Bab 3 - MASKER ( ERICO – Personality Conflict )

Aku bukanlah orang yang mengenal dunia gaib, arwah, dan hal – hal yang berbau supernatural / paranormal. Tapi, aku suka sekali menulis cerita – cerita yang berbau misteri, berharap cerita – cerita yang kutulis nantinya bisa menyamai Agatha Christy, Sidney Seldon, Risa Saraswati dan lain sebagainya. Aku membenci hal – hal yang berbau roman. Sebab, aku tak percaya bahwa di dunia ini, kekuatan cinta lebih besar daripada kekuatan lain yang ada di dunia ini. Terus terang tak pernah aku merasakan apa itu cinta, yang ada hanyalah sakit hati. Banyak hal yang membuatku sakit hati : orang tua, teman, saudara, sanak famili dan lain sebagainya. Itulah sebabnya, tulisan – tulisan yang kutulis semuanya berbau horror, sebab, bagiku ... itu lebih mengasyikkan daripada hal – hal yang berbau roman. Dan, aku cenderung ingin menarik perhatian pada orang – orang di sekitarku. Khususnya, teman – teman cewek.

Berbagai macam cara kuusahakan agar mereka, teman – teman cewek tersebut mau memberikan perhatian sepenuhnya padaku. Yah, salah satunya dengan menulis cerita – cerita horror, sebab mereka lebih menyukainya daripada rutinitas kehidupan sehari – hari seperti : keluarga, pelajaran dan lain sebagainya. Namun, kuakui, selama manusia masih bernafas, kemungkinan juga saat beralih dari dunia ini ke alam abadi, mereka tidak mungkin bisa melepaskan diri dari sebuah kata keramat yang sangat dipuja, disanjung, dihargai dan dihormati bahkan ingin dimiliki untuk selamanya oleh setiap insan di dunia. Kata keramat itu adalah CINTA. Banyak orang kehilangan pikiran sehatnya dan juga mati konyol karenanya, bahkan nyaris membunuhku.

Berbicara mengenai ingin menarik perhatian, aku yang kini baru saja naik ke kelas III SMA Keteng 2 Banyuwangi. Aku ingin menceritakan suatu hal dan itu terjadi pertama kali dalam hidupku. Dimana tampaknya aku harus mengubah prinsipku yang sama sekali TIDAK PERCAYA AKAN adanya hal – hal mistis. Juga, dimana aku harus mengakui kekuatan dari kata keramat yang kusebutkan di atas. CINTA. < walau sebenarnya, yang kuterima adalah sebuah kenyataan yang amat pahit > setidaknya, untuk sementara waktu.

***

Pagi itu, pertama kalinya aku menapakkan kakiku di sebuah pintu gerbang berwarna hitam legam. Sepasang mataku beralih ke sebelah kanan, dinding marmer yang berwarna oranye, sebagian dinding tersebut tertutup oleh rimbunan tanaman. Pada badan dinding tersebut terpahat tulisan SMA NEGERI 2 KETENG. Status DISAMAKAN, NSS : bla ... bla ... bla.. – NDS : bla ... bla... bla... berikut alamat dan nomor telepon. Masa bodoh, yang penting aku sudah menjadi siswa tahun ajaran baru di sekolah ini.

Kupandangi bangunan berlantai 2 dengan arsitektur Belanda. Dinding – dindingnya tampak megah dan kokoh dengan cat yang didominasi warna putih tulang. Tak bisa kuhitung berapa banyaknya jendela yang seukuran dengan tinggi tubuh manusia berbingkai 2 buah balok besi vertikal dari atas ke bawah memotong 2 buah balok besi horisotal, menghiasi deretan dinding – dinding megah dan kokoh tersebut.

Angin berhembus perlahan, menggoyang dedaunan mengayunkan langkah – langkahku memasuki halaman sekolah yang cukup luas mirip lapangan sepak bola jika saja tak ada tanaman – tanaman beraneka ragam tumbuh teratur disana – sini. Sekalipun hari masih pagi, tapi, tampaknya sudah banyak siswa – siswi yang datang, semuanya tampak begitu ceria. Entah mengapa aku merasakan jantungku berdebar kencang saat memasuki halaman, mungkin karena aku adalah siswa baru disini, kikuk. Tanpa mempedulikan perasaan tersebut, aku segera melangkah menuju kelas I – IPS.F yang terletak paling ujung berdekatan dengan sebuah gudang tua.

