NovelToon NovelToon

Rahasia Yang Terlupakan

1. [Sistem Transmigrasi aktif]

Aku membalik halaman novel selanjutnya, ekspresiku sudah tak tertahankan ketika membacanya.

"Menjebak konflik antara Raja dan Grand Duke dan membuat mereka melalui perang dingin, Winola di klaim sebagai utusan penyihir dan akhirnya di adili. Dalam sistem kerajaan, barang siapapun yang terlibat dalam sihir hitam akan mendapatkan hukuman di bakar hidup-hidup di hadapan seluruh masyarakat, sebagai contoh agar tidak mengulang kesalahan yang sama.

Siang hari di balai kota, Winola di adili oleh tangan suaminya sendiri."

Brak, aku membuang buku itu dari hadapanku. Kenapa tokoh itu sangat lemah dan membuat dirinya sendiri terbunuh? Dasar Idiot!

"Wow, aku pikir dia cukup pintar karena bisa menikahi Grand Duke, malah dia mati secepat itu." Apa-apaan plot murahan itu?

Mataku jadi panas. Aku membakar buku itu di atas perapian, biarlah karakter bodoh itu lenyap selamanya, aku tak usah membacanya sampai akhir. Buang-buang waktu saja.

Di tengah kota yang tengah di dera hujan lebat, aku mendengar suara langkah kaki yang berat dari arah kegelapan. Tepat sebelum ia mendekat, aku berlari sekuat tenaga. Genangan air terkadang menciprat lantaran langkahku yang panjang dan cepat.

Dingin.

"Hey, berhenti, berhenti disana!"

"Cih," Aku berdecak. Ada tiga pria mengejarku di belakang. Langkah mereka cepat, namun tak cukup gesit untuk seorang mantan atlet lari sepertiku. Dalam beberapa belokan gang bertembok, mereka pun sudah tak mampu mengejarku lagi. Dalam kesempatan ini, aku berhasil lolos lagi.

Ya, lagi.

"Dasar beruang buncit."

Beginilah kehidupanku. Mantan konglomerat yang harus tinggal berpindah-pindah tempat. Menjadi buronan rentenir, pencopet, atau membodohi orang idiot, itulah kesibukanku selama ini. Bagaimana roda kehidupan sangat cepat mengobrak-abrik nasib seseorang. Menyebalkan.

Semua ini gara-gara hutang yang di tinggalkan orang tuaku yang bodoh itu. Aku membenci mereka. Benar-benar pembawa sial.

Aku melepas sepatuku yang basah, mengantinya dengan sandal selop dan masuk ke dalam kereta bawah tanah. Aku duduk bersender, napasku terengah. Beberapa pasang mata mungkin tengah menatapku aneh, seorang gadis kucel dengan jaket hitam yang basah. Siapa yang peduli. Mereka hanya sekumpulan orang rendahan.

"Dasar tikus jalanan, mau lari kemana lagi kau."

Sontak aku membuka mata, ketika beberapa pria sudah mengelilingiku dan membekapku dengan obat bius. Selanjutnya, aku sudah tidak ingat apa yang terjadi. Mendadak aku sudah berada di dalam ruangan pengap.

Mataku perih mencoba menyesuaikan cahaya. Ada bau nikotin dan asap yang membuat sesak. Para pecundang ini memang hidup di tempat sampah.

"Oh, kau sudah bangun?" Seorang pria berbadan tambun, menatapku dengan seringai jelek. "Rupanya tikus ini cepat sadar juga."

Beberapa orang menghampiriku dengan tatapan mencemooh.

"Sayang sekali bos tidak mengizinkan kami menyentuhnya dulu, dia punya mata yang cantik seperti ibunya, haha."

"Ibunya dulu bintang model busana, bukan? Sangat seksi dan cantik. Pantas saja tikus ini punya wajah mulus." Si tambun tadi mencoba membelai wajahku, tapi aku meludahinya.

