03

Angin dini hari menusuk kulit saat Nayla turun dari ojek dan berjalan sempoyongan menyusuri gang sempit menuju rumah. Pukul 02.07 tertera jelas di layar ponsel usang yang ia genggam erat. Gang itu sunyi, hanya sesekali suara nyamuk yang melintas di telinga, atau anjing menggonggong dari ujung jalan.

Di balik tas kecilnya, Nayla menyembunyikan kantong plastik berisi pakaian merah marun yang tadi malam ia kenakan. gaun yang membuatnya merasa telanjang meski tubuhnya tertutup. Ia sudah mengganti kembali bajunya sebelum naik ojek, blus krem pudar dan celana jeans ketat yang sedikit melar, persis seperti saat ia meninggalkan rumah. Rambutnya pun telah ia ikat rapi kembali, wajahnya dibersihkan seadanya di kamar mandi lounge, menyeka sisa lipstik dan maskara yang sempat luntur. Tak lupa ia memakan permen mint untuk menyamarkan aroma alkohol dari dalam mulutnya.

Malam ini, Nayla membawa pulang uang dua ratus ribu rupiah. Bukan jumlah yang kecil untuk seorang gadis SMA, tapi juga bukan harga yang ringan untuk harga diri yang mulai terkikis.

"Ini awal, Nay. Dua ratus dulu, anggap sebagai pemanasan," kata Mira sambil menyodorkan uangnya di parkiran tadi.

"Tapi kalau kamu mau yang lebih besar, yang jutaan per malam... kamu harus relain dirimu sepenuhnya. Gak cuma duduk dan senyum. Dunia ini penuh permintaan. Tinggal kamu mau kasih atau enggak."

Nayla tak menjawab saat itu. Hanya diam. Matanya kosong, dan tangannya menggenggam uang itu dengan getir.

Di perjalanan pulang, ia menyempatkan diri berhenti di warung 24 jam dekat stasiun. Ia membeli tiga potong ayam goreng, nasi hangat, dan sebungkus roti selai cokelat. Barang-barang kecil itu terasa seperti penebus dosa. padahal ia tahu, sekeras apa pun ia mencoba menutupi semuanya dengan perhatian untuk adik-adiknya, rasa bersalah itu tetap tinggal di dadanya.

Langkah Nayla terhenti begitu melihat bayangan seseorang duduk di teras rumah.

Ibunya.

Sang ibu menyelimuti tubuhnya dengan syal tipis, duduk di kursi plastik reyot yang menghadap jalan. Tubuhnya tampak ringkih dalam cahaya bohlam kuning pucat yang menggantung dari langit-langit rumah. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya... cemas.

Nayla buru-buru menyembunyikan kantong plastik ke belakang tubuhnya, lalu melangkah cepat ke arah rumah.

“Ibu... ngapain di luar malam-malam begini?” suara Nayla terdengar gugup, tapi ia berusaha terdengar biasa.

“Angin malam gak baik untuk kesehatan Ibu... masuk yuk.”

Ibunya menoleh perlahan. Mata sayunya menatap wajah Nayla dengan tatapan yang membuat napas Nayla tercekat.

“Ibu menunggumu, Nak,” kata Ibu pelan.

“Ibu khawatir.”

Nayla menunduk, berusaha tersenyum tipis. “Maaf, Bu. Tadi, banyak kerjaan. Jadi pulangnya telat.”

Ibu tidak langsung menjawab. Ia menatap lekat wajah Nayla, seolah berusaha membaca apa yang disembunyikan di balik mata lelah itu. Tapi yang dilihatnya hanya anak gadis yang tetap mencoba kuat di tengah dunia yang kejam.

“Maaf, Bu...” Nayla kembali bicara pelan. “Nayla nggak bermaksud bikin Ibu khawatir.”

Sang ibu tersenyum samar, lalu berdiri dengan gerakan pelan.

“Ayo masuk. Dingin banget malam ini.”

Nayla mengangguk, lalu buru-buru membuka pintu dan membantu ibunya masuk ke dalam rumah. Begitu masuk, ia menaruh plastik berisi makanan di atas meja.