Saat memasuki ruang kelas, disana sudah ada 2 siswi dan 2 siswa. Mereka adalah teman – temanku semasa SMP : Rendi, Jefri, Alya dan Vena, teman – teman konyol, menurutku habis diajak bicara sesuatu tidak pernah serius, kecuali Alya. Melihat kedatanganku, Rendi mulai membuka percakapan, “Hei, ucapkan selamat pagi untuk novelis kita. Selamat pagi, pak !” serunya jahil sambil menganggukkan kepala badannya membungkuk sedikit seakan memberi hormat. “Konyol sekali,” sahutku sambil tersenyum kecut melihat kelakuannya yang menurutku tidak lucu sementara meletakkan tas sekolah di bangkuku dan berjalan menghampiri mereka dan duduk diantaranya. Untuk sesaat kami berbincang – bincang tentang banyak hal.

“Hei, Rico ... apa kau tahu gosip yang beredar di kalangan sekolah ini ?” Vena memasang muka serius.

Aku mendesah sementara memukul – mukul bahuku yang serasa kebas karena sudah lama memanggul tas yang isinya buku – buku mapel tebal dan berukuran folio, capek sekali rasanya mengingat perjalanan dari rumah kost ke sekolah lumayan jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. “Sorry Ven, gue ga suka gossip – gossip murahan jaman sekarang,” ujarku cuek.

“Eh, ini bukan sembarang gossip, lho ... siapa tahu bisa menambah ide untuk penulisan cerita horrormu kelak,” ujar Alya.

Ucapan Alya-lah yang paling mungkin bisa dipercaya, sebab, cewek itu sudah dari sono-nya selalu serius dalam mengungkapkan sesuatu meski terkadang tak kalah usilnya. Aku memasang wajah serius dan menatap tajam ke arahnya, “Beneran ? lu, ga bo’ong, kan ?” tanyaku.

Alya mendesah, “Hmh, pernahkah aku berbohong dengan kamu ? Terserah, dech kamu mau percaya atau tidak yang jelas, gossip ini sudah beredar sejak tempat ini belum beroperasi sebagai sekolah,” katanya agak kesal.

“Iye... coba lu cerita. Gue akan dengarkan dengan seksama,”

Alya mulai bercerita sementara kami mendengarkan dengan penuh minat. Dulu sekolah ini merupakan rumah tahanan pejuang – pejuang pribumi yang ditahan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Mereka diperlakukan tidak manusiawi, kekurangan makan sementara dipaksa kerja paksa. Banyak diantara mereka mati secara mengenaskan, dan salah satu dari penjara tersebut adalah kelas yang kita tempati ini. Ucapan Alya masuk akal karena saat kuperhatikan ke sekeliling kelasku, terlebih jendela dengan bingkai – bingkai besi berwarna hitam yang lubangnya hanya cukup untuk dimasuki oleh pergelangan tangan saja. Dan dinding kelas, sekalipun dinding tersebut terlihat baru, tidak bisa menutup rapi kerusakan lama. Mungkin, kerusakan tersebut disebabkan karena dulunya dipasang alat – alat mirip pengikat tangan dan kaki. Sebagian dari tawanan perang itu mati secara mengenaskan di ruang ini dan arwah mereka pernasaran. Di saat – saat tertentu menampakkan diri, terkadang mereka muncul dengan bentuk – bentuk mengerikan membuat ketakutan siapapun yang mereka datangi.

Disaat aku mengamati ke sekeliling, Alya masih terus bercerita, kali ini dia bercerita tentang gudang tua di sebelah kanan kelas 1 IPS.F. Gudang itu dulunya adalah ruang interogasi, disana mereka disiksa hingga harus meregang nyawa. Beberapa saksi mata menceritakan, bahwa setiap tengah malam, terdengar suara – suara aneh seperti benda berat diseret – seret, teriakan kesakitan dan jeritan menyayat hati. Di malam – malam tertentu pula terdengar bunyi letusan senjata api dan bunyi benda berat jatuh. Hal yang diceritakan Alya, sering kutulis dalam cerita – ceritaku, bukan hal baru. Tapi, yang membuatku juga yang lain terkejut adalah ...

“BRUK !!” bunyi itu terdengar cukup keras berasal dari dekat pintu kelas, kami nyaris melompat kaget dan buru – buru menoleh. Tak ada apa – apa di pintu kelas, selanjutnya terdengar langkah kaki makin lama makin jauh. Dan aku merasakan terpaan angin dingin membuat bulu kudukku berdiri.

