat kuda, blus putih sederhana dipadu rok pensil abu-abu, dan sepatu flat hitam yang sudah agak kusam. Senyumnya merekah, seolah tak ada badai besar yang baru lewat dalam hidupnya.

“Selamat pagi, duniaaa!” serunya ceria sambil menenteng satu gelas kopi kertas.

Karyawan yang duduk di dekat pintu langsung menoleh. “Eh, akhirnya balik juga. Kemarin-kemarin kemana aja, Ga?”

Jingga menaruh kopinya di meja lalu menjawab santai, “Cuti, dong. Urus administrasi penting. Kalian kira aku jalan-jalan ke Bali apa?”

Beberapa orang tersenyum. Dari meja sebelah, Nisa sudah mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

“Cuti seenaknya aja. Aku yang akhirnya kebanjiran kerjaan kamu, tahu!”

Jingga menautkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah memelas. “Nis sayangku, maafkan aku. Demi Tuhan, aku akan traktir kamu ayam geprek level sepuluh nanti siang.”

Tawa pun pecah.

“Ck, dasar kamu.” Nisa menggeleng sambil pura-pura nepuk jidat. “Kupikir kamu diculik alien, Jingga.”

Jingga tertawa, meletakkan tas di kursinya. “Alien aja males nyulik aku. Badan doang yang lumayan, dompet tipis, beban hidup numpuk. Mau dikasih makan apa coba sama alien?”

“Ya ampun, mulutnya langsung rame lagi,” sambung Lidya, sahabat lainnya, yang duduk tak jauh dari meja Jingga. “Kantor sepi banget kemarin tanpa kamu.”

“Ya kan biar ada alasan kalian buat kangen aku,” Jingga berkedip manis, lalu langsung membuka laptop. “Santai, bintang kantor sudah balik. Tapi jangan harap laporan keuangan tiba-tiba bisa rapi, ya.”

Semua tertawa kecil. Kehadiran Jingga memang seperti itu, selalu bisa mencairkan suasana.

Tapi belum sampai lima menit, suara berat dari ujung ruangan membuat semua kaku.

“Saudari Jingga Nayara.”

Suara bariton itu membuat jantung Jingga ikut berdegup kencang. Ia mengangkat kepala pelan. Savero, Direktur Utama sekaligus “suami rahasianya”, berdiri di ambang pintu. Wajahnya datar, sikapnya dingin.

“Ya, Pak Direktur?” Jingga tersenyum lebar, seakan-akan tidak ada hubungan lain di antara mereka.

“Ke ruangan saya. Sekarang.”

Suasana ruangan langsung berubah. Semua mata berpaling ke arah Jingga dengan tatapan kasihan sekaligus ngeri. Mereka tahu, kalau sudah dipanggil langsung ke ruangan Direktur Utama, biasanya itu artinya masalah besar.

“Uh… ck” bisik Nisa, menutup mulutnya. “Baru balik, udah disemprot bos.”

“Semoga arwahmu damai, Jingga,” tambah Lidya setengah bercanda.

Jingga malah santai. Ia berdiri, merapikan blus, lalu menoleh ke dua sahabatnya sambil berbisik, “Kalau aku nggak balik dalam sejam, tolong bakarin dupa di mejaku.”

Mereka nyaris tertawa, menahan keras-keras di balik telapak tangan.

Jingga melangkah dengan enteng ke ruangan Savero. Dari belakang, tampak jelas kontras antara tubuh maskulin pria itu dengan langkah santai Jingga yang seperti tak peduli.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Ruangan Savero luas, dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota. Aroma kopi hitam tercium samar. Savero berdiri di balik meja, kedua tangannya bertumpu di atas permukaan kayu.

Begitu pintu tertutup, ia menatap tajam ke arah Jingga.

“Kamu libur berhari-hari, apa kamu cerita pada mereka alasannya?” Tanyanya dengan suara dingin.

Jingga mengangkat bahu, masih dengan senyum cerianya. “Untuk apa saya cerita? Agar semua orang tahu kalau saya korban perkosaan yang kemudian dinikahi paksa atasan, begitu? Maaf Pak, saya masih waras.”

Savero menyipitkan mata. “Jangan kelewatan, Jingga. Statusmu di kantor tetap staf keuangan. Saya Direktur Utama. Jangan sekali pun mencampur urusan pribadi ke pekerjaan.”

Jingga melipat tangan di dada, menatapnya dengan sinis. “Tenang, Pak Direktur. Saya sama sekali nggak niat ngumbar urusan… pribadi. Santai aja. Pernikahan kita yang sah tapi nggak pake pesta itu bakal tetap rahasia. Mulut saya dikunci rapat, kok. Kuncinya sudah saya buang ke laut.”

