Dari luar, rumah besar milik Juragan Karta tampak seperti lambang kemakmuran. Dinding tembok yang kokoh, pilar kayu jati, dan kebun bunga di sisi halaman. Tapi, di dalam dapur belakang, ada rahasia busuk yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Seorang pelayan tua, tubuhnya bungkuk dan tangan keriput, dengan sabar menumbuk bahan-bahan di dalam cobek batu. Ia tak pernah menanyakan tujuannya. Ia hanya melaksanakan perintah. Perintah dari Nyai Lastri.
Daun jarak dikombinasikan dengan akar kunyit dan daun pepaya muda. Tiga bahan itu diracik dengan hati-hati. Getah daun jarak yang pahit dan panas dipercaya dapat mengganggu sistem reproduksi. Akar kunyit, meski terkenal sebagai obat, dalam jumlah besar justru bisa mengacaukan siklus rahim. Dan daun pepaya muda yang getir itu, jika diminum terus-menerus, akan melumpuhkan rahim pelan-pelan. Membuat setiap wanita sulit hamil meskipun tampak sehat di luar.
Ramuan itu tak tampak berbahaya. Ia dicampur ke dalam teh manis, bubur kacang hijau, atau rebusan sayur. Setiap wanita yang menjadi gundik Juragan pasti akan merasakannya. Tapi, tak pernah ada yang sadar. Mereka hanya melewati waktu ... dengan perut mereka yang ... tetap datar.
Nyai Lastri selalu memastikan semuanya berjalan rapi. Ia tak akan membiarkan satu pun perempuan meninggalkan warisan darah di rumah ini. Tidak, tidak selama ia masih menjadi istri sah.
Sore itu, amarah Nyai Lastri mendidih dalam diam ketika seorang pelayan masuk dengan langkah hati-hati, membawa nampan berisi secangkir teh utuh.
“Maaf, Nyai,” ucap si pelayan dengan suara lirih. “Saya tidak diperbolehkan masuk ke paviliun oleh Mbah Darsih. Tehnya ... tidak sampai ke tangan Sekar Arum. Mbah Darsih mendapatkan perintah langsung dari Juragan untuk mengurus semua keperluan Sekar Arum. Termasuk, makanan dan minumannya.”
Tatapan Nyai Lastri tajam menancap ke cangkir teh itu—seolah ingin membelah porselen hanya dengan pandangan.
“Kembalilah ke dapur,” ucapnya dingin.
Pelayan itu menunduk dalam, lalu cepat-cepat mundur dan menghilang dari pandangan.
Begitu pintu tertutup, Nyai Lastri menghentakkan tangannya ke meja rias. Beberapa alat kecantikan berjatuhan—bedak pecah, sisir terlempar, cermin kecil terguling ke lantai. Wajahnya merah padam, gigi-giginya menggertak menahan geram.
Madun, sang ajudan setia, berdiri di sudut ruangan tanpa suara. Ia tau betul kapan harus bicara dan kapan harus diam seperti patung.
“Madun!” desis Nyai Lastri tajam.
“Saya, Nyai,” sahutnya cepat, langsung melangkah mendekat.
“Siapkan rencana selanjutnya,” ucap Nyai, suaranya rendah namun tajam seperti belati. Sebuah senyum muncul di bibirnya—senyum penuh kebencian.
“Baik, Nyai.” Madun menunduk patuh, lalu mundur perlahan sebelum akhirnya menghilang dari ruangan yang dipenuhi aroma mawar dan dendam.
Sepeninggalan Madun, Nyai Lastri melangkah ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Pandangannya mengarah jauh ke paviliun—tempat perempuan itu tinggal. Tangannya meremas ujung kebaya dengan erat, hampir seperti ingin merobek kain itu dari tubuhnya.
Dari kejauhan, Arum tampak sedang duduk di teras, menikmati secangkir teh hangat. Wajahnya tenang, seperti tak menyadari badai yang tengah mengintainya dari balik dinding rumah besar ini.
Nyai Lastri menyipitkan mata. Suaranya lirih serta sinis.
“Jika bukan dari rahimku, maka Kang Mas Karta tidak berhak memiliki keturunan. Terlebih lagi ... dari rahim perempuan hina yang datang karena hutang dan belas kasihan. Tidak akan kubiarkan!” Jerit Nyai Lastri, wanita yang sudah di cap tak dapat memiliki keturunan oleh para dukun beranak.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Pandangannya membakar paviliun dari kejauhan, seolah ingin meluluhkan nya hanya dengan kebencian yang menyesakkan dada.
...****************...
Malam itu, Arum tengah menyisir rambut di depan cermin ketika suara ketukan terdengar di pintu paviliun. Cukup lama—sampai akhirnya Arum baru menyadari kalau ia hanya seorang diri di rumah itu. Sebelum senja, Mbah Darsih sedang berpamitan ke ujung desa, untuk mencari informasi tentang hutang piutang orang tua Arum—dan akan pulang sebelum fajar menyingsing.