“Cukup, jangan kau teruskan cerita itu Lya,” ujar Vena dengan suara bergetar, air mukanya tampak pucat karena ketakutan. Kami lebih terkejut lagi saat melihat seorang wanita mendadak duduk di bangku pojok jauh dari tempat kami berkumpul. Huh, sejak kapan dia ada disitu ... membuat kaget saja. Kami tak mengenalnya, bukan berasal dari kelompok kami. Wajah baru.

Yah, dari 3 orang temanku, Alya-lah yang memiliki jiwa sosial tinggi, suka bergaul dan pemberani dan menyukai hal yang menurutnya baru. Melihat kehadiran wanita itu, ia segera berdiri dari bangkunya dan berjalan menghampiri orang baru tersebut.

“Hai, selamat pagi ... siapa namamu dan maukah kau bergabung dengan kami ?” sapanya ramah sambil mengulurkan tangan kanan bermaksud untuk menyalaminya.

Wanita itu hanya diam saja, sepasang matanya menatap dalam – dalam ke arah Alya. Sesaat kemudian ia menyambut telapak tangan Alya, sambil menundukkan kepalanya perlahan berkata, “Arimbi,” itulah kata – kata yang terlontar dari bibirnya yang menurutku sensual dan kata – katanya begitu bening dan jernih, sebening dan sejernih air di telaga Rawa Bayu, salah satu tempat wisata sakral menurut orang – orang di kota Banyuwangi ini. Gerak – geriknya bagiku cukup menarik, sekilas perhatianku terarah pada Jefri yang tak pernah berkedip saat menatapnya demikian pula Vena. Bagiku, kehadirannya akan menimbulkan nuansa baru di kelompokku.

***

Semenjak berkenalan dengan Arimbi, hubungan antara Alya dengannya cukup akrab. Aku sendiri tak habis pikir bagaimana caranya Alya bisa bersahabat karib dengan gadis pendiam dan menurutku aneh itu. Aneh, karena dia pendiam sekali berbicara hanya seperlunya saja dan terkadang menyendiri di sudut sekolah. Kalau sudah seperti itu, Alya-lah yang bisa menemaninya, bercerita banyak hal. Dan, aku tak ada kesempatan untuk mendekatinya sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. AKU INGIN MENGENALNYA LEBIH DEKAT, entah mengapa.

Hingga pada suatu hari aku melihatnya menangis sendirian di ruang gamelan, waktu itu Alya tidak masuk sekolah karena ijin ke luar kota. Semula kukira ia menangis karena Alya tidak masuk, maklum, sejak pertama kali masuk sekolah, hanya Alya saja yang dekat dengannya. Tapi, setelah berdamai dengan perasaan kikuk, akibat tak betah diam berlama – lama di sampingnya, aku berhasil membuka percakapan.

“Kenapa kau menangis ? Apakah karena Alya tidak masuk ?” tanyaku masih mencoba untuk menenangkan diri. Arimbi tak menjawab, suasana sunyi dan dingin merayap di sekitarku, tak terdengar apa – apa selain detak jantungku yang berdebar – debar di atas normal setiap kali mendekatinya.

“Mengapa jantungmu berdetak begitu kencang sekali ?” pertanyaan Arimbi ini makin membuatku kikuk, keringat dingin mengalir deras dari dahiku, aku bisa merasakan suhu tubuhku panas dingin, logat metropolitanku berantakan sudah saat berada di hadapannya.

Aku masih bisa melihat sepasang matanya memerah, “Ti ... Tidak apa – apa, hanya saja aku ... merasa iba saat melihatmu menangis sendirian di tempat ini. Sebenarnya, apa yang menyebabkanmu menangis ?” jawabku.

Sekian lamanya Arimbi terdiam, untuk kemudian kembali bersuara, “Kudengar kau suka menulis cerita – cerita horror, apakah itu benar ?” Aku tertawa tawar, “Ehm, hanya sekedar pengisi waktu luang saja. Dan cerita – cerita yang kutulis tidak seberapa bagus, kok. Oh,ya ... mengapa kau menangis sendirian di tempat ini ? Apakah ada yang menyakitimu ?” tanyaku sambil berusaha untuk tetap menenangkan diri.