Savero mengetukkan jarinya di meja, rahangnya menegang. “Bagus kalau begitu. Ingat, di kantor ini saya atasanmu, titik. Jangan sampai ada yang curiga.”

Jingga tersenyum tipis, lalu duduk di kursi tamu tanpa dipersilakan. “Sip. Jadi bos dingin tetap jadi bos dingin, staf ceroboh tetap staf ceroboh. Semua happy. Tapi Pak, saya punya satu request.”

Savero menatapnya penuh curiga. “Apa lagi?”

“Kalau saya bikin laporan keuangan, jangan suruh revisi lima kali. Nanti saya bisa lembur lagi… kalau saya lembur sendiri, terus ada cowok mabuk yang merkosa saya gimana? Nanti bisa-bisa saya bunuh diri, terus gentayangan deh di kantor ini… horor kan?” sindir Jingga, sarkas.

Savero menahan napas, hampir mendengus, tapi ia memilih mengalihkan pandangan. “Keluar, Jingga. Saya sibuk.”

“Baik, Pak Direktur Kesayangan,” jawab Jingga ringan. Ia bangkit, memberi hormat ala tentara, lalu keluar dengan santai.

Savero menatap pintu yang menutup. Rahangnya mengeras. Perempuan itu benar-benar menyebalkan… tapi entah kenapa, sulit untuk diabaikan.

Di luar, Jingga kembali ke mejanya dengan langkah ringan. Nisa dan Lidya langsung menyorongkan kepala.

“Gimana? Dimarahin abis-abisan?” tanya Nisa.

“Enggak lah,” Jingga tertawa renyah. “Cuma rapat rahasia negara antara Direktur Utama sama staf biasa. Pokoknya kalian nggak boleh tahu.”

Lidya mencubit lengannya. “Yakin? Aku liat wajah bos tadi serem banget.”

“Ah, itu mah wajah bawaan lahirnya,” jawab Jingga santai. “Coba kalau dia senyum, bisa kiamat dunia. Seremnya double.”

Keduanya tergelak. Dan begitulah, Jingga kembali jadi pusat keceriaan di meja kerja, menutupi luka besar yang ia simpan rapat-rapat di hatinya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hening, hanya suara keyboards dan dering telepon yang terdengar di ruangan itu, menjelang makan siang.

Tiba-tiba, suasana jadi riuh kecil. Mahesa baru saja masuk, rapi dengan kemeja putih bersih dan map hitam di tangannya. Seperti biasa, beberapa karyawan perempuan meliriknya diam-diam. Tapi Mahesa hanya berjalan lurus ke arah meja Jingga.

“Siang, Sayang. Kangen banget tahu!” Ia meletakkan sebuah kotak bekal di depan Jingga. “Tadi ibuku nitip ini buat kamu pas tahu kamu udah masuk kantor lagi. Katanya kamu suka sekali ayam sambal hijau buatan beliau.”

Wajah Jingga langsung berbinar, dalam hati sedikit berdebar dan berdoa semoga ia tak akan pernah kehilangan Mahesa. “Ya ampun, aku kangen banget sama masakan tante! Makasih, Mas.” Ia menatap Mahesa dengan mata penuh syukur.

Seketika meja mereka jadi pusat perhatian.

“Cieee, couple goals!”

“Pantesan Jingga semangat kerja. Siang-siang gini dikirimin makanan.”

“Serius deh, kalian tuh manis banget. Dua tahun pacaran masih kayak ABG baru jadian.”

Jingga menutup wajah dengan map, pura-pura malu. “Halah, kalian ini suka lebay.”

Nisa ikut menggoda. “Aku iri loh. Pacar aku aja nggak pernah bawain makanan.”

Mahesa tertawa kecil. “Kalau kamu mau, suruh pacarmu belajar dari aku.”

Seluruh ruangan kembali tertawa.

Lidya hanya ikut tertawa kecil. Meski ia jomblo, ia pun kagum pada hubungan Jingga dan Mahesa, keduanya tampak serasi, meski Mahesa sedikit lebih menonjol dibanding Jingga yang fashionnya sangat ketinggalan mode.

Mahesa pamit sebentar untuk naik ke lantai manajerial, meninggalkan Jingga yang masih tersenyum lebar. Semua orang menganggapnya beruntung: ceria, punya pacar idaman, dan hubungan yang jadi bahan iri seluruh kantor.

Tak ada yang tahu, di balik senyum itu, ia menyimpan rahasia besar yang bisa menghancurkan segalanya.

(Bersambung)…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!