Arum meletakkan sisirnya di meja rias, lalu menuju ke ruang utama. Ia membuka pintu, dan mendapati seorang pelayan muda berdiri gelisah.
“Nona ... Juragan memanggil Anda ke gudang tua di belakang,” ucapnya gugup. “Katanya ... ada barang peninggalan ibunda Juragan yang harus dipilih. Juragan ingin Nona yang memilih.”
Arum memiringkan kepala, bingung. “Juragan? Bukannya beliau sedang ke luar kota? Ada urusan pekerjaan, katanya?”
Pelayan itu menunduk cepat. “Juragan sudah kembali. Beliau sedang menunggu di gudang. Mari, saya antar.”
Arum menatap wajah pelayan itu cukup lama. Ada sesuatu yang ganjil. Tapi karena nama Juragan disebut, ia menepis rasa curiga yang menggelayut. Dengan langkah pelan, ia mengikuti pelayan itu melewati lorong sempit yang gelap dan lembap. Bau tanah basah dan dinding berlumut menyambut mereka.
Mereka tiba di depan pintu gudang tua yang sudah jarang digunakan. Ketika pintu dibuka, cahaya lampu gantung kuning temaram menyambut. Bau debu bercampur karat dan kayu lapuk menyeruak dari dalam.
Dan di sana—dalam cahaya redup—lima perempuan berdiri. Perempuan-perempuan yang sejak awal kedatangannya memandang dengan tatapan tajam penuh benci. Mereka berdiri mengapit sebuah kursi jati besar, tempat Nyai Lastri duduk sambil mengulas senyuman tipis yang mengembang, layaknya ular yang siap memangsa.
Langkah Arum terhenti. Firasatnya buruk. Ia segera berbalik, berniat pergi. Tapi belum sempat menyentuh gagang pintu, Madun sudah berdiri di sana, menutup pintu rapat dan menguncinya dari dalam.
Arum membalikkan tubuh. Jantungnya berdegup kencang. Ia kini berhadapan dengan Nyai Lastri dan para gundik.
“A-apa yang kalian inginkan?!” suaranya bergetar. Langkahnya mundur teratur, seakan lupa dengan sosok Madun di belakang.
Madun cepat melangkah maju dan menendang punggungnya.
BRUGH! Arum terjatuh ke lantai, pipinya menghantam lantai kayu yang kasar.
Tawa membahana langsung pecah di ruangan itu.
“Hahaha! Rasain!”
“Dasar gundik murahan!”
“Kecil-kecil udah bisa nyihir juragan!”
“Pake pelet apa kamu, hah?!”
“Dasar pelacur kampung!”
Arum menggigit bibir, menahan rasa sakit dan rasa malu yang menyayat. Ia berusaha bangkit, merangkak, mencoba menuju pintu. Namun, sebelum sempat berdiri tegak, Madun sudah mencengkeram rambutnya dari belakang dan menarik paksa.
“Lepaskan aku!” teriak Arum.
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Arum. Gadis itu terhuyung. Darah segar menetes dari sudut bibirnya.
Madun melirik ke arah kursi besar itu. Nyai Lastri masih duduk tenang, dengan senyum tipis penuh kemenangan.
“Silahkan, Nyai,” ucap Madun pelan, menunduk memberi jalan bagi sang penguasa.
Nyai Lastri berdiri perlahan dari kursi jatinya. Dagunya mendongak angkuh, seolah ia ratu di singgasana. Seringai keji belum surut dari bibirnya. Langkahnya pelan, mantap, dengan ujung kain kebayanya berdesir menyapu lantai berdebu.
“Andai saja kau meminum apa yang kuberi, kau tak akan berakhir di tempat kotor seperti ini, Sekar Arum,” ucapnya dingin. “Semua ini ... adalah buah dari kebodohanmu sendiri.”
Arum yang masih terduduk di lantai hanya mampu mengernyit, wajahnya pucat dan penuh debu. “Apa maksud Anda, Nyai ...? Apa sebenarnya tujuan Anda?!”
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Arum, membuat kepala itu tertoleh ke samping.
“Berani sekali gundik murahan sepertimu menanyakan maksudku!” desis Nyai Lastri, matanya menyala. “Tidakkah kau sadar siapa dirimu di rumah ini?! Kau hanya serpihan dari kenikmatan sesaat!”
Tangannya mencengkeram rambut Arum dan menariknya paksa ke atas, membuat kepala Arum mendongak. Pandangan mereka bertemu—mata Arum basah dan bergetar, sedangkan Nyai Lastri membara oleh api cemburu yang membusuk.
“Kenapa perempuan melarat sepertimu bisa punya wajah secantik ini, hah?” bisik Nyai Lastri tajam, suaranya bergetar oleh amarah yang ditahan. “Apa karena wajah inilah ... Juragan jadi lupa pada janji-janji lamanya? Tak sekalipun bertanya, tak sekalipun meminta pendapatku ... sebelum menyeretmu masuk ke rumah ini.”