Arimbi menggelengkan kepala, “Jangan pedulikan mengapa aku menangis sendirian, ini sudah menjadi kebiasaanku. Aku hanya heran, kau suka menulis cerita horror, tapi, sama sekali tidak mempercayai hal – hal yang berkaitan dengan dunia supernatural,” katanya. Angin dingin yang aneh mendadak menerpa tengkukku sementara Arimbi kembali melanjutkan perkataannya, “Percaya atau tidak dunia tersebut memang ada di sekitar kita. Menurut Alya dari sekian banyak ruangan, ruangan ini adalah salah satunya,”

“Ah, Alya memang suka menyebar gossip sembarangan saja, kau tak perlu menanggapinya. Kalau memang demikian harusnya ada bukti – bukti yang kuat sebagai penunjangnya,”

“Kalau begitu, ijinkan aku bertanya. Masih ingatkah kau sewaktu hari pertama masuk sekolah ini ?”

Tentu saja aku masih ingat, nona. Kejadian itu membuatku tidak bisa tidur nyenyak selama tiga hari tiga malam. “Aku sudah lupa,” dalihku berbohong. Arimbi menatapku dalam – dalam, membuatku tertunduk karena malu tak tahan bertatapan lama – lama dengan wajah cantiknya dan bulat telur. “Aku yakin kau masih ingat, tapi, kau sengaja menyembunyikannya,” Jleb, kata – katanya bagaikan sebilah pisau belati menancap tepat di jantungku, yah... kau benar Rim ... aku sengaja berbohong.

”Kau benar, Rim ... sekeras apapun aku berpikir ... kejadian itu memang sulit diterima oleh logika. Dan aku, berniat melupakannya,” aku akhirnya mengakui, “Apakah menurutmu, aku salah ?”

“Tidak. Manusia ketakutan terhadap apa yang mereka tidak tahu, sementara, bagi orang – orang tertentu, kejadian itu adalah hal yang biasa,”

“Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan, Rim ?”

“Kau adalah penulis cerita horror, pastinya tahu apa yang kumaksudkan, kalau tak mengerti juga ... tinggalkan aku sendirian di tempat ini,” Aku yang semula sudah berhasil menenangkan diri, mendadak saja kembali gugup dengan kata – kata yang terlontar dari mulutnya. Aku memang tidak paham apa maksud dari ucapannya itu, manakala mengetahui nada bicaranya yang terdengar ketus sekalipun airmukanya tampak tidak berubah, buru – buru aku mencoba untuk mencari kata – kata yang tepat. Aku ingin memanfaatkan kebersamaanku bersamanya berkesan. Yah, tampaknya sekalipun pertemanan kami sudah berlangsung hampir 2 tahun, aku masih tetap kesulitan memahami karakter Arimbi yang berubah – ubah.

“Ehm, bagaimana kalau kita ke kantin ? Kudengar dari Alya, saat kau berangkat sekolah perutmu sama sekali tak terisi ? Jadi, kebetulan ada sedikit uang untuk membeli cemilan atau apa saja yang kau suka,” ide yang bagus, bro... tiba – tiba saja itu terlintas di benakku, kuharap dia mau menerima ajakanku.

Tapi, lagi – lagi aku dibuat bingung dengan ulahnya yang tiba – tiba saja berjalan keluar dari ruang gamelan. Sesampai di pintu, ia menoleh, “Apa yang kau tunggu ?” tanyanya. Aku menoleh kesana – kemari, bingung.

“Katanya kau ingin mengajakku ke kantin, apa kau serius ? Lalu, buat apa kau duduk sendirian disitu, Rico ?” kembali Arimbi berkata. Berhasil. Akupun segera berjalan menghampirinya dan kami berdua menuju ke kantin, tak bisa kubayangkan perasaanku saat itu.

Sesampai di kantin kami memesan nasi campur dan teh hangat. Dan, satu lagi yang membuatku semakin kagum pada Arimbi, Ia bukanlah cewek matre seperti siswi – siswi lain, dia hanya memesan menu yang paling murah nasi pecel dan air putih. Saat kutawarkan menu lain, dia menolak dan aku tidak berani mendesaknya lebih lanjut. Saat pesanan kami tiba, cacing – cacing dalam perut kami seakan menari – nari menyambut kepulan asap yang sebagian memasuki lubang hidung. Terima kasih Tuhan atas makanan yang tersaji di hadapan kami.

Semoga kami bisa mengulang kejadian ini kelak. Gumamku dalam hati, yah, aku merasa bersyukur bisa berduaan dengan Arimbi yang sudah sekian lama kutaksir semenjak tahun lalu.

