Setelah latihan tanding tadi...
Rio masih terengah-engah, berlutut di atas lantai halaman rumah. Napasnya berat, dada naik turun cepat, dan peluh membasahi seluruh wajah serta dahinya yang memerah.
Di hadapannya, sang ayah perlahan melangkah mendekat. Sosok yang berdiri tegap di bawah cahaya matahari pagi itu tampak kokoh, seperti bayangan yang tak pernah tergoyahkan.
“Kau memang... sangat lemah dalam hal stamina, ya...”
Ucap Zero datar, namun nada suaranya dalam. Seolah menyentuh titik kesadaran anaknya.
Rio mendongak. Pandangannya menatap lurus ke wajah pria yang selama ini menjadi sosok kekaguman dan ketakutannya sekaligus. Dalam mata kecil itu, tampak jelas, rasa kagum... dan juga harapan.
“Aku... ingin sekali punya kekuatan seperti Ayah…
dan fisik yang kuat... seperti Ayah juga...”
Bisiknya lirih, suara kecil dari hati seorang anak yang sedang berjuang.
Zero terdiam sejenak. Sorot matanya berubah, dan untuk sepersekian detik, kekakuannya retak. Ia tersenyum tipis, sesuatu yang sangat jarang muncul di wajahnya.
“Kalau begitu... istirahatlah dulu sebentar,”
Ucapnya sambil menepuk pelan bahu Rio.
“Setelah kau pulih, datanglah lagi ke sini. Ayah akan menunggumu... di tempat ini.”
Rio hanya mengangguk pelan. Ia perlahan berdiri, tubuhnya masih lemah. Namun dalam hatinya... sesuatu mulai menyala.
"Aku harap... Ayah akan mengajarkanku skill yang selalu dia gunakan..."
Gumamnya dalam hati.
Ia berjalan pelan menuju kamar. Setiap langkahnya berat, tapi tekadnya kuat.
Sesampainya di kamar, ia membuka pintu dan masuk dengan gerakan lesu. Tubuhnya langsung jatuh duduk di lantai. Ia menunduk, lalu mengepalkan tangan kecilnya dengan emosi yang mendidih di dalam dada.
“SIALL... PAYAH SEKALI TUBUH INI...!”
“PADAHAL AKU BELUM MENGGUNAKAN EYES OF LIGHT SEPENUHNYA!!”
Teriaknya dalam batin.
Matanya memerah. Rasa frustrasi menumpuk.
“KENAPA TUBUH INI BEGITU LEMAH!?
PADAHAL AKU DIREINKARNASI... KENAPA AKU NGGAK PUNYA SKILL CHEAT SEPERTI PAHLAWAN DI CERITA ISEKAI!?”
Ia menggenggam celananya erat. Giginya gemeretak menahan emosi yang meluap. Tapi sebelum amarah itu berubah menjadi tangis...
Tok tok.
Suara lembut ketukan di pintu.
Seseorang berdiri di ambangnya, wanita yang begitu ia sayangi, yang kini dikenal sebagai ibunya di dunia ini.
Arleya Akagami.
Sosok yang selalu membawa ketenangan hanya dengan hadir. Matanya menatap Rio penuh kasih, dan senyumnya... hangat seperti pelukan di musim dingin.
“Rio sayang... kamu kenapa?”
Tanyanya dengan nada halus, seolah tahu isi hati putranya tanpa harus dijelaskan.
Rio menoleh perlahan. Tatapannya sempat terkejut, namun cepat ia alihkan.
“Tidak apa-apa, Ibu...”
Elvaria melangkah masuk, lalu duduk di samping Rio. Jemarinya menyentuh bahu anaknya dengan lembut.
“Apa kau kecewa karena latihan tadi dengan Ayahmu?”
Rio menggeleng pelan, lalu berkata dengan suara lesu.
“Bukan itu... tapi aku nggak bisa mengeluarkan skill-ku sepenuhnya.
