02

Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan warna jingga tembaga. Suara azan magrib berkumandang pelan dari kejauhan, menggema bersama hiruk-pikuk kota yang mulai padat. Di sebuah rumah sempit di ujung gang, cahaya remang dari bohlam tua menggantung di langit-langit ruangan yang penuh bayangan.

Di dalam kamar sempit itu, Nayla berdiri di depan cermin retak yang menempel di dinding. Ia mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. sebuah blus polos warna krem yang sudah agak pudar dan celana jeans gelap yang sedikit sempit di pinggang. Bukan pakaian mewah, tapi bersih, rapi, dan cukup pantas untuk menutupi kegugupan yang menggila di dadanya.

Tangannya gemetar saat merapikan rambutnya yang diikat setengah. Ia bahkan sempat mengoleskan bedak tipis di pipi dan lip balm murahan agar wajahnya tidak terlihat terlalu pucat. Ini bukan dirinya. Ini bukan Nayla yang biasanya.

Tapi malam ini, ia tak bisa menjadi dirinya yang biasa. Karena gadis itu tak sanggup memberi makan adik-adiknya. Gadis itu hanya bisa menangis saat ibunya menggigil demam tanpa obat.

Suara batuk pelan dari ruang tengah membuyarkan lamunannya.

“Nayla.” suara lembut itu memanggil.

Nayla menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah ke luar kamar. Di sana, Ibu duduk bersandar di dinding, tubuhnya dibalut selimut tipis. Mata Ibu menatapnya dengan sorot yang tajam. bukan mencurigai, tapi mengkhawatirkan.

“Mau ke mana kamu, Nak?” tanya Ibu pelan, suaranya lemah tapi jelas menusuk ke dalam hati Nayla.

Langkah Nayla terhenti. Lidahnya kelu. Ia menunduk, menatap lantai sebentar sebelum akhirnya berusaha tersenyum.

“Mau kerja, Bu.” jawabnya, mencoba terdengar santai, meski suaranya sedikit bergetar.

“Teman Nayla nawarin kerja paruh waktu. Katanya, gajinya lumayan. Bisa buat beli makan, dan obat buat Ibu.”

Ibu terdiam. Matanya berkaca-kaca.

“Kerja apa malam-malam begini, Nay?”

Nayla berpura-pura sibuk merapikan tas kecil yang dibawanya. Ia tak mampu menatap mata ibunya langsung.Ia takut akan hancur sebelum sempat melangkah.

“Ya... bantuin jaga toko, gitu. Atau bantuin beres-beres.” jawabnya cepat.

“Gak berat, Bu. Aku cuma butuh beberapa jam. Nanti juga langsung pulang.”

Ibu terdiam lebih lama. Kemudian, dengan suara parau dan hati yang remuk, ia berkata:

“Maafkan Ibu, Nay.” Suara itu nyaris pecah. “Seharusnya ini tanggung jawab Ibu. bukan kamu yang harus banting tulang kayak begini. bukan kamu yang harus mikirin nasi dan obat.”

Nayla merasa dunia runtuh di dalam dadanya. Tapi ia tetap berdiri. Tetap tersenyum. meski senyumnya kaku, dan hatinya sobek.

“Gak apa-apa, Bu. Nayla gak keberatan kok. Nayla kuat. Demi Ibu dan Dio sama Lili, Nayla sanggup ngelakuin apa aja.” katanya sambil menunduk, menelan tangis yang hampir tumpah.

Ibu mengulurkan tangannya yang lemah, memegang jemari Nayla yang dingin.

“Jaga diri baik-baik, Nak. Jangan sampai Ibu kehilangan kamu juga.”

Kata-kata itu terasa seperti tombak yang menghunjam tepat ke jantung Nayla. Ia menggenggam tangan ibunya erat-erat, lalu menunduk dan mengecupnya.

“Nayla janji... Nayla akan jaga diri. Dan besok pagi, kita sarapan bareng. Nayla beliin roti isi yang Ibu suka.”

Ibu hanya mengangguk pelan, tak sanggup lagi berkata apa-apa.

Setelah mengecek ponselnya. sebuah pesan dari Mira masuk dengan alamat dan perintah singkat.

 “Jangan telat. Jangan pakai tampang lugu.”

Nayla melangkah keluar rumah dengan langkah berat. Di luar, malam mulai turun sepenuhnya. Angin membawa bau gorengan dari ujung gang, bercampur dengan bau knalpot dan aspal yang lembap.

Dunia yang Nayla kenal sedang tertidur. Tapi dunia yang akan ia masuki. baru saja terbangun.

Dan untuk pertama kalinya, Nayla melangkah menuju gelap yang belum tentu bisa ia tinggalkan.

...

Langit sudah benar-benar gelap saat Nayla tiba di ujung jalan yang ditunjukkan Mira. Lampu-lampu neon berwarna merah muda dan biru menyala terang dari bangunan tiga lantai yang dikelilingi mobil-mobil mewah. Sebuah papan nama besar bertuliskan "Crystal Lounge & Karaoke" menggantung di atas pintu masuknya.

Nayla berdiri terpaku sejenak di depan trotoar. Telapak tangannya dingin, perutnya mual. Ia bisa saja berbalik sekarang, pulang, pura-pura semuanya tak pernah terjadi. Tapi bayangan wajah ibunya yang lemah dan adik-adiknya yang tidur tanpa makan malam kembali membakar tekadnya.

Ia menarik napas panjang. Sekali. Dua kali. Lalu melangkah masuk melewati pintu kaca.