"Jangan menyentuh ku dengan tangan menjijikanmu, akan ku potong tanganmu!" Peringatku.

Alih-alih marah, pria itu tertawa getir. "Kau hanya gadis jalanan, sialan. Jangan berlaga seolah kau memiliki uang, dasar banjingan kecil."

"Apa yang akan kalian lakukan? Menjual organku?"

"Menjual? Itu sudah tidak populer. Sepertinya lebih menguntungkan jika kau di jual ke rumah bordir."

"Sialan, lepaskan aku!" Aku meronta.

"Tutup saja mulutnya, besok pagi kita bawa dia ke pasar lelang." Si ceking membuat keputusan. Lantas mereka mengambil kain dan membungkam mulutku.

Aku, santai saja. Karena sendiri tadi, aku sudah bangun dan sudah memikirkan jalan pelarian. Mereka pikir semudah itu menjebakku? Mereka tidak tau siapa aku?

Sudah setahun berlalu aku menjalani kehidupan seperti ini, nampaknya aku sudah mahir dengan serangan mendadak dan kejar-kejaran. Tidak sia-sia aku mengikuti kelas bela diri dan ektrakurikuler lari sejak SMP. Rupanya sangat berguna di kemudian hari.

Aku menunggu sampai tengah malam sebelum memotong tali menggunakan pisau kecil yang tersembunyi di balik ikat pinggang. Ada jendela kecil, ventilasi di ujung tembok. Tak masalah jika tinggi, aku pun mahir memanjat. Tepat sesuai prediksiku, beberapa dari mereka pun ada yang berjaga di luar. Tapi, beruntungnya mereka berdua tengah mabuk, sangat mudah menggulingkan mereka.

Dasar pecandu, tidak becus mengurus orang.

Sialnya, beberapa dari mereka menyadari ada yang tidak beres dan melihatku. Mereka berlarian mengejarku, sementara aku sudah memanjat tembok dan berlari keluar. Untungnya ini masih di tengah kota, dan aku sedikit menghafal jalur pelarian aman.

Terdengar beberapa orang meneriaki namaku, peduli apa aku tetap berlari sekuat tenaga.

Melewati beberapa jalur kendaraan, sampai ke daerah pertokohan, aku mencoba memblokir jalur mobil. Mereka tak kunjung menyerah dan malah mengeluarkan senjata api.

"Hahh, mereka sulit di kelabuhi!" Aku berhasil bersembunyi di balik tumpukan sampah. Mungkin, ada sekitar sepuluh menit sebelum aku kembali berlari.

Kali ini mereka tidak terlihat dimana pun. Sungguh bodoh jika berpikir mereka menyerah. Entah apa yang membawaku kembali ke jalan raya, sudah tengah malam, sudah pasti tidak ada kendaraan yang lewat. Aku hanya terus berlari, tanpa tujuan dan tanpa tau kemana, atau, apakah ada yang akan menolongku?

Huh, sungguh malang nasip ini. Aku berhenti sejenak, di bawah lampu jalanan. Perutku sakit, sudah dua hari ini aku hanya makan roti. Lihatlah, aku seperti seorang gelandangan. Semua ini bukan salahku, kenapa aku harus menderita seperti ini?

Ayah memiliki penyakit jantung, tak lama setelah kebangkrutan perusahaannya. Ia harus di rawat seminggu penuh di rumah sakit, dan harus menebus obat setiap minggunya. Setelah sembuh, ayah bekerja menjadi sopir muatan barang, sementara ibu menjadi karyawan toko swalayan.

Semua itu mereka lakukan agar aku tak terlihat seperti seseorang yang jatuh miskin. Bukankah sudah sepantasnya mereka masih memanjakanku. Mereka memang tidak pernah berpikir panjang.