“Aku beliin ayam goreng, Bu. Sama roti selai buat besok pagi. Biar Dio sama Lili bisa sarapan sebelum sekolah,” ucapnya cepat, mencoba mengalihkan topik.

Ibu mengangguk pelan, duduk di kasur tipis yang terhampar di lantai. Ia menyelimuti tubuhnya lebih rapat, lalu kembali menatap Nayla.

“Kamu belum makan?”

Nayla menggeleng. “Belum lapar. Nanti aja.”

Ibu menarik napas. Ada banyak kata yang ingin diucapkan, tapi ia tahan. Hanya satu kalimat yang akhirnya keluar.

“Terima kasih, Nak. Kamu udah banyak berkorban.”

Kata-kata itu menghantam Nayla lebih kuat dari tamparan mana pun. Ia nyaris menangis. Tapi seperti biasa, ia menahannya.

Malam itu, setelah memastikan Ibu dan adik-adiknya kembali terlelap, Nayla duduk sendirian di depan cermin kecil yang tergantung di dinding. Ia menatap bayangan dirinya sendiri yang samar.

“Apa kamu masih Nayla yang dulu?” bisik hatinya.

Uang dua ratus ribu rupiah ada di saku bajunya. Tapi rasa damai tak pernah pulang bersamanya.

Ia tahu, esok malam bisa jadi Mira kembali menghubungi. Bisa jadi tawaran baru datang. Bisa jadi... ia akan kehilangan lebih dari sekadar waktu dan tenaga.

Tapi malam itu, di antara bau minyak ayam goreng dan suara dengkuran halus adiknya, Nayla hanya duduk diam. Menyimpan semuanya sendiri.

Dan dalam gelap. hanya tangis yang tak terdengar, yang menemani sisa malamnya.

...

Pagi menyusup masuk lewat celah-celah jendela rumah sempit itu, membawa sinar matahari yang hangat namun tak mampu mengusir dingin dari tubuh Nayla. Ia berdiri diam di depan cermin kecil di kamar, mengenakan seragam SMA-nya yang mulai kekecilan. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa bedak atau lip balm seperti malam sebelumnya.

Matanya merah. Tidak hanya karena kantuk. Tapi karena semalaman ia menangis diam-diam, dalam keheningan yang tak bisa dimengerti siapa pun.

Namun, seperti biasa, ia memaksakan diri tersenyum.

Adik-adiknya harus sarapan. Ibu harus yakin semuanya baik-baik saja. Dan dunia. tak akan berhenti berputar meski hatinya remuk.

Setelah menyuapi Lili dan membetulkan kerah seragam Dio, Nayla pamit berangkat ke sekolah dengan tas punggung tipis dan langkah ringan yang penuh pura-pura.

...

Suasana sekolah seperti biasa. ramai, riuh, penuh suara tawa, dan obrolan tanpa beban.

Namun bagi Nayla, semuanya terasa jauh. Seolah ia hanya bayangan yang berjalan di lorong panjang tanpa arah. Di mana pun ia menoleh, dunia tampak terlalu terang. Terlalu bising. Terlalu. normal.

Ia berjalan menuju kelas dengan kepala tertunduk, berpapasan dengan teman-teman yang bercanda di koridor, tapi tak satu pun ia sapa. Semuanya terasa seperti lapisan kaca tebal yang memisahkan dirinya dengan mereka.

Di dalam kelas, ia duduk di bangkunya seperti biasa. Di pojok kanan belakang. Di sebelahnya, duduk seorang laki-laki dengan wajah teduh dan penampilan rapi. Namanya Elang Dirgantara, siswa terpintar sekaligus pewaris keluarga Dirgantara Grup. pemilik yayasan yang menjadi donatur terbesar sekolah itu.

Wajahnya tenang, kemejanya selalu licin, dasi selalu sempurna, dan sepatu mengilap seperti baru dibeli setiap pagi. Ia bisa saja duduk dengan siapa saja, bahkan punya kursi sendiri di ruangan khusus. tapi sejak awal semester, entah kenapa, ia memilih duduk di sebelah Nayla.

“Pagi,” ucap Elang pelan sambil melirik Nayla yang tak menyadari kehadirannya.

Nayla hanya mengangguk sedikit. Suaranya seperti tertelan.

