CHAPTER 05

Chapter 05

Tiga orang pelayan tersenyum di depanku yang baru saja bangun dari tidurku. Tidur yang paling melelahkan.

“Kami sudah menyiapkan jazucci air hangat lengkap dengan bunga mawar. Seperti perintah Tuan muda Kai, Ny. Isla harus dalam keadaan wangi dan harum sepanjang hari.” Dori memperlihatkan bunga mawar merah yang siap digunakan.

Yang ada aku akan disengat lebah dan tawon bukan jadi wangi!

Tanpa basa-basi, aku langsung masuk ke dalam air dan menutup mata karena pikiranku sudah seperti perang dunia ketiga. Aku masih memikirkan bagaimana caranya keluar dari rumah ini tapi sayangnya tidak ada apapun yang bisa aku dapatkan.

“Ny. Isla, apa kami bisa bisa tanya mengenai suatu hal?” Dona bertanya dengan wajah memerah.

“Soal apa?” aku membuka mataku perlahan.

Wajah Dona bertambah merah. “Ini mengenai Tuan muda Kai, yang aku dengar Tuan muda dan Nyonya jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Apa?! Rumor dari mana itu?

Aku menutup mataku sambil mengigit bibir dengan kesal. “Lebih baik kalian tanya pada Tuan muda Kai kalian itu aja.”

“Tuan muda Kai nggak mungkin mau menjawab,” Dora mengeluh.

Tentu aja Si Raja Mafia yang sombong itu mana mungkin mau menjabab kenyataannya!

Aku membuka mata dan bermain-main dengan mawar merah. Menutupi badanku hingga bagian bahu dengan kelopaknya. “Lagian kenapa kalian mau tau tentang pribadi Kai?”

Dona memasukkan wewangian ke air sambil bicara lagi. “Kami penasaran aja, karena setelah Nona Asta....”

“Hush!” Dora menutup mulut Dona. “jangan bicara nama itu lagi.”

Siapa Asta? Oh Tuhan, drama apalagi yang terjadi di rumah sekte mafia ini??

“Sudah lupakan masa lalu,” Dori berbicara layaknya psikolog padaku. “tatap saja masa depan dengan Tuan Muda kami, Ny. Isla. Kami siap mendukung anda.”

Aku hanya bisa tersenyum pilu mendengarnya.

Tapi tidak lama kemudian kami dikejutkan dengan sesuatu yang keras dan pecah tepat di samping jazucci.

Jendela pecah dan semua pecahannya masuk ke dalam air.

Ketiga pelayan berteriak histeris dan aku hanya bisa membelalakan mata saat seseorang dengan topeng hitam masuk lewat jendela itu.

“Ahhh!” Aku berteriak kencang saat pria itu berusaha mencekikku.

“Aku akan mati hari ini!” Pria itu berteriak sementara aku berusaha melepaskan tangannya dariku.

Ketiga pelayan berusaha melepaskan genggamannya di leherku. Mereka berjibaku untuk melepaskan tangan pria kuat itu tapi tidak ada yang berhasil. Pria itu bahkan berhasil mendorong Dora hingga dia terjatuh dan mengenai pecahan kaca.

Tangisannya pecah di ruangan kacau balau ini.

Saat aku merasa napasku sudah tidak ada lagi dan merasa akan mati, seseorang berhasil melepaskan tangan itu. Mataku yang masih buram hanya bisa melihat dua orang berkelahi. Suara barang-barang pecah satu demi satu terdengar. Tangisan dan teriakan ketakutan dan tiga pelayan juga semakin terdengar jelas.

Aku ingin berdiri tapi tangan dan kakiku terasa kaku dan tidak bisa bergerak semestinya. Apa yang harus aku lakukan? Pandanganku semakin memburuk karena sekarang semuanya tampak lebih buram.

“Nyonya! Oh Tuhan, air sudah penuh darah!” Suara Dona bergetar.

Aku merasa badanku ditutupi oleh sesuatu sebelum seseorang membawaku keluar dari air.