Tubuh ini... terasa lemah. Terutama dalam hal stamina.”
Ia menunduk.
“Ayah... bahkan masih bisa tersenyum santai meskipun aku sudah habis-habisan.”
Elvaria mendengar itu tanpa berkata-kata sejenak. Lalu ia tersenyum, lembut, penuh kenangan.
“Tidak apa-apa, Rio...
Ayahmu juga dulu seperti itu. Lemah... terutama dalam hal stamina.”
Rio mengangkat kepalanya, terkejut.
“Serius...?”
Elvaria mengangguk pelan.
“Saat usianya delapan belas, dia mulai menjadi seorang Assassin. Tapi waktu itu... dia bahkan sering pingsan karena kelelahan.”
“Tapi sejak ia bertemu gurunya... sejak mulai berlatih keras, Ayahmu tak pernah lagi terlihat lelah.”
Mata Rio membesar. Dalam dadanya, rasa penasaran mulai mengalahkan rasa lelahnya.
“Kalau begitu... gimana Ibu bisa menyukai Ayah?
Atau... apa Ibu yang suka duluan!?”
Elvaria menatap anaknya dengan mata jernih, lalu tersenyum manis sambil menutup mulut menahan tawa kecil.
“Rahasia...”
Bisiknya, menggoda.
Rio langsung mendekat dengan cemberut.
“Ihh... Ibu pelit! Masa dirahasiain dari anak sendiri...”
Elvaria tertawa pelan, lalu mengelus lembut kepala anaknya.
“Sudah ya. Sekarang... ayo, ke halaman. Ayahmu sudah menunggu.”
Rio berdiri, matanya menyala kembali. Ia tersenyum, lalu mengangguk semangat.
“Baik, Ibu!”
Dan dengan langkah ringan, ia meninggalkan kamar, membawa semangat yang kembali menyala.
Di halaman belakang, Akagami Zero telah berdiri menunggu, bersandar di sebuah tiang kayu, menatap langit.
Saat Rio datang, pria itu menoleh pelan.
“Apa kau sudah punya tenaga untuk latihan kali ini?”
Tanyanya tenang, namun sorot matanya tajam.
Rio mengangguk mantap.
“Iya, Ayah!”
Zero tersenyum tipis.
“Baiklah... kalau begitu.”
Dalam sekejap, tubuhnya lenyap. Rio membelalak. Dalam kedipan mata, Zero sudah berdiri tepat di hadapannya. Aura dingin menyelimuti sekitarnya....aura seorang Assassin.
“H-hah!? S-secepat itu...!?”
Zero menatap lurus ke mata Rio. Matanya menyala tajam.
“Kau ingin menggunakan skill ini juga?”
Rio mengangguk pelan.
“Iya... Aku ingin belajar semuanya...”
Zero menyilangkan tangan, matanya memicing.
“Kalau begitu, dengarkan baik-baik.”
Suasana menjadi hening. Burung pun seperti berhenti berkicau.
“Karena kau masih sangat lemah dalam hal stamina,
kau harus melatih tubuhmu lebih dulu.
Mulai sekarang... hadapi semua latihan langsung dari Ayah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Filan
latihan melelahkan kalau dibarengi motivasi yang kuat akan terasa perjuangannya.
Misal kalau dia adalah orang yang dulunya OP dan ingin membangkitkan kembali kekuatannya untuk balas dendam. itu bisa dimengerti dibanding dia yang dulunya hanya kerja kantoran aja udah repot dan banyak mengeluh.
Dia pasti motivasinya bisa hidup lebih santai menikmati dibanding sebelumnya yang terlalu sibuk bekerja.
2025-06-14
0
Filan
Oke Thor. Semangat menulis, ya.
Maaf kalau ada komentar yang kurang sreg.
2025-06-14
0
Filan
payah apanya? bukankah tubuhnya dulu lebih payah dari sekarang?
2025-06-14
0