Nyai semakin mempererat cengkraman di rambut Arum. Lalu menadahkan tangan, sambil menatap Madun. Sang ajudan paham maksudnya. Ia maju dan menyerahkan sebilah pisau kecil, tipis, dan tajam—benda yang biasanya digunakan untuk menguliti hewan.
Melihat kilatan logam itu, tubuh Arum menegang. Nafasnya memburu. Ia menggeliat mencoba kabur, tapi Madun dengan cekatan mencekal kedua lengannya dari belakang.
“Lepaskan aku! Lepaaas!” Arum menjerit, suaranya melengking dan putus asa.
Nyai Lastri tertawa senang, jantungnya berdebar-debar. Ia mengarahkan benda tajam itu ke wajah Sekar Arum, dan dengan satu sayatan—pipi Arum mengeluarkan darah segar.
"Aaaaarrrghhh!" Jeritan Arum menggema di ruangan itu.
Nyai Lastri semakin menyeringai, ia memberi sayatan kedua—lebih panjang, dan membuat jeritan Arum semakin membahana.
Bibirnya bergetar hebat. “A-mpun, Nyai ... maafkan saya ....”
Bukannya kasihan, permohonan itu justru menjadi musik terindah bagi Nyai Lastri. Ia tertawa puas. Aksinya kembali berlanjut. Madun menyerahkan jeruk nipis yang sudah di belah dua, Nyai langsung menyambarnya—meremas dua jeruk nipis ke luka-luka di wajah Arum.
“Aaaarrrgghhhh!” Sekar Arum semakin menjerit, tubuhnya menggeliat kesakitan. “Juragaaaan, tolong sayaaaa!”
“Panggil sana Juraganmu!” teriak Nyai Lastri sambil terbahak. “Kau pikir, Juragan akan menolongmu setelah melihat wajahmu yang menjijikkan itu? Hahaha! Jangan mimpi!”
Lima gundik lain ikut terbahak. Mereka semua ikut muak. Sejak Arum hadir, pekerjaan mereka di rumah besar itu jadi bertambah—mencuci pakaian milik Sekar Arum, atas perintah Juragan.
Nyai Lastri menoleh ke arah para gundik, matanya tajam. “Laksanakan tugas kalian.”
Empat orang gundik yang masing-masing memegang kayu balok, mengangguk patuh. Mereka maju, mendekati Arum. Dan dengan kejinya, mereka memukul Arum tanpa ampun.
BUGH!
BUGH!
BUGH!
BUGH!
Arum terkulai di lantai berdebu, tubuhnya menggeliat lemah. Setiap pukulan membuat napasnya tersengal, pandangannya buram. Darah mengalir dari kepala dan pelipisnya.
Nyai Lastri tertawa kencang, lalu menatap satu gundik yang masih diam di tempat sambil membawa sebuah termos.
“Atun. Sekarang giliranmu,” desis Nyai.
Atun mengangguk, membuka tutup termos, dan aroma menyengat dari uap air panas langsung menyebar. Ia lekas maju.
“Minggir!” serunya pada yang lain.
Begitu yang lain menyingkir, Atun mengangkat termos tinggi—
BYUUURRR!
“ARRRGGGHHH! PANAAAASS! SAAAKIIITTT!”
Air panas itu menyiram punggung dan lengan Arum. Kulit berbalut gaun putih itu langsung memerah, melepuh. Jeritannya menembus malam, menggema hingga ke luar gudang.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Yuli a
ya Allah .... kejam banget mereka itu... emangnya nanti juragan karya nggak murka melihat gundik kesayangannya kenapa-kenapa...
bukankah gundik jaman sekarang pada enak ya...
lebih berani gundik daripada istri sah... lebih serem gundik daripada kuburan... wkwkwkwkwkwk...
mudah-mudahan ada yang menolong Sekar Arum... disini Sekar Arum juga korban Lo... andai saja ngomong baik-baik, pasti Sekar Arum mau disuruh pergi dari situ ...
2025-06-17
2
istianah istianah
tapi kalau di pikir" arum di sini korban , jdi kasihan sekali arum dapt perlakuan tidak manusiawi seperti itu,...
tpi aq yakin setelah arum menerima kekerasa n itu ,lihat saja ,dendamnya orang yg polos tak tau apa" dri pada orang tau ,seglanya ,lebih mengerikan lo dendam orang yg kya si arum ni ,
lanjut lgi kak...???💪💪💪
2025-06-17
2
istianah istianah
oh baru tau daun jarak bisa buat ,itu ,bener gak nie thor ,,,
bisa memperlambat sisten reproduksi wanita , kalau bner mau coba deh , biar dak KB 😅😅😅
2025-06-17
2