“Tenang Nyonya, anda sudah ditutupi handuk,” Dori mengatakan dengan tangisan di dekatku.

Tapi yang membawaku bukan para pelayan itu. Seseorang yang wangi tubuhnya sudah mulai aku kenali dengan baik.

Omar.

“Omar...” rintihku dengan kesakitan. Aku berusaha mencari suaraku lagi. “apa aku bakal mati?”

“Jangan bicara yang bukan-bukan,” Omar memarahiku sekaligus menenangkanku. “sebentar lagi Kai akan pulang, jangan khawatir.”

Oh, Tidak. Kai.

Tangisanku semakin pecah mendengar namanya.

Aku seperti ini karena dia!

Kenapa aku harus percaya sama dia!

“Aku nggak mau ketemu dia! Omar, aku nggak mau mati!”

“Sudah dibilang jangan ngomong kaya gitu! Semuanya bakal baik-baik aja.” Omar mengamuk tapi tetap terus berlari.

Dia berlari membawaku entah kemana.

“Panggil Dokter Rasmun sekarang!” Omar memerintahkan seseorang.

“Baik, Tuan,” Dora menjawab dengan gelisah.

Omar membaringkanku ke sebuah tempat tidur empuk. Aku tidak berani membuka mata karena rasa sakit kepalaku lebih besar ketika membukanya.

“Omar, jangan tinggalin aku….”

“Hei, aku nggak akan kemana-mana. Tenang aja.” Omar berbisik dengan nada lembut kali ini. Tapi dia terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

“Kalian bantu Nyonya Isla memakai baju sebelum ketemu Dokter. Pastikan kalian bersihkan luka-luka dibawahnya. Jangan ada yang terlewat. Kai akan sampai nggak lama lagi, kalian tau apa konsekuensinya.”

“Baik, Tuan,” Dona dan Dori menjawab dengan cepat.

“Isla, aku bakal menunggu di sudut kamar, aku nggak bisa meninggalkan kamu sedetik aja sekarang, aku bakal balik badan dan menghadap dinding, kamu jangan khawatir.”

Aku hanya bisa mengangguk dengan tangisan yang mulai perlahan keluar. Entah kenapa aku percaya Omar tidak akan melakukan hal apapun di luar apa yang dia janjikan.

“Nyonya kami punya baju yang sesuai untuk dipakai, maaf jika ini akan sangat sakit saat dipakai,” Dori memberitahu.

Aku mengangguk lagi.

Keduanya mulai memakaikan aku baju itu. Aku hanya bisa merasakan jika teksturnya sangat lembut. Tapi tetap saja aku merintih karena luka-luka itu bersentuhan dengan pakaian.

“Hati-hati, jangan sampai lukanya jadi lebih parah,” Omar berkata dari kejauhan saat mendengar aku menangis dan merintih lagi.

“Baik, Tuan,” Keduanya menjawab dengan ketakutan dan bergetar.

Mereka berhasil membersihkan luka secara perlahan dan memakaikan pakaian sampai selesai. Mereka bahkan menghidupkan aromaterapi di sebelah tempat tidur untuk menenangkan aku yang masih tidak bisa membuka mata tanpa merasa kesakitan.

Aku mendengar suara pintu terbuka. Lalu mendengar semua pelayan bernapas ketakutan di sekitarku.

Kairav Arumbay.

Dia sudah datang.

“Islana.” Dia langsung berada di sebelahku. Kepedulian terdengar dari suaranya.

Apa itu cuma ekspresi palsu?

“Dia masih belum bisa buka matanya, Kai,” Omar berkata masih dari kejauhan.

“Kenapa seluruh badannya penuh luka?” Kai memegang tangan dan kakiku.

Aku mengerang kesakitan. “Kai, jangan sentuh aku!”

“Isla,” Kai menyentuh rambutku.

“Pergi!” Aku menepis tangannya dan bersembunyi dalam selimut.

Di balik selimut aku tidak ingin mendengar suaranya. Tapi tetap saja suaranya terdengar dan tidak lama kemudian Kai meminta tiga pelayan untuk keluar. Dan saat Kai memanggil Omar dan memintanya juga keluar, aku berang.