Memang bodoh. Aku yang sejak kecil selalu di manja, mendapatkan segalanya, tak pernah kekurangan apa pun sebab orang tuaku adalah orang berekonomi tinggi. Lantas aku tak pernah merasakan kekurangan. Aku tak pernah di ajarkan hidup berhemat dan selalu berbuat kikir. Lalu, ketika orang tuaku bangkrut, aku tidak bisa menerima kenyataannya.

Aku, si gadis keras kepala. Menolak hidup miskin dan berhemat. Siapa yang mau hidup miskin?

Aku mulai menangis, atau mengunci diri di dalam kamar. Tidak mau makan atau minum jika keinginanku tidak di turuti. Permintaanku dulu sangat aneh-aneh dan tidak berguna. Tetapi mereka-kedua orang tuaku tidak mau anaknya yang keras kepala ini ikut merasakan hidup sengsara.

Itu bukan salahku jika mereka tidak bisa mempertahankan kekayaannya. Bukankah sudah sepantasnya aku mendapatkan yang terbaik.

Mereka menjual rumah, mobil, segala yang mereka punya lantas pindah ke rumah yang lebih kecil. Mereka kembali memanjakanku, memberiku uang jajan yang besar, membawaku jalan-jalan, sama seperti kehidupanku sebelum mereka bangkrut. Minimal itu yang bisa mereka lakukan untukku.

Hari itu, hari kelulusanku. Aku hanya meminta mereka menyewa sebuah mobil mewah untuk datang di acara wisudaku. Aku hanya berpikir untuk menyembunyikan skandal ayah dan tetap menjadi nyonya muda, pikirku.

Ayah dan ibu mengusahakan segalanya, mereka akhirnya bisa mendapatkan sewa mobil dan datang ke acara wisudaku.

Aku menelpon ayah berkali-kali, mereka hampir terlambat datang ke acara utama. Mungkin saja saat itu ayahku sedang sakit kepala atau apalah, membuat mereka mengalami kecelakaan hebat. Mendadak terdengar suara bising lalu di ikuti jeritan ibu. Telepon terputus menyisakan aku yang membatu di tempat.

Kecelakaan merengut nyawa ayah.

Ibu mengalami pecah pembuluh darah dan kritis. Saudara ibu yang tinggal di kampung membiayai rumah sakit. Hingga ibuku sembuh. Namun, ibu tak benar-benar sembuh. Ia mengadu sakit setiap harinya. Biaya pengobatan serta operasinya begitu mahal hingga aku memutuskan untuk menjual rumah. Satu-satunya harta yang kami miliki.

Tetapi, takdir berkata lain.

Ibuku pergi ke langit, menyusul ayah.

Sebab kesombongan dan kecongakan keluargaku, kerabat ayah maupun ibu tak mau menampungku. Orang tuaku meninggalkan banyak hutang yang menjadi bebanku. Aku mulai hidup lontang-lantung di jalanan. Terkadang menjadi kurir makanan, atau bekerja paruh waktu. Namun, karena sikap keras kepalaku, belum genap satu bulan pasti sudah di pecat.

Para bos bodoh itu tidak tau bagaimana caranya memperlakukan orang berkelas sepertiku.

Entahlah, sifat memang susah diubah, bukan? Pekerjaan paling cocok untukku hanyalah berjudi, berhutang, dan melarikan diri. Haha.

"Ini semua, salah kedua orang tuaku. Ini semua akibat karma atas dosa mereka,"

Bahkan sekarang, aku bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan mata. Telingaku berdengung manakala suara klakson terus menyeru. Sejak kapan ada banyak orang menatapku dengan khawatir di sebrang jalan sana? Dan, sejak kapan aku melangkah ke tengah jalan?

Oh, ada truk yang akan menabrakku. Pantas saja mereka khawatir. Barangkali aku akan mati sebentar lagi. Oh, apakah pada akhirnya karma seperti ini yang menjadi akhirnya?

"Aku membenci ayah dan ibu, semoga kita semua bisa menebus dosa yang kita perbuat."

[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]

2. kucing?