Di dalam, ruangan itu penuh warna, penuh suara tawa laki-laki, dan aroma parfum bercampur alkohol. Lampu remang-remang berpendar dari langit-langit seperti cahaya disko, sementara para gadis bergaun mini mondar-mandir dengan senyum profesional di wajah mereka.

Nayla memeluk tas kecilnya erat-erat. Semua terasa asing. Bahkan cara orang-orang di sini menatap pun membuat bulu kuduknya meremang.

Seseorang menepuk pundaknya pelan dari samping.

“Nay. Sini. Udah kutunggu.” Mira muncul dengan pakaian mencolok. gaun hitam pendek yang melekat sempurna di tubuhnya, bibir merah menyala, dan sepatu hak tinggi. Ia terlihat percaya diri, seperti sudah bertahun-tahun tinggal di dunia ini.

Nayla hanya mengangguk kaku. Ia mengikuti Mira menyusuri lorong yang mengarah ke ruang ganti.

Ruangan itu penuh dengan perempuan muda, sebagian sedang bersolek di depan cermin panjang, sebagian lagi merokok atau memainkan ponsel mereka. Semuanya tampak glamor. tapi tatapan mata mereka kosong.

Mira menyerahkan Nayla sebuah gaun sederhana berwarna merah marun. sedikit terbuka, jelas bukan jenis pakaian yang biasa Nayla kenakan.

“Ganti. Jangan terlalu rapi-rapi kayak mau ngelamar kerja kantoran. Di sini kamu jual senyum, bukan ijazah.” ucap Mira cepat.

Nayla mengambil gaun itu dengan tangan gemetar. Ia mengganti bajunya di pojok ruangan, sambil mencuri pandang ke cermin.

Dia bahkan tak mengenali dirinya sendiri.

“Tenang aja. Malam ini kamu cuma duduk, temani mereka minum, Gitu doang.” jelas Mira sambil mengoles lipstik terakhirnya.

“Selebihnya, pintar-pintar kamu saja. Gimana cara kamu merayu mereka, agar mereka tak segan mengeluarkan uang mereka untuk kamu.”

Nayla mengangguk pelan. Ia tidak bicara. Suaranya seperti tertelan di tenggorokan.

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan paruh baya berambut sanggul dan berdandan mencolok masuk ke ruang ganti. Dia adalah Mami Clara, pengelola tempat itu.

Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Ia menyapu pandangan ke arah Nayla dan menghampiri.

“Ini yang baru, Mir?”

“Iya, Mam. Namanya Nayla. Masih fresh. Belum tahu dunia. Tapi mukanya cantik. Laku keras.” Mira menjawab cepat.

Mami Clara mendekat, memeriksa Nayla dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu ia mengangguk pelan.

“Kamu ikut Mira dulu malam ini. Duduk di room 5. Jangan banyak diam, Aku ingin para tamu puas dengan pelayanan mu. Ngerti?”

Nayla hanya mengangguk pelan. Ia merasa seperti sedang dilatih untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

Mami Clara menepuk pipinya pelan, lalu berjalan pergi.

Mira melirik jam tangannya.

 “Ayo, tamunya udah nunggu.”

Nayla mengikuti Mira menuju sebuah ruang karaoke VIP. Di dalamnya, tiga pria paruh baya tengah tertawa keras, memegang gelas-gelas berisi minuman keras dan rokok yang mengepul di udara. Musik keras berdentum, dan lampu temaram membuat wajah-wajah mereka tampak mengerikan.

Begitu Mira masuk, mereka langsung bersorak. “Nah, ini dia bidadari kita malam ini!”

Nayla hampir berhenti di pintu, tapi Mira menariknya masuk.

“Santai saja. Kamu hanya perlu duduk dan layani mereka.” bisik Mira sambil menyodorkan botol minuman ke salah satu pria.

Nayla duduk di ujung sofa, mencoba tersenyum meski hatinya bergemuruh.

Salah satu pria meliriknya tajam.

“Yang ini baru ya? Liat mukanya aja bikin pengen. Muda banget. Umur berapa, Dek?”

Nayla tersentak. Tapi Mira langsung menimpali,

“Baru lulus SMA, Om. Masih segar. Tapi udah pintar diajak ngobrol. Nggak kayak yang cuma bisa manja-manja.”

Pria itu tertawa keras, lalu menyodorkan minuman ke Nayla.

“Minum dulu, biar cair. Biar ngobrolnya enak.”

Nayla menatap gelas itu. Cairan bening berbau tajam yang bahkan belum disentuhnya sudah membuat kepalanya pusing.

Ia menolak pelan. “Maaf, saya gak biasa minum.”

Pria itu mendekat sedikit, tatapannya mulai berubah.

 “Ah, masa segini aja gak bisa. Cuma satu teguk. Gak lucu kalo cewek cantik tapi kaku.”

Nayla menggenggam ujung gaunnya di bawah meja. Tangan dan kakinya gemetar.

Perlahan Nayla meraih gelas tersebut. Gelas itu nyaris terjatuh karena tangannya yang bergetar hebat. Dan dengan gerakan cepat ia meneguk minuman itu dalam sekali tegukan.

rasa pahit menjalar ke kerongkongan. Yang menimbulkan rasa terbakar.

Terpopuler

Comments

Bunda Dzi'3

Bunda Dzi'3

Smoga ada pria kaya yg bisa selamatkan Nayla dri dunia mlm

2025-09-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!