Elang memiringkan kepala, menatap wajah Nayla dengan seksama.

“Kamu sakit?”

Nayla menggeleng cepat, memaksakan senyum.

“Cuma kurang tidur. Dio demam semalam.”

Elang mengangguk. Tapi matanya tetap menatap Nayla, seolah tahu ada yang berbeda.

“Kalau butuh bantuan, bilang. Aku siap bantu..”

Nayla mencibir kecil dalam hati.

Apa yang bisa dimengerti anak orang kaya sepertimu?

Kau tinggal di rumah seperti hotel, makan tiga kali sehari dengan piring porselen, dan uang jajanmu mungkin cukup untuk beli motor.

Tapi Nayla hanya mengangguk. Ia tak sanggup bicara lebih banyak. Kata-kata terasa seperti beban.

Pelajaran pertama berlangsung seperti biasa. Guru datang, buku dibuka, catatan ditulis. Tapi pikiran Nayla melayang. Ia tak mendengar apa pun dari papan tulis. Yang terbayang hanyalah ruangan karaoke remang-remang semalam, wajah-wajah lelaki asing, dan tawa mereka yang lengket di kepalanya seperti asap rokok.

Saat jam istirahat, Nayla tak langsung ke kantin. Ia menuju taman belakang sekolah. tempat yang biasa ia datangi saat butuh udara.

Tapi langkahnya terhenti begitu melihat Mira duduk di bangku panjang, dikelilingi dua temannya. Mira menatap Nayla dari kejauhan lalu tersenyum kecil. Senyum yang tak hanya menyapa, tapi juga mengingatkan.

"Selamat datang di permainan, Nay."

Dengan enggan, Nayla mendekat. Mira menepuk bangku kosong di sebelahnya.

“Gimana badanmu?” tanya Mira sambil menggigit permen karet.

“Kamu kelihatan... lelah.”

Nayla duduk pelan. Ia tidak menjawab langsung.

“Dua ratus ribu lumayan, kan?” lanjut Mira. “Tapi, kalau kamu mau lebih. besok ada klien yang minta cewek baru. Pas banget buat kamu.”

Nayla menunduk. Suara Mira terdengar samar di antara desir angin. Tapi kata-katanya menusuk.

“Aku belum yakin.” ucap Nayla pelan.

Mira tertawa pelan.

“Gak usah buru-buru. Tapi kamu harus tahu, Nay. Dunia gak kasih apa-apa ke orang yang setengah-setengah.”

Lalu Mira berdiri, merapikan roknya, dan menatap Nayla lurus-lurus.

“Besok malam. Kalau kamu siap, kabarin. Kalau nggak. ya kamu bisa balik lagi ke kehidupanmu yang itu-itu aja.”

Mira lalu berjalan pergi, diiringi dua temannya. Langkahnya ringan, seolah tak membawa beban dunia di pundaknya.

Nayla duduk diam di sana, ditiup angin pelan yang membuat mata dan hatinya sama-sama perih.

...

Di dalam kelas setelah istirahat, pelajaran matematika dimulai. Tapi Nayla hanya memandangi papan tulis kosong. Pulpen di tangannya tak bergerak. Hanya jari-jarinya yang gemetar.

Pikirannya kembali ke wajah ibunya di teras tadi malam.

Ke suara Mira.

Ke bayangan cermin yang memperlihatkan sosok asing yang mengenakan gaun merah marun.

Dan entah kenapa... dadanya terasa sesak.

Ia ingin menangis. Tapi tidak di sini. Tidak sekarang.

Jadi, ia hanya menggigit bibirnya pelan. hingga nyaris berdarah. agar rasa sakit itu bisa mengalahkan rasa lain yang lebih menyakitkan.

Dan saat bel pulang berbunyi, Nayla tahu hari itu belum selesai. Dunia yang semalam ia tinggalkan masih menunggunya. Dunia yang bisa memberinya uang. tapi juga perlahan mencuri jiwanya.

Terpopuler

Comments

Bunda Dzi'3

Bunda Dzi'3

elang selematin Nayla...ikutin Nayla jgn sampai Nayla jual N hilang kehormatannya krna tuntutan hdup kelurganya 🥺

2025-09-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!