Aku menggerakkan tubuh. Mataku sulit terbuka. Bahkan tubuhku terasa amat sakit. Apa-apaan ini, dalam alam kematian pun rasanya masih sangat menyakitkan. Truk sialan! Terlepas suara aneh kemarin, kepalaku menjadi pening.

Aku menggerakkan kepalaku, rasanya kaku. Ketika tubuhku terguling ke samping, perasaan dingin menyelimuti tubuhku, seolah tengah duduk diatas awan berair, badanku basah. Ada bau rumput beserta semilir angin sejuk. Samar-samar terdengar suara kicauan burung yang menenangkan.

Aku mencoba membuka mataku lagi, cahaya terang langsung menyalak ke mataku.

Oh? Ada pohon besar diatas sana, dan aku benar-benar terbaring di atas rumput. Surga? Mana mungkin aku masuk surga.

Pohon rimbun. Daun-daun yang lebat namun tak membuat langit benar-benar tertutup. Cahaya matahari masih dapat menerobos sela. Semak belukar di mana-mana. Daun-daun kering menjadi karpet pembatas antara tanah. Menumpuk cukup tebal. Sehingga bau daun busuk tengik tercium. Suara lamun-lamun berbagai macam burung yang beradu kemahiran berkicau. Grasak-grusuk sesuatu yang bergerak di semak-semak mendominasi.

Apakah ini sebuah hutan? Apakah preman dan rentenir itu yang membuangku ke hutan? Berani-beraninya mereka!

Keanehan belum berakhir. Ketika aku ingin mengusap wajah, sekedar mengucek mata untuk memastikan jikalau ini adalah alam mimpi. Namun, tanganku berbulu lebat. Seperti Bulu-bulu lembut milik karpet nyonya Moira—mantan pembantuku yang tempo hari menolongku di rumahnya. Aku memajukan tanganku, masih dengan posisi duduk. Sehingga aku bisa melihat bulu-bulu perak yang memenuhi kulit tangan.

APA-APAAN INI!

Aku segera bangkit. Tetapi kedua tangan dan kakiku berpijak ke tanah. Seperti hewan berkaki empat. Bahkan ketika aku ingin mengeluarkan suara, hanya suara 'meongan' yang terdengar. Oh, baiklah. Apa mimpi terasa senyata ini?

Aku bangkit, lantas melangkah dengan kedua, keempat total tangan dan kakiku. Melangkah melewati pohon besar itu dengan langkah tertatih, bak balita. Aku merasakan kesegaran alam, kelembapan tanah, dan kehijauan daun sepanjang mataku bisa melihat. Aku terus berjalan, entah ke mana, yang penting aku bisa menikmati mimpi konyol ini.

Barangkali, suatu hari nanti aku bisa pergi ke alam terbuka seperti ini, lagi.

Aku menemukan anak sungai kecil. Alirannya sangat tenang dan airnya jernih. Tertarik. Aku pun mendekatinya. Air memantulkan gambar diriku.

Apa? Seekor kucing tengah berdiri, di tempatku!

Oke, aku harus tenang dulu. Aku mulai mundur dan terduduk, dengan tangan berbuluku yang condong ke depan. Dadaku mulai sesak dan kepalaku pening menalar kejadian barusan. Sekali lagi, sekali lagi aku memajukan tanganku. Berusaha mengucek mata dan aku malah menjilati tanganku! Muntah saja aku rasanya!

Kepalaku sekarang sangat sakit. Lebih sakit ketimbang kali pertama aku bangun tadi. Ada sesuatu yang bergerak di belakang tubuhku. Itu ekor berbulu, berwarna perak abu-abu. Astaga, ini pasti kutukan!

Aku mendapat keberanian lagi untuk menengok air. Dan, lagi-lagi kucing perak itu yang berada di pantulan. Baiklah, kakiku mulai lemas lagi. Aku memilih duduk disana, tepat memandangi air. Ketika aku ingin bersuara, hanya ada geraman seekor kucing yang terdengar. Begitu pula dengan tanganku dan kaki, serta ekor yang berbulu membuatku ingin menjerit saja.