“Jangan! Omar jangan pergi, please!”

Aku hanya bisa mengatakan itu di balik selimut. Kepalaku hampir pecah, seluruh tubuhku kesakitan dan air mataku mengalir dengan deras. Apalagi yang akan aku terima hari ini??

Keheningan muncul lagi. Keduanya tidak mengatakan apapun. Satu patah katapun.

Lalu....

Pintu tertutup pelan.

Seseorang pergi dari kamar ini.

Tapi aku tidak tahu siapa.

“Isla.”

Itu Omar. Dia masih di sini. Berarti....

“Dia nggak akan ngelakuin apapun yang menyakiti kamu, Isla,” Omar menggenggam tanganku lebih erat. Tangannya begitu hangat. Aroma maskulinnya begitu kuat hingga membuatku ingin memeluknya. “dia nggak akan melakukannya, Kai bukan orang yang seperti itu.”

“Aku mau pulang, aku mau pulang, Omar.”

“Hushh, kamu masih syok. Sekarang kamu istirahat. Dokter akan datang. Kalau kamu sudah tidur saat dia datang, nggak apa-apa. Dia hanya akan memeriksa luka kamu dan memberi obat terbaik. Para pelayan wanita di luar yang akan memastikan hanya mereka yang boleh membantu kamu saat dokter ada nanti.”

“Aku nggak bisa tidur. Kelapaku mau pecah, semua badanku nyeri.” aku merintih lagi.

“Aku ada disini, ambil napas pelan-pelan.”

Aku menuruti perkataannya. Mengambil napas panjang dan menghembuskannya sesuai dengan perkataan Omar. Sesekali dia akan memberikan pujian karena aku berhasil melakukannya dengan baik.

Omar bahkan mematikan seluruh lampu untuk membuat mataku nyaman. Menutup tirai ketika aku memintanya, dan tetap menggenggam tanganku saat aku memanggilnya lagi.

“Omar, aku masih belum bisa tidur.”

Omar tersenyum di sebelahku. Aku bisa merasakannya. Dia membantu mengeringkan rambutku sejak tadi dan sekarang dia kembali duduk dan menggenggam tanganku.

“Kalau begitu aku akan menceritakan sebuah cerita. Mungkin kamu bisa langsung tidur saat mendengarnya.”

Aku mengangguk.

Mataku tiba-tiba sudah tidak sanggup lagi dan tidak bisa menahan diri agar tetap sadar....

***

​“Siapa dia??!!!”

​Suara itu membangunkanku.

​Saat aku membuka mata di sana dua orang wanita yang tidak aku kenal membuka selimutku dengan kasar. Mata mereka membara. Terlihat kepicikan dari keduanya.

​Wanita yang lebih tua datang dan menjambak rambutku dengan kasar. Dia memekik di depan wajahku dengan wajah merahnya. “Jadi ini calon istri Kai?! Begitu hina mengambil istri dari kelas bawah dan kumuh!!!”

​Wanita yang muda dengan lipstick merah dan dan wajah penuh filler itu datang dan menarik bajuku. “Bisa-bisanya Kai punya cewek seperti dia!!!” Dia nggak ada apa-apanya dibanding aku!”

​“Kamu jelas-jelas dari kelas atas Asta! Kamu pacar Kai selama bertahun-tahun,” jawab si Ibu. “kita pastikan hari ini perempuan sialan ini keluar sambil merangkak!”

​Mereka menarik tubuhku yang masih kaku, aku pun berteriak sekuat tenaga, mataku terasa hampir keluar dari sangkarnya, napas pun tidak terasa lagi. Aku berusaha menarik tangan mereka berdua tapi nyatanya mereka terlalu kuat.

​Mereka menyeretku sambil sesekali memukul kepala dan perutku. Membuat badanku remuk luar dalam hingga seseorang membuka pintu dan berteriak.

​“Apa yang kalian lakukan?!!!”

​Kai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!