Sambil menikmati makanan dan minuman, kami bercerita tentang banyak hal. Disini Arimbi hanya membiarkan dirinya menjadi pendengar yang baik sambil sesekali menimpali cerita – ceritaku dengan sepatah dua patah kata, sesekali tersenyum manis, membuatku tak bosan – bosannya berlama – lama dengan adis yang kini menyandang julukan sebagai FREAKY GIRL itu. Untuk sementara, aku seperti bebas dari tekanan yang terjadi beberapa menit lalu di ruang gamelan, tampaknya Arimbi juga tak ingin mengungkit – ungkit hal itu. Tapi, setelah kami selesai makan, Arimbi menatapku dengan pandangan kosong.

“Hei, ada apa denganmu ? Mengapa kamu menatapku seperti itu ?”

“Sebaiknya, kita segera pergi dari tempat ini. Aku takut dia mencelakaimu,” katanya tiba – tiba.

Aku mengalihkan pandangan ke sekeliling, hanya siswa – siswi yang berseliweran kesana – kemari, tak ada hal yang aneh, “Apa maksudmu ? Siapa yang kau maksud dengan ‘dia’ ?” tanyaku. Arimbi berdiri lalu bergegas meninggalkan kantin, buru – buru aku menyusulnya, “Hei, bisakah lo, bilang jujur sama gue ada apa sebenarnya ?” tanyaku logat metropolitanku kembali muncul karena tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.

“Aku akan menceritakannya saat kalian benar – benar sudah siap menerima kenyataan tentang siapa diriku ini yang sebenarnya !” bentak Arimbi, menutup mulutku saat itu juga, “Kau tahu, sebenarnya aku juga bingung mengapa ini terjadi padaku bukan pada orang lain sepertimu, Alya dan yang lainnya. Jika kalian bisa mengerti keadaanku, mungkin kalian sama dengan orang – orang di sekitarku ! Untuk saat ini aku belum siap menceritakan hal itu pada siapapun juga. Kumohon, jangan desak aku seperti ini,”

“Gue benar – benar tak paham dengan apa yang lo katakan, Rim,” kataku, “Baru saja kita baik – baik saja, sekarang malah berbalik 360 derajat. Siapa yang lo maksud dengan ‘Dia’ ?”

“Pergilah, aku ingin sendiri,” pinta Arimbi.

Walau sebenarnya merasa berat meninggalkan Arimbi, toh, aku menurut juga. Sabar, bro ... masih ada banyak waktu untuk mengakrabkan diri dengan situasi ini, sabarlah. Hiburku. Sekalipun aku bisa bersabar tapi, aku masih penasaran dengan sebutan ‘dia’ tadi. Apakah pacarnya ? atau hal lain ? Aku melangkah meninggalkan tempat itu, sementara, Arimbi masih berdiri bagaikan patung.