Apa ini, aku berubah menjadi seekor kucing? Demi apapun! Kenapa aku menjalani kutukan menyeramkan.

Bulunya lebat nan panjang, bergradasi perak dan abu-abu tanpa belang. Matanya hijau sedikit gelap seperti langit malam. Cuping telinga agak panjang meruncing seperti kelelawar. Dua taring panjang, lengkap beserta paket cakar yang kuat dan tajam. Dan, bagian paling buruknya adalah, aku tidak memakai pakaian!

Oke, aku akui ini hanya mimpi, Bukan? Aku tertabrak truk. MIMPIKU JUGA IKUT SAKIT. Mana mungkin aku menjelma menjadi seekor kucing!

'Meongg....' ups. Menyebalkan, kenapa suara ini muncul di mulutku, heh!

Aku mendengar suara banyak langkah kaki dari arah semak belukar di sebelah sungai yang lain. Berjaga-jaga, aku mundur beberapa langkah dan mencari tempat perlindungan. Suara itu semakin mendekat, seperti suara segerombolan orang dan suara tapak kuda.

Sebuah anak tombak meluncur ke sungai.

"Grand Duke luar biasa, ada ikan yang tertancap!" Seru seseorang.

Entah berapa banyak orang di hulu sana, tapi yang paling menonjol adalah orang-orang yang tengah menunggangi kuda. Mereka seperti berkah Tuhan yang bersinar dibawah cahaya matahari, terlalu jauh untuk mengenang wajahnya, tetapi dari siluetnya saja mereka sudah terlihat keren. Tentu saja, para bangsawan selalu punya privilege.

"Ikan itu berukuran kecil, tinggalkan saja," Titah salah seorang penunggang kuda.

Sombong sekali! Mengapa membuang-buang makanan?

Mereka meninggalkan sungai. Perutku masih lapar, aku mendekati sungai dan melihat ikan-ikan itu. Sepertinya enak. Aku melompat melewati batu-batuan yang tidak terendam air. Rupanya aku mahir juga menggunakan empat kaki. Ketika sampai pada titik dimana ikan itu tertancap tombak, aku mulai mengigit ekor ikan dan mencoba melepasnya dari anak tombak. Lumayan sulit karena tombaknya menancap pada batuan sungai, kepalaku masuk sedikit ke dalam air dan berhasil mendapatkan dua ikan segar.

Perasaan ini, sama ketika aku mendapatkan sepotong roti dari toko kue. Perjuangan kecil ini mengingatkanku pada masa jaya, dimana aku hanya tinggal duduk tanpa bersusah payah mendapatkan sesuatu.

Setelah membawanya ke daratan, aku hanya memandangi ikan itu. Apakah aku harus memasaknya dulu? Atau dimakan mentah?

'Meongg.... '

"Oh, sepertinya ada buruan cantik."

3. Dendeng Nangka

Total enam pria bertubuh besar tengah mengejarku. Mengapa mereka main keroyokan, dasar pecundang, tidak mau satu lawan satu ya?

Aku melompat. Melewati pohon tumbang dengan lompatan yang cukup tinggi. Lantas lariku juga sangat mudah, seolah ada per yang membuat pelarianku jadi sangat mulus. Kakiku gesit, cakar-cakar ini cukup kuat untuk membantuki berlari kencang. 

Aku terus berlari membelah rimbunnya semak dan pohon. Sampai aku menemukan sebuah gua penuh lumut dan tanaman menjalar menutupi pintunya.

Peruntungan.

Barangkali gua itu bisa menyelamatkanku dari mereka.

Gelap dan lembab menjadi penyambutan kehadiranku. Napasku terengah dan terasa sesak. Selain kengerian yang membuat buluku tersengat aliran listrik. Badanku juga bergetar lantaran lelah berlari. Menjengkelkan sekali harus berlari seperti ini.

Aku pun memilih istirahat. Menyenderkan tubuhku pada bebatuan. Hingga mataku menangkap aliran air.

Mendengar suara aliran air. Mendadak tenggorokanku haus dan butuh minum. Mengikuti naluri hewani kucing. Mataku menangkap cahaya terang di dalam sana. Tanpa pikir panjang, aku pun segera melesat masuk ke dalam gua yang lebih dalam.

Mataku berbinar. Mulutku tak berhenti berdecak 'Wahh-meong-wahh-meong' sembari membulatkan mata sebulat bundaran donat. Berbicara tentang donat, perutku lapar lagi. Duh, perutku ini, selalu protes di saat yang tidak pas.

Stalagmit dan stalaktit yang terkena sapuan cahaya matahari terik menyilaukan mata. Danau hasil rembesan air hujan tertampung dalam inti gua. Airnya jernih, banyak bermacam rumput air tumbuh di dalam danau, barangkali karena rumput itu lah airnya jadi sedikit berwarna hijau kebiruan. Ada pun lubang besar tepat di atas danau. Memperlihatkan wujud langit yang begitu megah di atas sana.

Aku mengeram, mendekati air lantas membungkuk dan minum sambil memperhatikan wujudku, sekali lagi. Lumayan sekali wujudku ini, siapa sangka wujudku meski menjadi kucing tetap secantik ini.

Jika melihat buluku yang berwarna perak cerah, dan bola mata hijau yang memancar indah. Teringat akan Cheshire, kucing Alice in Wonderland dengan bulu Hijau botol dan sedikit abu. Mata dan mulut yang besar nan lebar. Tetapi, HANYA MATA INI YANG BESAR! Mulutku normal, senormal kucing pada umumnya. Dan aku tidak memiliki seringai nakal seperti Cheshire bodoh.

Kucing yang cantik dan manis, tentu saja itu aku.

Suara percikan air yang berasal dari langit-langit gua terdengar mengalun bak melodi berkecimpung. Suara-suara nyanyian burung menggema membuatku terlena dalam buaian ketenangan jiwa. Bahkan ada beberapa spesies kadal dan burung kecil yang hinggap di akar pohon. Sekedar berteduh.

Asyik menikmati pemandangan, sampai tak sadar jika ada bagian tubuhku yang mendadak sakit. Bukan, bukan dari perutku yang lapar. Melainkan leherku sakit.

Astaga, Orang-orang tadi membuntutiku. Mereka masih tidak menyerah, ya?

Aku mundur ketika anak panah salah satu dari mereka ingin mengiris leherku. Apa mereka tidak merasa iba pada seekor kucing cantik ini? Bahkan si bontot berkumis tipis itu berseru, dengan perutnya yang condong ke depan.

"Kucing ini besar sekali, bisa dijadikan kucing bakar."

Sialan, dasar gendut jelek, mendengar itu, dengan kekuatan cakaran kemarahan si manis. Aku memberikan tanda cinta berupa hiasan wajah dengan cakar panjangku, aku tak menyiakan kesempatan mengalihkan pandangan mereka kepada si bontot yang mengaduh perih, lantas segera melompat ke air. Beruntung danau cukup dangkal sehingga aku bisa berjalan di bawahnya dan segera menepi.

Hidungku kemasukan air, aku mengibaskan buluku, menjijikkan sekali bulu ini menjadi basah.

Mereka semakin mendekat. Aku segera bangkit dan berlari, menghindari kejaran mereka. Namun, gua ini tertutup rapat. Sebuah batu besar menghalangi, dan, bagusnya lagi, tidak ada jalan keluar lain!

Aku mengeong. Di kehidupan manapun, kenapa aku harus terlibat aksi kejar-kejaran dan berakhir di tempat sempit ini, orang itu membawa sial.

Aku semakin mundur. Menatap batu dan terpojokkan.