***

Episodes
1 Bab 1 - MASKER
2 Bab 2 - MASKER
3 Bab 3 - MASKER ( ERICO – Personality Conflict )
4 Bab 4 - MASKER ( Alya - POV )
5 Bab 5 - MASKER - Mariam Van Giels ( POV )
6 Bab 6 - MASKER - RONALD VAN GIELS ( POV )
7 Bab 7- MASKER - Naomi ( POV )
8 Bab 8 - MASKER - Rara Utari ( POV )
9 Bab 9 - MASKER - Zahra ( POV )
10 Bab 10 - MASKER - Pesan Untuk Sang Anak
11 Bab 11 - MASKER - Erna ( POV )
12 Bab 12 - MASKER - Arimbi ( POV )
13 Bab 13 - MASKER - Alya & Erico ( POV )
14 Bab 14 - MASKER - Arimbi ( POV )
15 Bab 15 - MASKER - Naomi & Arimbi ( POV )
16 Bab 16 - MASKER - Cindy Permatasari & Maribeth ( POV )
17 Bab 17 - MASKER - Epilog
18 Bab 18 - MICHIKKO - Bagian Pertama
19 Bab 19 - MICHIKKO - Bagian Kedua
20 Bab 20 - MICHIKKO - Bagian Ketiga
21 Bab 21 - Michikko - Bagian Keempat
22 Bab 22 - Michikko - Bagian Kelima
23 Bab 23 - Michikko - Bagian Keenam
24 Bab 24 - Michikko - Bagian Ketujuh
25 Bab 25 - Michikko - Bagian Kedelapan
26 Bab 26 - Michikko - Bagian Kesembilan
27 Bab 27 - Michikko - Bagian Kesembilan
28 Bab 28 - Michikko - Bagian Kesepuluh
29 Bab 29 : [ Tersesat ] Di Nakampe Gading - Bagian Pertama
30 Bab 30 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kedua
31 Bab 31 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Ketiga
32 Bab 32 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Keempat
33 Bab 33 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kelima
34 Bab 34 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Keenam
35 Bab 35 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Ketujuh
36 Bab 36 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kedelapan
37 Bab 37 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kesembilan
38 Bab 38 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kesepuluh
39 Bab 39 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kesebelas
40 Bab 40 : Kurir - Bagian Pertama
41 Bab 41 : Kurir - Bagian Kedua
42 Bab 42 : Kurir - Bagian Ketiga
43 Bab 43 : Kurir - Bagian Keempat
44 Bab 44 : Kurir - Bagian Kelima
45 Bab 45 : Kurir - Bagian Keenam
46 Bab 46 : Kurir - Bagian Ketujuh
47 Bab 47 : Manekin - Bagian Pertama
48 Bab 48 : Manekin - Bagian Kedua
49 Bab 49 : Manekin - Bagian Ketiga
50 Bab 50 : Manekin - Bagian Keempat
51 Bab 51 : Tragedi Malam Berdarah - Bagian Pertama
52 Bab 52 : Tragedi Malam Berdarah - Bagian Kedua
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Bab 1 - MASKER
2
Bab 2 - MASKER
3
Bab 3 - MASKER ( ERICO – Personality Conflict )
4
Bab 4 - MASKER ( Alya - POV )
5
Bab 5 - MASKER - Mariam Van Giels ( POV )
6
Bab 6 - MASKER - RONALD VAN GIELS ( POV )
7
Bab 7- MASKER - Naomi ( POV )
8
Bab 8 - MASKER - Rara Utari ( POV )
9
Bab 9 - MASKER - Zahra ( POV )
10
Bab 10 - MASKER - Pesan Untuk Sang Anak
11
Bab 11 - MASKER - Erna ( POV )
12
Bab 12 - MASKER - Arimbi ( POV )
13
Bab 13 - MASKER - Alya & Erico ( POV )
14
Bab 14 - MASKER - Arimbi ( POV )
15
Bab 15 - MASKER - Naomi & Arimbi ( POV )
16
Bab 16 - MASKER - Cindy Permatasari & Maribeth ( POV )
17
Bab 17 - MASKER - Epilog
18
Bab 18 - MICHIKKO - Bagian Pertama
19
Bab 19 - MICHIKKO - Bagian Kedua
20
Bab 20 - MICHIKKO - Bagian Ketiga
21
Bab 21 - Michikko - Bagian Keempat
22
Bab 22 - Michikko - Bagian Kelima
23
Bab 23 - Michikko - Bagian Keenam
24
Bab 24 - Michikko - Bagian Ketujuh
25
Bab 25 - Michikko - Bagian Kedelapan
26
Bab 26 - Michikko - Bagian Kesembilan
27
Bab 27 - Michikko - Bagian Kesembilan
28
Bab 28 - Michikko - Bagian Kesepuluh
29
Bab 29 : [ Tersesat ] Di Nakampe Gading - Bagian Pertama
30
Bab 30 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kedua
31
Bab 31 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Ketiga
32
Bab 32 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Keempat
33
Bab 33 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kelima
34
Bab 34 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Keenam
35
Bab 35 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Ketujuh
36
Bab 36 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kedelapan
37
Bab 37 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kesembilan
38
Bab 38 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kesepuluh
39
Bab 39 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kesebelas
40
Bab 40 : Kurir - Bagian Pertama
41
Bab 41 : Kurir - Bagian Kedua
42
Bab 42 : Kurir - Bagian Ketiga
43
Bab 43 : Kurir - Bagian Keempat
44
Bab 44 : Kurir - Bagian Kelima
45
Bab 45 : Kurir - Bagian Keenam
46
Bab 46 : Kurir - Bagian Ketujuh
47
Bab 47 : Manekin - Bagian Pertama
48
Bab 48 : Manekin - Bagian Kedua
49
Bab 49 : Manekin - Bagian Ketiga
50
Bab 50 : Manekin - Bagian Keempat
51
Bab 51 : Tragedi Malam Berdarah - Bagian Pertama
52
Bab 52 : Tragedi Malam Berdarah - Bagian Kedua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!