Untuk terakhir kalinya, aku menatap si bontot. Tubuhnya hanya sebesar pundak orang dewasa normal. Dan, aku cukup puas dengan tiga tanda garis yang tercipta dari cakarku yang tajam.

Keenam pria itu mendadak saling menepi. Membiarkan seorang pria maju sementara mereka mengekor di belakang. Aku menatap mulai dari kakinya, terbalut sepatu boot sepanjang lutut, celana cokelat, lalu aku menatap lebih ke atas, ia mengenakan rompi kulit dan kemeja coklat tanah dengan topi bundar menggantung di lehernya, sebab tali menahan agar tidak jatuh, yang paling memukau adalah matanya, rambutnya coklat dan bersinar terkena cahaya.

Omong-omong wajahnya sangat tampan seperti tokoh-tokoh sejarah Yunani. Oh, bukankah dia pria yang ada di sungai tadi? Lumayan juga.

"Grand Duke, kucing itu.... " Seorang pria tinggi mengamatiku. "Kucing yang galak," Lanjutnya.

Aku mengeong marah, memperlihatkan gigi sampai gusiku. Galak katamu? Haruskah aku mencakar mereka satu persatu?

Pria tinggi di sebrang sana menghampiriku. Yap, aku mengigit tangannya yang mencoba menyentuhku. "Galak dan jelek," Ejeknya. Wow blak-blakan sekali.

"Meongg.... "

"Tapi dia lucu, bolehkah kita membawanya sebagai peliharaan? Sepertinya dia lapar."

Oh, dia mengeluarkan dendeng nangka dan memberikannya kepadaku.

Mataku berbinar ketika tangan kekarnya menyodorkan Dendeng nangka tebal. Aroma gurih-manisnya membuat air liur berkumpul di pipiku. Hmph, manusia ini memang bodoh, tapi dia tau cara menyuap kucing berkelas sepertiku.

"Meongg meongg...."

'Dasar tidak punya sopan santun!' Suap-suap, siapa yang mau makan makanan rendahan itu, tapi aku lapar jadi dimakan saja!

"Kyaaaa lucunya...." Si tambun dengan bekas cakaranku ingin menyentuhku, aku memberinya salam cakaran lagi di tangan. "Wahh, kau jahat sekali kepadaku," Komentarnya.

'Gendut jelek! Setidaknya berikan sepuluh dendeng baru boleh menyentuh! Aku bukan barang gratisan, aku ini kucing berkelas, huh, gendut jelek!'

"Sudah cukup bermain-mainnya. Dari tadi kita hanya mendapatkan perburuan kecil, apakah kalian mau makan rumput?"

"Mohon maafkan kami Grand Duke."

Mereka semua memasang sikap berbaris tegap dan menundukkan kepala seraya minta maaf kepada seseorang yang berdiri di ujung gua sana.

'Dia pasti bosnya, dia bosnya!'

"Meongg... Meongg...."

'Hey, jangan tinggalkan aku, aku mau ikut! Heyy, minta dendengnya lagi, kurang... Kurang!'

"Meongg.... "

Pria tinggi tadi menengokku, "Grand Duke, bagaimana kalau.... "

"Ya, terserahmu saja."

"Terima kasih, yang mulia."

'Bagus! Terima kasih! Oke, minta dendeng lagi. Dimana tadi dia menyembunyikannya, di dalam tas ya. Hey, minta gendong, minta gendong.'

"Oh, kau mau di gendong? Hiro, gendonglah kucing itu." Pria tinggi itu menyerahkanku pada pria lain dan memeriku dua lembar dendeng. Aku, nurut saja, makan gratis.

"Wah, Hiro, kucing ini nurut sekali padamu." Si tambun.

"Karena kau jelek Boni, makannya dia takut, kehkeh." Ucapan pria itu membuat si tambun ngedumel.

'Jelek dan pelit, makannya jadi orang harus punya banyak dendeng.'

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!